Mesjid sunyi itu saya masuki tanpa khawatir dicurigai orang. Mengapa harus khawatir, saya bukan pencuri dan masjid itu umum untuk orang-orang mencari kedamaian hati, sedangkan saya ingin mencari tambahan ilmu dengan membaca buku yang terdapat di raknya.
Buku agama ini saya ambil dari lemari penuh debu. Buku agama tulisan para cendikia muslim dunia. Pergi ke manapun saya harus mendapatkan tambahan ilmu, atau setidaknya ada buku yang dapat saya buka dan baca. Dan mulailah buk itu saya buka dan baca sambil tengkurap melepas leah badan karena jauh perjalanan menuruni gunung untuk belanja ini. Namun tak lama, kelelahan itu memberatkan bibir mata, saya baringkan badan di sajadah masjid, terlelap, dan ketika tersadar matahari di luar telah panas menyengat. Sepertinya telah dekat ke tengah hari. Kepala terasa sakit untuk bangun. Ingin sebenarnya lebih lama lagi tiduran di masjid ini. Tapi saya kemudian teringat suatu tekad igin menjadi jaya di desa. Dan tiduran seperti ini sangat tidak pantas dilakukan oleh orang yang mempunyai impian besar. Kini ngantuk sudah hilang, kupaksakan diri keluar masjid setelah sebelumnya merapikan buku ke lemari. Dingin udara kering musim kemarau segera terasa saat turun ke halaman masjid namun itu suatu kenikmatan sebab akhirnya sinar matahari menghangatkan badan di sepanjang jalan.
Sampai ke toko tempat belanja, barang telah dikemas rapi. Selembar uang seratus ribuan saya serahan kepada pemilik toko. Ternyata kurang. Untunglah pemilik toko ini baik, dia tulis di bukunya sisa kekurangan uang saya untuk dibayar pada belanja berikutnya.
Kardus besar penuh belanjaan saya angkat dan pikul di atas bahu dan bawa memulai perjalanan pulang mendaki gunung.
Sinar matahari yang menerpa wajah berusaha saya halangi dengan kardus. Takut juga jika panasnya menghitamkan wajah. Bahu mulai pegal saat jalan aspal naik itu saya daki.
Jalan tedu ke tengah rumah penduduk saya pilih daripada terus melalui jalan aspa. Orang-orang dengan apik menata jalan naik itu. Mereka lapisi dengan pecahan-pecahan batu kecil penghindar licin bila ada hujan. Lelah hati ini bila membayangkan masih panjangnya perjalanan pulang saya. Terlebih ini naik, setiap kali berakhir satu jalan mendaki, di depannya telah menanti jalan mendaki berikutnya.
Di sebuah ujung jalan naik bahuku tak kuat lagi menahan pegal kardus saya turunkan dan santai saya duduk menikmat semilir angin di bawah keteduhan pohon. Berbeda dengan tadi saat kulitku merasa sengsara kedinginan, kini tiupan angin itu terasa menyejukkan, tak lain jalan naik dan beban berat ini menjadi suatu pertolongan dari Alla untuk menikmatinya.
Saya duduk menatap pemandangan indah di depan. Tampak indah percampuran warna hamparan rumah orang-orang dengan rimbun daun pepohonan dna jauh di kota kecamatan terlihat tower-tower berdiri merajai.
Dekat di depan dan belakangku rumah orang-orang sederhana berdiri. Kukuh percaya diri tanpa rasa takut longsornya tebing. Namun pemandangan paling menggoda mata adalah sebuah layangan yang tersangkut di ranting pohon albasi. Itu mengingatkanku pada kebandelan di masa keci. Di musim layangan hampir tak pernah habis luka tangan dan kakiku karena seringnya berlari ke hutan dan kali mengejar layangan putus lalu naik pohon jika layangan itu tersangkut, dan layangan dalam tatapan saya sekarang terlihat aman-aman saja tersangkut di sana. Setiap anak mungkin melihat pohon itu terlalu tinggi.
Lama saya menatapnya dengan teliti kini objek itu menjadi keasyukan tersendiri. Seoerti di masa dulu, bila ada yang tersangkut di pohon pertama saya teliti pohongan talinya, mengingat ketika layangan itu putus tentu membawa sisa tali. Jika ada tali itu bisa saya tarik dan kemungkinan nanti layangan yang di atas sana pun bisa tertarik juga dan jatuh, lumayan, eh tapi buat apa? Setua ini masih mau main layangan? Cari duit Dana cari duit!!! Lihat dirimu sengsara begini!
Untunglah talit itu tidak terlihat. Jika terlihat mungkin aku penasaran dan mencoba menariknya. Gagal ditarik, makin penasaran, ingin mengambilnya langsung ke atas, kemudian naik, dan setelah berhasil mengambil malah tertarik untuk mencoba main layangan, panas panasan, siang sampai sore. Sadar Dana sadar!!!
