Aku merindukanmu tiang listrik. Tak pernah pergi tak pernah ingkar janji, kau kekasihku yang paling satia.
Kulihat jam tangan, masih jam 13 lebih 10 menit, rasanya begitu lama menunggu jam pulang. Bermesraan, bercinta dan berkasih sayang hanya bisa bersama moush hitam mengkilat, dan keyboard komputer yang tuts-tutsnya kusentuh sepuasnya, kuusap, kucium, kuapakan saja bebas. Tiada salah, tiada dosa. Apa lagi?
Juga meja, sahabatku lainnya pelerai gundah. Baik lur biasa, si mejaku ini, meski ngantuk tertidur di atasnya sampai banjir ludah, meleleh tumpah ruah bau segala macam, tak pernah jadi masalah karena meja tak pernah marah, tak pernah protes, tak pernah mempermasalahkan masalah. Mejaku paling baik, paling pendiam, paling bisa menerima, dan tak pernah protes meski di atasnya kusimpan apa saja. Aku mencintainya meski yang paling kurindukan tetap kamu, oh tiang listrik.
Baru jam 13.15. Masih lama ke jam lima sore. Kalau saja bisa menjadi superman, akan terbang ke matahari atas sana, mendorongnya lebih cepat, biar lebih cepat turun ke barat. Itu lamunan gila di atas kegilaan yang sudah ada. Aku cuma bisa menahan rasa, dalam rentang waktu detik ke detiknya terasa seperti ribuan abad.
Hasrat menemuimu begitu berat, karena aku tak tahan ingin segera curhat. Mencari kelegaan dengan menumpahkan beban apa saja yang menyempitkan dada dengan bisikan-bisikan, sambil memelukmu mesra bersama serak dan debar. Sungguh aku tak tahan, ingin segera bertemu dengan aku tak tahan. Terasa begitu lama, jadi, kerinduan baiklah kucurahkan saja pada tulisan. Biar nanti setelah sampai saatnya bertemu denganmu, print out tulisan ini sambil merangkulmu kubaca.
Tiang listrik, untuk percintaan sekarang, inilah yang ingin kusampaikan. Mengapa cintaku padamu begitu menggebu-gebu, mengapa rinduku mengharu biru? Alasannya, karena setelah kubanding-bandingkan dengan kisah-kisah cintaku sebelumnya, kisah cintaku denganmu ini kisah cinta terindah.
Kau setia, sedangkan pacar pertamaku waktu kelas tiga SMP tidak. Dia anak SMA, baru empat bulan setelah dia jujur menyukaiku, ternyata berkhianat. Tidak penting kuceritakan bentuk pengkhianatannya seperti apa. Waktu itu memang menyakitkan, hanya kini setelah usiaku tiga puluh tujuhan baru bisa berpikir proporsional, namanya juga anak SMA, dan ini cuma pacaran. Terlalu serius dan menganggap cinta masa-masa SMA segala-galanya biasanya suka terjerumus frustasi bahkan kehilangan masa depan.
Masuk SMA, pacarku anak kuliahan. Semester dua, seorang pria tampan. Bukan tampan, sebenarnya yang terpenting bagiku, mobilnya keren. Dia anak bos sebuah perusahaan rokok, dan dia luar kuliah, si tampan kerja di perusahaan ayahnya.
Telah berpenghasilan sejak masih muda bagiku keren luar biasa.
Anak SMA pake motor metik? Lewat!
Aku mencintai si tampan dan menjalin hubungan pacaran dengannya terbilang lama, hingga aku masuk kuliah.
Percayalah, pacaran ini sebatas komunikasi doang. Tidak lebih, karena biarpun kau lihat aku matre, keluar rumah jilbab tak pernah lepas. Intim sebatas inboks facebook, telfon dan SMS-an. Urusan sentuh-sentuhan, maaf, aku gak bisa nerima. Dan si tampan mengerti. Sejak pertama kali dia mengulurkan tangan dan tidak kusambut, tak pernah sekalipun dia kurang ajar.
