Tadinya saya tidak mau tahu apa itu Mukidi. Lewat di beranda, biarkan saja lewat. Tapi setelah seorang teman facebook menanyakannya, saya jadi ikut penasaran.
Jadi saya googling di yahoo.
Mukidi ternyata cuma seorang tokoh rekaan dalam cerita humor. Mewakili kalangan katro, terbelakang dan ketinggalan jaman. Dibuat oleh Soetantyo, pria kelahiran 7 Februari 1954, dan sekarang viral di berbagai social media. Whatsap, BBM, dan facebook.
Mukidi bertetangga dengan Jaya dan mereka tak pernah akur
Jaya membeli televisi, Mukidi panas membeli televisi
Jaya beli motor, Mukidi ikut beli motor kreditan
Menjelang agustusan, Jaya ngecet rumahnya dengan warna merah putih
Mukidi tak mau kalah, dia pun ngedet rumahnya dengan warna merah putih
Jaya memasang spanduk besar, "INDONESIA TETAP JAYA."
Mukidi panas, dia pun bikin spanduk lebih besar lagi, "INDONESIA TETAP MUKIDI"
Yang barusa saya tulis tidak persis dengan cerita Mukidi aslinya, tapi intinya tetap ke situ, humor konyol yang ditimbulkan oleh perasaan iri, dengki.
Monday, August 29, 2016
Sunday, August 28, 2016
TIPS SUKSES MENULIS DARI PENULIS TIDAK SUKSES
Orang tidak sukses berbagi tips sukses itu perbuatan menggelikan. Saya bukan seorang yang sukses di dunia tulis menulis, maka sebuah tindakan menggelikan saat saya berbagi tips sukses menulis.
Ini saya tulis sekedar persediaan saja, bila ada orang bertanya bagaimana trik saya menulis, maka jawaban ini akan langsung saya berikan.
Bagaimana saya menulis?
Inilah yang saya lakukan.
Saya hanya berusaha menikmati hidup saya, apa pun yang terjadi kemudian menuliskannya.
Sejak dulu, saya menganut prinsip menulis seenaknya, dengan alasan, apa yang enak saya tuliskan, akan enak pula dibaca orang.
Jika orang bertanya pada saya bagaimana cara terbaik menulis, saya hanya mempunyai jawaban,
"Menulislah dengan seenaknya, lalu nanti baca ulang, bagian-bagian yang tidak enak, perbaiki sampai bisa dibaca dengan enak."
Saya tidak suka yang susah-susah, saya kurang senang yang rumit-rumit. Semua ingin mudah, tidak perlu banyak pikiran, tidak perlu banyak rumus, tidak perlu banyak pikiran. Sebab ternyata, para penulis besar yang kini karyanya dinikmati banyak orang, mereka tidak terlalu punya banyak teori dalam menulis. Dengan so tahu saya mengatakan, mereka itu pasti menulis dengan seenaknya. Dan karena mereka menulis dengan seenaknya, maka saat sampai ke tangan saya, enak pula saya membacanya.
Jika ingin tulisan anda bagus, meresap, dan masuk ke hati orang, dan enak dibaca, nikmati saja hidup Anda, kemudian tuliskanlah. Tetap bahagialah apa pun yang terjadi, jangan lupa menuliskan dan mengambil hikmahnya.
Friday, August 26, 2016
PEMBELI PUN GAK BOLEH BOHONG
Bukan cuma penjual yang berpotensi bohong. Pembeli pun bisa. Saya misalnya tadi pagi, membeli buah, jeruk saya masukkan ke dalam keresek banyak-banyak, dan berikan pada si ibu tua buat menimbangnya. Dia bilang satu kilo setengah. Saya mau satu kilo saja. Ibu tua berkata, dia akan kasih murah, dua puluh lima ribu rupiah untuk satu kilo setengah jeruk ditambah pepaya. Saya tetap mau satu kilo saja dengan alasan uangnya gak cukup.
"Cuma bawa segini," sambil memperlihatkan lembaran hijau, dua puluh ribu.
"Oh ya sudahlah tidak apa-apa. Situ kan sering ke sini, biar nanti beli lagi."
"Jadi boleh Bu dua puluh ribu sama pepaya?"
"Ya boleh."
Perasaan bersalah muncul, dan ingin jujur, sebenarnya uang yang saya bawa lebih dua puluh ribu. Ada sepuluh ribuan lagi sudah lusuh, "Tapi Bu ini sebenarnya ada uang lagi."
"Sudah gak papa!"
"Kalu semangka berapa?"
"Lima belas."
"Ada yang sepuluh ribu tidak Bu?"
"Paling bisa tiga belas."