Perjalanan saya teruskan. Beberapa jalan mendaki saya lalui tanpa henti, masuk ke sebuah lapangan depan sekolah, kemudian naik lagi jalan kampung sangat jauh dan panjang sampai tiba ke areal pemakaman, bertemu dengan seorang tetangga sedang berdiri di sisi pohon aprika. Setelah saling sapa dengan sya dia berkata,
"Suruh Bapak mertuamu datang ke sini, banyak daun Aprika."
"Emangnya mau ditebang?"
"Ya," jawabnya dengan wajah datar.
Kulanjutkan lagi perjalanan memikul kardus belanjaan, tapi kemudian langkah terhenti, masih ada hal lain yang ingin saya tanyakan,
"Kapan nebangnya?"
"Sebentar lagi. Nanti juga terdengar deru mesinnya ke sana."
Setelah tadi perjalanan naik mendaki sekarang berubah menjadi turun, tapi lelah tidak pernah berubah, sama saja, dan pikulan rasanya semakin berat, bahu semakin pegel, sebab selama berjalan turun ini badan harus menahan berat tekanannya.
Sebentar lagi perjalanan akan sampai dan pikiran berputar pada pesan penebang pohon tadi. Dia menitipkan pesan supaya saya menyuruh bapak mertua mengambil daun pohon aprika untuk makanan kambing. Tapi bapak kan di sawah. Terlalu repot bagi saya untuk pergi ke sawah memberitahunya. Belum lagi kalau dianya sedang sibuk kerja, paling dia nyuruh saya buat mengambil daun itu. Daripada pergi ke sawah tidak ada gunanya, lebih baik saya sendiri saja yang mengambil.
Keringat bercucuran di dahi, tampak istriku berdiri memegang tiang menyambut kedatangan saya. Gigi rapinya dia buka memperlihatkan cerah hati dan kebahagiaannya. Sampai di dekat dia barang masih saya pikul dan baru diturunkan di dalam warung. Saya biarkan dia membuka dan membereskannya ke etalase. Lalu saya ceritakan padanya, di sana ada orang mau menebang pohon Aprika dan dia menyuruh saya supaya memberitahu bapak,
"Tapi biar saya saja yang membawanya ke sana, nanti setelah terdengar deru mesin."
Tak lama kemudian raung gergaji mesin terdengar. Saya berdiri mau pergi, "Ke rumah duku mau ngambil golok."
"Di sini juga ada." kata istri.
"Punya siapa?"
"Nini." istri lari ke dapur, kemudian muncul di pintu menyodorkan sebilah golok. Saya ambil, teliti, dan kembalikan lagi padanya.
"Saya ambil golok saya saja."
Berlari saya pulang ke rumah membawa golok tanpa sarung itu di dapur.
Kesempatan yang saya nantikan itu sekarang tiba. Akan saya buktikan golok keropos hasil temuan saya itu, yang saya kikir dan asah denga tekun, yang gagangnya saya buat sendiri dari kayu nangka itu, bisa digunakan buat kerja. Sebelumnya orang-orang mencibir saya dan mengatakan pekerjaan saya tidak ada gunanya ketika membuat gagang golok dari kayu nangka dan kata mereka, kerja saya akan susah dan sia-sia karena tekstur kayu nangka itu kacau. Tapi saat itu saya tetap melakukannya dengan keyakinan, golok terbuag ini bisa kembali berguna, dan dengan ini saya ingin membuktikan jika saya bisa menjadikan hal tidak berguna menjadi berguna.
Dan sekaranglah saatnya saya berbangga diri dengan membuktikan golok yang sudah terbuang itu bisa kembali berguna. Begitulah kata hati saat pergi ke tempat penebangan kayu aprika. Penuh semangat saya daki jalan menuju ke dekat daerah lapang dan tiba di sana saat matahari telah sangat tinggi panas menyorot. Pohon telah bergelimpangan jatuh. Tetangga saya menunjukan cara mengumpulkannya, pekerjaan ini memang baru bagi saya, dan karenanya itu suatu ilmu baru, biar pun sebenarnya kesel sama orang ini, pake ngajarin segala, mengumpulkan daun dan ranting pohon itu perkara mudah.
Daun-daun itu terus saya tumpuk tanpa menyadari berapa kemampuan pikulan saya, hingga ketika sekitar daun-daun dua pohon beres saya kumpulkan, barulah bersiap mengikatnya, masalahnya ke mana saya mesti mencari tali. Tidak mungkin mengambil tali dari pohon milik orang.
Maka mencari ke daerah lapangan dengan mata awas, siapa tahu di sana ada, dan saya dapati di sisi lapang ada pohon pisang kering, dan coba saya ambil untuk mengukat namun rapuh, dan coba mencari lagi tali lain di sisi lain lapangan.