"Belum halal." tanpa butuh penjelasan panjang lebar, alasanku itu bisa dia terima. Aku ingin segala keindahan sentuh menyentuh itu kami nikmati setelah halal, karena si tampan, benar-benar dia yang dalam impianku nanti akan menjadi kekasih halal.
Itulah sebabnya saat Si Odin tetangga satu desa mencoba meminang, kutolak. Dalihku masih kuliah. Padahal alasan sebenarnya karena usaha dia cuma tukang rujak. Susah kuterima jika nanti teman-teman memanggilku nyonya rujak. Gak kebayang nanti setiap pagi nanti harus mengupas nanas, pepaya, dan mangga. Kalau jari ini teriris nanti bagaimana. Lagi pula belum tentu Si Odin bakal mampu membiayai perawatan kuku yang selama ini kudapatkan dari Purnama.
Oh ya maaf tiang listrik, baru ngasih tahu, pacarku yang kaya tampan keren plus sudah punya penghasilan ini namanya Purnama, yang terpaksa harus kulepas saat aku kuliah semester enam karena ternyata dia tanpa perasaan memutuskanku karena mau menikah dengan Ardila, seorang sarjana kesehatan. Luluh lantak Hirosima dan Nagasaki masih terlalu ringan dibanding hancurnya perasaanku waktu itu. Dan tiada lagi cerita cinta setelahnya karena setiap kali pria datang ke rumah hendak meminang, selalu jawabanku kepada mereka itu sama: "Tidak!"
Tidak bukan disebabkan kehilangan selera menikah, melainkan menunggu pria yang datang itu setara, atau ya minimal kurang sedikitlah dari Purnama. Yang selama ini datang kebanyakan pria-pria kelas pasar tradisional. Pria-pria nggak banget yang aduh, sangat tidak berkelas. Tugimin, tukang goreng ayam. Sartono, pedagang VCD bajakan. Toto, pedagang telur asin. Warman, tukang tahu bulat. Surhadma, peternak bebek. Aku heran, kenapa yang datang semuanya pria yang gak kuharapkan.
Memang ada pria tampan, anak orang berada, suka menggoda dan memanggil-manggil namaku setiap lewat depan rumahnya. Satria, dari namanya pun kau tahu dia gagah. Tapi rela mati, meski datang ke rumah mengajukan pinangan dengan membawa sedan mewah, aku tak mau nerima. Dia mantan pasien rumah sakit jiwa. Dan sisa-sisa ketidakwarasannya masih belum hilang.
Hingga tamat kuliah, hingga bekerja, hingga sekarang, tak seorang pun pria yang kusuka berani datang ke rumah mengajukan pinangan. Jangankan pria berkelas, yang biasa-biasa pun tidak ada. Mungkin setelah beberapa kali penolakanku dulu, mereka saling berbisik satu sama lain untuk jangan coba-coba berani datang.
Padahal mempunyai kekasih halal, sungguh itu sesuatu yang sangat aku rindukan. Ingin kunikmati cinta halal, ingin kupunya seseorang halal, tempat menyentuh, tempat memeluk, tempat bicara, tempat curhat, pria belahan jiwa namun belum ada. Hanya meja kerja, moush, layar, sepatu, sandal saja yang kini bisa menjadi tempatku menumpahkan beban-beban. Sedangkan yang selalu dan selalu kurindu dan kangen ingin kembali dan kembali memeluk hingga kini hanya kamu, oh tiang listrik.
Tiang listrik, tak terasa waktu sudah pukul 16.00. Di luar hujan, tempiasnya membasahi kaca jendela. Dan kamu tiang listrik di sana, pasti kehujanan juga. Oh indahnya, pertemuan denganmu nanti pasti bakal jadi moment tak terlupakan. Sekali memelukmu, aku pasti langsung basah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju k...
-
Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan...
No comments:
Post a Comment