Saya habiskan saja uang buat beli semangka. Menebus perasaan bersalah.
Pulang dari pasar rempong, bawa pepaya besar, jeruk sekilo setengah, semangka, semuanya dibawa dalam kantong keresek transparan, lewat keramaian, lewat samping hotel, lewat parkiran.
Hadeuh, ibu-ibu pulang belanja!
"Cuma bawa segini," sambil memperlihatkan lembaran hijau, dua puluh ribu.
"Oh ya sudahlah tidak apa-apa. Situ kan sering ke sini, biar nanti beli lagi."
"Jadi boleh Bu dua puluh ribu sama pepaya?"
"Ya boleh."
Perasaan bersalah muncul, dan ingin jujur, sebenarnya uang yang saya bawa lebih dua puluh ribu. Ada sepuluh ribuan lagi sudah lusuh, "Tapi Bu ini sebenarnya ada uang lagi."
"Sudah gak papa!"
"Kalu semangka berapa?"
"Lima belas."
"Ada yang sepuluh ribu tidak Bu?"
"Paling bisa tiga belas."
Saya habiskan saja uang buat beli semangka. Menebus perasaan bersalah.
Pulang dari pasar rempong, bawa pepaya besar, jeruk sekilo setengah, semangka, semuanya dibawa dalam kantong keresek transparan, lewat keramaian, lewat samping hotel, lewat parkiran.
Hadeuh, ibu-ibu pulang belanja!
Sunday, August 21, 2016
TINGGALKAN BANGKU KULIAH
Kuliah diadakan para elit supaya masyarakat tunduk. Mereka suapkan materi kuliah sekemauan mereka agar kita telan bulat-bulat. Supaya nantinya kita mengikuti apa kemauan mereka. Sudah begitu, kita pun harus bayar.
Mereka gembor-gemborkan pentingnya kuliah. Sebab, kalau orang dibiarkan belajar tanpa sekolah, mereka bisa menjadi orang jenius. Einstein keluar dari kampus, karena pelajaran kampus itu tidak cocok buatnya. Dia mau fokus. Maka dia memilih keluar. Belajar sendiri, melakukan penelitian sendiri, maka dia menjadi orang jenius.
Kalau semakin banyak orang jenius, para elit bisa terancam, Orang bawah bisa menyaingi mereka. Kita bisa lebih kaya dari mereka. Pengaruh kita bisa lebih besar dari mereka, Mereka mau orang-orang seperti kita jangan sampai pintar, karenanya mereka paksa otak kita memakan pemikiran basi rancangan mereka, supaya nantinya pasrah menjadi budak-budak mereka.
Sejarah memperlihatkan kepada kita banyak orang jenius dibunuh. Galileo, Copernicus, Socrates. Merekan berpikir, kemudian mendapatkan penemuan baru, diumumkan kepada masyarakat, dan ternyata bertentangan. Merekapun dibunuh. Malah yang saya gak nyangka, Antoine Lavoisier, yang waktu sekolah namanya sering saya temukan di buku kima, sekarang baru tahu ternyata dia meninggal dihukum pancung. Dibaringkan dalam keadaan terikat, kemudian pisau guillotine jatuh memenggal kepalanya hingga lepas.
Sadis sekali pemeritahan. Ya karena mereka tidak suka dengan orang-orang jenius. Padahal semasa hidup, kecerdasannya dia abdikan buat membantu penertiban admistrasi negara. Dia juga mewariskan banyak pemikiran dan penemuan di bidang sains. Tapi saat orang minta mempertimbangkan jasa-jasanya itu, si hakim menjawab, "REPUBLIK TIDAK BUTUH ORANG-ORANG JENIUS."
Memang bener. Pemerintah hanya butuh orang-orang yang siap tunduk, manut, menjadi budak-budak uang. Yang bekerja demi uang, demi geji, demi pensiunan, bukan demi mengekspresikan dan memaksimalkan bakat dan kemampuan diri yang dianugerahkan Allah.
Mereka gembor-gemborkan pentingnya kuliah. Sebab, kalau orang dibiarkan belajar tanpa sekolah, mereka bisa menjadi orang jenius. Einstein keluar dari kampus, karena pelajaran kampus itu tidak cocok buatnya. Dia mau fokus. Maka dia memilih keluar. Belajar sendiri, melakukan penelitian sendiri, maka dia menjadi orang jenius.
Kalau semakin banyak orang jenius, para elit bisa terancam, Orang bawah bisa menyaingi mereka. Kita bisa lebih kaya dari mereka. Pengaruh kita bisa lebih besar dari mereka, Mereka mau orang-orang seperti kita jangan sampai pintar, karenanya mereka paksa otak kita memakan pemikiran basi rancangan mereka, supaya nantinya pasrah menjadi budak-budak mereka.