Di satu sudut tergeletak tali bambu dengan tali itulah ranting dan daun aprika saya ikat menjadi dua ikatan besar. Sebatang bambu saya tajamkan dengan golok asal jadi tadi. Ternyata ampuh, dua ikat besar daun aprika berhasil saya pikul meski kemudian terasa berat dan lepas lagi. Saya rasakan salah satu tali pengikatnya akan lepas.
Secara asal-asalan saya ikat lagi dan coba pikul. Alangkah sakitnya punggung tertekan pemikul bambu itu. Dan seluruh badan terasa pegal menahan pikulan saat menuruni kalan terjal.
Ketika mulai tampak di kejauhan istri menyambut, saya bersikap konyol dengan berjalan terseok-seok seakan pikulan itu begitu berat, dan kuharap dia tertawa ngakak namun dia tertawa biasa saja.
Di depan warung pikulan daun dijatuhkan. Bahu terasa saki bekas tekanan bambu, padahal perjalanan membawa daun ini masih jauh. Saya harus mengantarkannya ke sawah, naik melalui gang rumah-rumah dan pinggian kaki gunung.
Lelah saya lepas di bangku warung. Istri mendekat menawarkan air gula asam gelas kemasan, dan saya tolak, dan kemudian dia menyodorkan air putih. Saya minum.
Penat reda. Perjalanan siap saya mulai lagi. Namun beda dengantadi pikulan daun akan coba saya satukan.
"Baguslah begitu," kata istri "Dahan-dahannya pangkas dulu, biar agak ringan."
Saya biarkan dia mengambol daun-daun masih berdahan dan memangkasnya hingga tuntas.
Daun siap diikat, tidak sulit lagi, kini tali dapat saya ambil dari warung, tapi rapia.
Dua ikat daun itu kini telah menyatu menjadi ikatan besar, tanpa menunda lama saya segera pikul dan bawa ke wawah meninggalkan sirti yang sibuk membereskan sisa dedaunan gugur yang berserakan di depan warung.
Mulailah perjalanan saya melewati rumah-rumah. Entah bagaimana keadaan diri saya saat itu di mata orang-orang saat mereka menyapa. Kepalaku hampir hilang dimakan banyaknya dedaunan yang saya pikul.
Hampir tiba di sawah saya agak angkat pikulan hendak melihat ke rumah orang yang dulu menghina saya habis-habisan, untuk sekedarnya saya dan dia saling menyapa agak akrab setelahnya saya diam kembaloi.
Barangkali melihat kehidupan saya sangat sengsara dengan pikulan berat dan banyak ini, tapi bagi saya sendiri, ini sebuah kebanggan, harga diri dan identitas asli seorang desa, beginilah seorang yang hidupnya dekat dengan alam, akrab dengan alam dan bersentuhan dengan alam.
Jauh perjalanan ternyata hanya jika dipikirkan saja. Setelah dijalani, terasa semuanya singkat dan sebentar saja. Pematang-pematang panjang, jalan kecil tepi seloka yang naik dan jauh, kaki gunung terasa pendek setelah sampai ke sawah bapak mertua.
Ditakdirkan dia ada di tengah berdiri dekat gubuk, baru saja beres ngobrol dengan seseorang, dan wajahnya cerah tertawa lebar. Semua kulihat dari bawah tumpukan daun yang sedikit diangkat.
Daun dijatuhkan di depan kandang domba. Dan saya menuju bapak melewati rumah kayu kecil gudang padi. Dari jendela dapur, asap mengepul. Tercium aroma air hasil sadapan aren buat bahan gulan merah.
Bapak teriak pada Emak, "Dinginkan lahang!"
Dan tak butuh waktu lama, secangkir lahang Emak sodorkan ke samping saya.
Bapak tampak sibuk memotong kayu-kayu kering di atas jerami. Saya menontonnya sambil menikmati gula, lalu merasa kasihan setelah melihatnya tak mampu memotong sebuah dahan.
"Tangan Bapak sakit," ujarnya, "kayunya keras."
"Biar saya yang potong." saya menawarkan bantuan.
"Kalau mau ya silakan."
Dan benar saya, kayu itu sangat keras. Gergaji seringkali terselip dan macet. Tapi saya menggergaji dengan cara mengelilingi kayu, dan cara itu membuat proses pemotongan menjadi sangat lama.
Adzan Dzuhur belum terdengar padahal hari teras melebihi tengahnya. Sorot matahari terasa sangat panas. Saya coba berdirikan jari tangan di atas tanah dan tampak bayangan memanjang ke timur, dan ini pertanda waktu sudah dzuhur. Matahari sudah tergelincir ke sebelah barat.
Saya pulang tanpa pamit pada siapa-siapa. Ema dan Bapak mertua saat itu tidak ada entah ke mana. Harus pamit pada domba saya tidak mau.