Sejarah memperlihatkan kepada kita banyak orang jenius dibunuh. Galileo, Copernicus, Socrates. Merekan berpikir, kemudian mendapatkan penemuan baru, diumumkan kepada masyarakat, dan ternyata bertentangan. Merekapun dibunuh. Malah yang saya gak nyangka, Antoine Lavoisier, yang waktu sekolah namanya sering saya temukan di buku kima, sekarang baru tahu ternyata dia meninggal dihukum pancung. Dibaringkan dalam keadaan terikat, kemudian pisau guillotine jatuh memenggal kepalanya hingga lepas.
Sadis sekali pemeritahan. Ya karena mereka tidak suka dengan orang-orang jenius. Padahal semasa hidup, kecerdasannya dia abdikan buat membantu penertiban admistrasi negara. Dia juga mewariskan banyak pemikiran dan penemuan di bidang sains. Tapi saat orang minta mempertimbangkan jasa-jasanya itu, si hakim menjawab, "REPUBLIK TIDAK BUTUH ORANG-ORANG JENIUS."
Memang bener. Pemerintah hanya butuh orang-orang yang siap tunduk, manut, menjadi budak-budak uang. Yang bekerja demi uang, demi geji, demi pensiunan, bukan demi mengekspresikan dan memaksimalkan bakat dan kemampuan diri yang dianugerahkan Allah.
Friday, August 19, 2016
ADA APA DENGAN BAWANG MERAH?
Ada apa sepagi ini menelfon, Istriku. Kamu bilang semuanya salah bawang merah, tapi mengapa dia sampai membuatmu tersedu-sedu. Kamu berdusta, aku tidak percaya. Irisan bawang merah bisa melelehkan air mata, tapi tak pernah kudengar dia sampai bisa membuat seorang istri sesenggukan.
Katakan saja yang sebenarnya, tidak perlu berdusta, tidak perlu kau tutup-tutupi. Bukankah terus terang dan saling terbuka selama ini telah menjadi pengikat kita.
Apa? Kau membaca status facebookku?
Apa? Kau cemburu di sana ada orang memberikan komentar dengan tanda I Love You?
Oh, haha.
Maafkan tawaku, Istriku
Ini sama sekali bukan tawa bahagia di atas kesedihanmu,
Ini tawa terima kasih
Kamu telah membuatku bahagia
Karena dicemburui seperti ini pertanda dicintai
Kamu semakin muram dan diam Sayangku, oh sekarang malah berpaling.
Hai, inilah saatnya aku akting adegan dalam sinetron, meniru seorang suami berkata kepada istrinya
"Dengarkan dulu penjelasanku!"
Istriku, kenapa semakin membisu? Bicaralah.
Baiklah, aku serius...
Mereka memberikan komentar berdasarkan pengalaman mereka. Mereka menyatakan suka bukan berarti karena suka kepada saya. Siapa mereka, siapa saya. Kami tidak saling kenal. Suamimu ini orang kuper yang sehari-harinya diam dalam ruangan, jarang keluar seperti orang lain memperluas pergaulan. Cuma berani berkata di sosial media sedang berkata langsung di depan orang banyak sangat pasti akan gemetaran. Jadi tak mungkinlah mereka suka sama saya.
Mereka suka kepada status saya karena status saya relevan dengan apa yang sekarang mereka rasakan. Antara lain yang suaminya jauh di belahan dunia sana, sedang berlayar mencari nafkah dalam pelayaran kapal pesiar, antara lain yang suaminya jauh di belahan dunia sana, sedang kerja di kilang minyak sebuah negara Arab, antara lain yang suaminya kerja sebagai tukang tembok jauh di sana di Brunei Darussalam... maka membaca statusku tentang sebuah cinta berjarak seperti yang sedang kita rasakan, sangat pasti itu sangat pas dengan kondisi diri dan suaminya sekarang. Cinta mereka dipisahkan jarak, maka saat mereka membaca tulisan saya, mereka rasakan tulisan saya sedang membaca kisah mereka.
Mau kisah tentang cemburu yang lebih seru? Mau kisah cemburu yang lebih berhikmah? Baca buku CATATAN HATI YANG CEMBURU!
Katakan saja yang sebenarnya, tidak perlu berdusta, tidak perlu kau tutup-tutupi. Bukankah terus terang dan saling terbuka selama ini telah menjadi pengikat kita.
Apa? Kau membaca status facebookku?
Apa? Kau cemburu di sana ada orang memberikan komentar dengan tanda I Love You?
Oh, haha.
Maafkan tawaku, Istriku
Ini sama sekali bukan tawa bahagia di atas kesedihanmu,
Ini tawa terima kasih
Kamu telah membuatku bahagia
Karena dicemburui seperti ini pertanda dicintai
Kamu semakin muram dan diam Sayangku, oh sekarang malah berpaling.
Hai, inilah saatnya aku akting adegan dalam sinetron, meniru seorang suami berkata kepada istrinya
"Dengarkan dulu penjelasanku!"
Istriku, kenapa semakin membisu? Bicaralah.
Baiklah, aku serius...
Mereka memberikan komentar berdasarkan pengalaman mereka. Mereka menyatakan suka bukan berarti karena suka kepada saya. Siapa mereka, siapa saya. Kami tidak saling kenal. Suamimu ini orang kuper yang sehari-harinya diam dalam ruangan, jarang keluar seperti orang lain memperluas pergaulan. Cuma berani berkata di sosial media sedang berkata langsung di depan orang banyak sangat pasti akan gemetaran. Jadi tak mungkinlah mereka suka sama saya.
Mereka suka kepada status saya karena status saya relevan dengan apa yang sekarang mereka rasakan. Antara lain yang suaminya jauh di belahan dunia sana, sedang berlayar mencari nafkah dalam pelayaran kapal pesiar, antara lain yang suaminya jauh di belahan dunia sana, sedang kerja di kilang minyak sebuah negara Arab, antara lain yang suaminya kerja sebagai tukang tembok jauh di sana di Brunei Darussalam... maka membaca statusku tentang sebuah cinta berjarak seperti yang sedang kita rasakan, sangat pasti itu sangat pas dengan kondisi diri dan suaminya sekarang. Cinta mereka dipisahkan jarak, maka saat mereka membaca tulisan saya, mereka rasakan tulisan saya sedang membaca kisah mereka.
Mau kisah tentang cemburu yang lebih seru? Mau kisah cemburu yang lebih berhikmah? Baca buku CATATAN HATI YANG CEMBURU!
Thursday, August 18, 2016
BUKU ORANG GILA NULIS
Buku ini kuberi judul...
ORANG GILA NULIS
Tidak perlu berharap terlalu banyak dari bukuku, semisal ingin mendapatkan pencerahan, menjadi lebih sejahtera, atau lebih bergairah menjalani hidup. Tidak perlu, karena buku yang kususun ini asbun. Kamu lihat kubagikan dalam bentuk buku PDF yang bisa dicopy siapa saja, jadi sama sekali tidak ada harganya.
Karena buku ini hanyalah buku yang dihasilkan oleh ORANG GILA NULIS
Terserah kalian mau mengartikan judul itu apa
Apa pun bebas.
Bisa jadi maksudnya buku ini dibuat oleh ORANG GILA yang NULIS
Bisa juga diartikan ORANG yang GILA NULIS.
Namanya juga orang gila, kalau berkata seenaknya, asal ceplos, asal bunyi, dan itulah yang kubagikan dengan karya ini.
Lalu apa gunanya saya bukukan dan sebarkan?
Ya siapa tahu saja ada orangb rajin menelisik jarum di tengah tumpukan jerami, siapa tahu ada orang tekun mencari mutiara di dalam lumpur.
Saya yakin banyak orang lebih suka berpikir positif, yang kepada karya orang lain lebih suka menghargai dan mengambil manfaatnya. Bukan dia tidak tahu mengkritik, tahu betul dia, cuma dia pun sangat tahu cara menempatkannya.
Wednesday, August 17, 2016
FAKTOR PENENTU KEMAJUAN SEBUAH NEGERI
Pagi itu hari libur. Emon dan Icih seperti biasa menghabiskan waktu di depan televisi nonton kartun Doraemon.
"Bosan lihat film kartun terus. Mendingan matikan tivinya ya Cih."
"Iya Kang, setuju."
"Aku lagi mikir, apa membuat sebuah negara jadi maju."
"Kita mau ngobrol Kang?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Tanya jawab kan? Aku pening kalau diajak tukar pikiran."
"Kenapa pusing?"
"Gak ditukar-tukar aja sudah terasa pusing, apalagi kalau pake acara ditukar-tukar."
"Cih, diskusi bisa bikin kita tambah ilmu."
"Hah, nambah ilmu-nambah ilmu buat apa an? Emangnya setelah ilmu nambah bakal jadi apa? Buat tahu doang? Supaya numpuk di kepala?"
"Eh, jangan begitu Icih! Kamu mah tidak berpikir maju jadi orang teh! Dengarkan ya! Kita mah gak tahu nantinya bakal jadi apa, nyari ilmu mah nyari aja, dengan ikhlas, karena diperintahkan dalam agama. Tuh orang lain yang dulunya tekun mencari ilmu, tidak sia-sia, ilmunya berguna."
"Siapa contohnya?"
"Si Tijob, yang mempunya perusahaan apel, waktu kuliah dia belajar huruf-huruf, dia sendiri tidak tahu pengetahuannya itu mau berguna buat apa. Tapi karena ilmu apa pun itu berharga, dia belajar saja dengan sesungguh-sungguhnya. Kan tidak disangka, akhirnya ilmu itu berguna dalam perancangan produk-produk perusahaan apelnya."
"Gak ngarti saya mah, apel kok pake dirancang segala. Apel itu tinggal ditanam, trus dipetik, gak bisa dirancang-rancang, gak bisa dibuat tangan kita."
"Da maksud aku mah bukan apel buah atuh Icih, ini mah hape."
"Sudah ah, aku mau nyuci!"
"Eh Icih dengarkan kalau aku lagi ngomong teh! Saya ini suamimu!"
"Sudah, aku bosan dengernya Kang!"
"Icih!"
"Kang, apa-apaan naik ke atas meja kompor begitu?"
"Diam kamu Icih! Dengarkan suamimu, ternyata faktor yang menentukan maju dan mundurnya suatu bangsa itu bukan karena rasnya. Karena banyak ras tinggal di tinggal dalam wilayah yang sama, tapi dalam satu generasi sejarahnya mereka mencapai kemajuan tapi generasi berikutnya mengalami kemunduran."
"Sudah siam Kang, sabun cuci di mana?"
"Cari sendiri. Apakah kemajuan suatu bangsa disebabkan kekuatan militernya? Tidak juga, sebab ada bangsa yang berhasil menaklukkan dan menjajah bangsa lain, tapi bangsa dan negaranya sendiri tidak ada kemajuan sedang negar yang ditaklukkannya maju pesat."
"Mungkin IPTEK Kang!"
"Nah begitu atuh, tanggapi kalau diajak ngomong teh, jangan diam saja! Malah ngurusin yang lain!"
"Tuh kan Si Akang mah menyebalkan. Saya tanggapi malah nyolot."
"Eeehh diingatkan teh suka melawan kamu mah!"
"Turun Kang, turun!! Nanti tembok bak jebol!"
"Tidak Icih, aku ingin meneruskan ceramahku!! Tadi kata kamu faktor penentunya IPTEK, tidak juga Cih!"
"Buktinya?"
"Ah kamu Icih, istri yang cerdas!"
"Pernah Cih, sebuah negara mengadakan percobaan kepada sekelompok nelayan terbelakang. Mereka diberi alat canggih hasil IPTEk dan diberi keterampilan teknis penggunaannya. Hasilnya mengagumkan, ikan yang mereka dapatkan melimpah, tapi beberapa lama kemudian mereka berhenti bekerja dnegan alaasan perolehan mereka lebih dari cukup untuk hidup beberapa lama, sedangkan sebagian sisanya mereka habiskan untuk berfoya-foya, sehingga kelompok tersebut tidak mengalami kemajuan peradaban. "
"Jadi harus dari mana Kang mulainya?"
"Kamu ingat ayat Al-Qur'an?"
"Aduh, ini deterjen hampir habis Kang!"
"Pake aja seadanya. Kemajuan suatu bangsa dimulai dari mengubah nilai-nilai apa yang menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Sesuai ayat Al-Qur'an."
"Tuh kan gak cukup detergennya."
"Begini ayatnya.'Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu mengubahb apa yang ada dalam diri mereka.' Di sana ada kata, apa yang ada dalam diri mereka. Seorang ahli tafsir mengatakan, yang ada dalam diri maksudnya, nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup, kehendak dan tekad Cih!"
"Tau ah!"
"Eh Si Icih dengarkan atuh! Pakar filsafat Mesir kontemporer, Pak Zaki Najib mengutip hasil penelitian seorang guru besar di Universitas Harvard pada 40 negara berkaitan maju mundur negara itu sepanjang sejarah. Satu faktor utamanya, adalah materi bacaan masyarakatnya. Dua puluh tahun menjelang kemajuan dan kemunduran tersebut, para anak muda dibekali bacaan yang mengantarkan pada kemajuan atau kemundura. Bacaan itu mengubah pandangan hidup mereka, sehingga setelah dua puluh tahun mereka berperan di negerinya dan menjadi penentu kemajuan atau kemunduran."
"Kapan Kang kita punya mesin cuci, saya mah cape ngagesrok terus."
"Gimana Cih ngarti?"
"Enggak. Kalau sudah dibelikan mesin cuci aku baru ngarti."
"Bosan lihat film kartun terus. Mendingan matikan tivinya ya Cih."
"Iya Kang, setuju."
"Aku lagi mikir, apa membuat sebuah negara jadi maju."
"Kita mau ngobrol Kang?"
"Iya, emangnya kenapa?"
"Tanya jawab kan? Aku pening kalau diajak tukar pikiran."
"Kenapa pusing?"
"Gak ditukar-tukar aja sudah terasa pusing, apalagi kalau pake acara ditukar-tukar."
"Cih, diskusi bisa bikin kita tambah ilmu."
"Hah, nambah ilmu-nambah ilmu buat apa an? Emangnya setelah ilmu nambah bakal jadi apa? Buat tahu doang? Supaya numpuk di kepala?"
"Eh, jangan begitu Icih! Kamu mah tidak berpikir maju jadi orang teh! Dengarkan ya! Kita mah gak tahu nantinya bakal jadi apa, nyari ilmu mah nyari aja, dengan ikhlas, karena diperintahkan dalam agama. Tuh orang lain yang dulunya tekun mencari ilmu, tidak sia-sia, ilmunya berguna."
"Siapa contohnya?"
"Si Tijob, yang mempunya perusahaan apel, waktu kuliah dia belajar huruf-huruf, dia sendiri tidak tahu pengetahuannya itu mau berguna buat apa. Tapi karena ilmu apa pun itu berharga, dia belajar saja dengan sesungguh-sungguhnya. Kan tidak disangka, akhirnya ilmu itu berguna dalam perancangan produk-produk perusahaan apelnya."
"Gak ngarti saya mah, apel kok pake dirancang segala. Apel itu tinggal ditanam, trus dipetik, gak bisa dirancang-rancang, gak bisa dibuat tangan kita."
"Da maksud aku mah bukan apel buah atuh Icih, ini mah hape."
"Sudah ah, aku mau nyuci!"
"Eh Icih dengarkan kalau aku lagi ngomong teh! Saya ini suamimu!"
"Sudah, aku bosan dengernya Kang!"
"Icih!"
"Kang, apa-apaan naik ke atas meja kompor begitu?"
"Diam kamu Icih! Dengarkan suamimu, ternyata faktor yang menentukan maju dan mundurnya suatu bangsa itu bukan karena rasnya. Karena banyak ras tinggal di tinggal dalam wilayah yang sama, tapi dalam satu generasi sejarahnya mereka mencapai kemajuan tapi generasi berikutnya mengalami kemunduran."
"Sudah siam Kang, sabun cuci di mana?"
"Cari sendiri. Apakah kemajuan suatu bangsa disebabkan kekuatan militernya? Tidak juga, sebab ada bangsa yang berhasil menaklukkan dan menjajah bangsa lain, tapi bangsa dan negaranya sendiri tidak ada kemajuan sedang negar yang ditaklukkannya maju pesat."
"Mungkin IPTEK Kang!"
"Nah begitu atuh, tanggapi kalau diajak ngomong teh, jangan diam saja! Malah ngurusin yang lain!"
"Tuh kan Si Akang mah menyebalkan. Saya tanggapi malah nyolot."
"Eeehh diingatkan teh suka melawan kamu mah!"
"Turun Kang, turun!! Nanti tembok bak jebol!"
"Tidak Icih, aku ingin meneruskan ceramahku!! Tadi kata kamu faktor penentunya IPTEK, tidak juga Cih!"
"Buktinya?"
"Ah kamu Icih, istri yang cerdas!"
"Pernah Cih, sebuah negara mengadakan percobaan kepada sekelompok nelayan terbelakang. Mereka diberi alat canggih hasil IPTEk dan diberi keterampilan teknis penggunaannya. Hasilnya mengagumkan, ikan yang mereka dapatkan melimpah, tapi beberapa lama kemudian mereka berhenti bekerja dnegan alaasan perolehan mereka lebih dari cukup untuk hidup beberapa lama, sedangkan sebagian sisanya mereka habiskan untuk berfoya-foya, sehingga kelompok tersebut tidak mengalami kemajuan peradaban. "
"Jadi harus dari mana Kang mulainya?"
"Kamu ingat ayat Al-Qur'an?"
"Aduh, ini deterjen hampir habis Kang!"
"Pake aja seadanya. Kemajuan suatu bangsa dimulai dari mengubah nilai-nilai apa yang menjadi pandangan hidup masyarakatnya. Sesuai ayat Al-Qur'an."
"Tuh kan gak cukup detergennya."
"Begini ayatnya.'Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu mengubahb apa yang ada dalam diri mereka.' Di sana ada kata, apa yang ada dalam diri mereka. Seorang ahli tafsir mengatakan, yang ada dalam diri maksudnya, nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup, kehendak dan tekad Cih!"
"Tau ah!"
"Eh Si Icih dengarkan atuh! Pakar filsafat Mesir kontemporer, Pak Zaki Najib mengutip hasil penelitian seorang guru besar di Universitas Harvard pada 40 negara berkaitan maju mundur negara itu sepanjang sejarah. Satu faktor utamanya, adalah materi bacaan masyarakatnya. Dua puluh tahun menjelang kemajuan dan kemunduran tersebut, para anak muda dibekali bacaan yang mengantarkan pada kemajuan atau kemundura. Bacaan itu mengubah pandangan hidup mereka, sehingga setelah dua puluh tahun mereka berperan di negerinya dan menjadi penentu kemajuan atau kemunduran."
"Kapan Kang kita punya mesin cuci, saya mah cape ngagesrok terus."
"Gimana Cih ngarti?"
"Enggak. Kalau sudah dibelikan mesin cuci aku baru ngarti."
DINDING JOMBLO
Dinding terjal kejombloan telah kamu daki, Wiro
Di sana, kamu pernah memegang akar lapuk, kemudian patah, dan kamu melayang jatuh
Untunglah sedahan beringin yang terulur menahanmu
Tanganmu gesit berpegangan ke sana, dan
Meskipun luka-luka
Kamu tidak pernah putus asa untuk terus mendaki
Sejenak memang kamu berhenti, Wiro, menulis status akan sengsaranya kamu
Menahan kejombloan sekian lama
Pada buku lusuh memori yang dipenuhi catatan hasratmu menikah sejak usia 17 tahun
Lalu setelah beristirahat sejenak
Kamu kembali mendaki
Mendaki dan
Terus mendaki tanpa putus asa
Dan sebuah batu bullian menggelinding jatuh, tanpa ampun membentur jidatmu
Yang menyebabkanmu harus nyengir menahan sakit
Dan terdiam sejenak sambil berpegangan ke akar
Mencatat lagi
Di status facebook untuk bahan hiburan orang-orang
Dan setelah sakit itu reda
Pendakian kembali kamu lanjutkan
Ada ular hijau Wiro, dia mematukmu, berracun, dan itu adalah film-film yang kamu tonton
Yang memperlihatkan betapa mudahnya mencari cinta
Dua orang ketemuan, pacaran, menikah
Kamu pun heran dan mengurut dada, bertanya, "Mengapa begitu mudahnya."
Kamu geleng-geleng kepala, dan terus mendaki
Dan ketika
Kamu sudah begitu lelah dan berserah
Pendakian dinding kejombloan ini akan menemukan puncak atau tidak,
Ternyata pendakian sulit dinding kejombloan itu akhirnya selesai...
Lalu kamu lihat dari sana,
Betapa jurang yang telah kamu daki begitu tinggi
Kamu pun ingin mencatat sejarah pendakian itu, tapi sungguh beruntung
Kamu tak perlu repot, sebab
Catatan selama pendakian telah kamu buat dan kini, tinggal kamu susun
Di sana, kamu pernah memegang akar lapuk, kemudian patah, dan kamu melayang jatuh
Untunglah sedahan beringin yang terulur menahanmu
Tanganmu gesit berpegangan ke sana, dan
Meskipun luka-luka
Kamu tidak pernah putus asa untuk terus mendaki
Sejenak memang kamu berhenti, Wiro, menulis status akan sengsaranya kamu
Menahan kejombloan sekian lama
Pada buku lusuh memori yang dipenuhi catatan hasratmu menikah sejak usia 17 tahun
Lalu setelah beristirahat sejenak
Kamu kembali mendaki
Mendaki dan
Terus mendaki tanpa putus asa
Dan sebuah batu bullian menggelinding jatuh, tanpa ampun membentur jidatmu
Yang menyebabkanmu harus nyengir menahan sakit
Dan terdiam sejenak sambil berpegangan ke akar
Mencatat lagi
Di status facebook untuk bahan hiburan orang-orang
Dan setelah sakit itu reda
Pendakian kembali kamu lanjutkan
Ada ular hijau Wiro, dia mematukmu, berracun, dan itu adalah film-film yang kamu tonton
Yang memperlihatkan betapa mudahnya mencari cinta
Dua orang ketemuan, pacaran, menikah
Kamu pun heran dan mengurut dada, bertanya, "Mengapa begitu mudahnya."
Kamu geleng-geleng kepala, dan terus mendaki
Dan ketika
Kamu sudah begitu lelah dan berserah
Pendakian dinding kejombloan ini akan menemukan puncak atau tidak,
Ternyata pendakian sulit dinding kejombloan itu akhirnya selesai...
Lalu kamu lihat dari sana,
Betapa jurang yang telah kamu daki begitu tinggi
Kamu pun ingin mencatat sejarah pendakian itu, tapi sungguh beruntung
Kamu tak perlu repot, sebab
Catatan selama pendakian telah kamu buat dan kini, tinggal kamu susun
Tuesday, August 16, 2016
BI TATI
Potret ini kenangan terindah dalam hidupku. Tak pernah kubuang, terus kusimpan, bingkai dan simpan di atas meja. Istri dan dua putri kembarku yang kini SMA tahu siapa dia. Dengan sangat terbuka pernah kuceritakan.
Dulu, sewaktu SMP, berangkat sekolahku kerap kali melewati penggilingan padi. Seorang wanita usia empat puluhan sering kulihat di sana. Dari sela pintu rumah penggilingan, tampak dia mengelap keringat, karena sibuk menimbang padi, membantu suaminya.
Aku sangat tertarik dengannya. Saat mulai tumbuh dalam perasaan ini cinta kepada lawan jenis, kepada wanita itulah hatiku tertambat.
Maka malam itu, sepulang dari madrasah, aku singgah ke rumah pemilik penggilingan padi.
"Pak, aku jatuh cinta pada Bi Tati."
"Bi Tati mana?"
"Istri Bapak!"
"Oh jadi kamu jatuh cinta kepada istriku?"
Mang Ohim memanggil istrinya, "Tatiii!!!"
Yang dipanggil muncul dari kamar, "Ada apa Kang?"
"Duduk!"
"Ya, ada apa? Eh ada Randi, tumben main malam-malam begini?"
"Ini Randi katanya mencintaimu."
"Hah?"
"Iya Bi, aku sangat mencintai Bi Tati."
"Kamu ini masih kecil, aku sudah sangat tua."
"Tatii, kupikir ini memang sudah waktunya kita berpisah. Sudah waktunya aku mempunyai istri baru, jadi sepertinya bagus jika kamu kuceraikan saja. Nah, setelah habis masa idah, kamu bisa menikah dengan Randi."
"Ya Bi, setelah lulus SMP, aku tidak akan meneruskan sekolah, akan merawat perkebunan pepaya punya Bapak, dan mengurus tiga hektar sawahnya, dan ingin punya istri."
"Tapi Pak?"
"Sudahlah, ini jalan terbaik untuk kita, sebetulnya aku sudah meminang seorang anak SMA dari kampung sebelah, jadi besok aku akan segera mengurus surat-suratnya ke pengadilan."
"Ya Bi, aku sudah sangat mencintai Bibi, tak mengapa usia Bibi sudah empat puluh lebih, aku sangat cinta. Aku selalu berdebar-debar setiap kali melihat keringat bibi bertimbulan di pelipis bila kebetulan mengatar ibu menggiling padi."
Singkat cerita, sekolahku tamat, dan tentu saja saat itu sudah habis masa iddah Bi Tati dari suami yang menceraikannya. Aku pun menikahinya dengan mas kawin, uang dua juta rupiah, hasil menjual lima puluh pohon mahoni besar dari kebun peninggalan Bapak.
Setelah menikah, kami tinggal dalam satu rumah. Rumah baru dari bambu yang dibangun dengan gaya bungalau di bukit. Rumah warisan Bapakku yang telah meninggal kubirkan ditinggali ibu. Tentu saja sebagai suami istri kami tidur bersama, tapi kalian tidak perlu berpikir macam-macam, sebatas tidur saja dan berpelukan dan tidak lebih dari itu, setidaknya itu terjadi untuk tiga tahun pertama pernikahan, karena memang hanya tiga tahun rumah tangga kami. Bi Tati yang sangat kucinta merana hidup bersamaku, sawah sekian hektar kuminta dia sendiri yang mencangkulnya. Lama-lama jatuh sakit. Badannya yang dulu montok berubah kurus. Dan pada tahun ketiga itulah dia meninggal.
BELAJAR KEPADA WIRO
"Kang."
"Ya, mau apa lagi? mau buat saya ketawa ngakak lagi, sampai terlenggak ke belakang lagi? Mau bikin saya jatuh dari kursi lagi?"
"Mau nerusin curhat."
"Ya, tapi gak jangan sampai kamu bikin kelucuan lagi."
"Kemarin juga gak bermaksud melucu Kok. Kang Dana aja itu mah mengejek aku, mentertawakanku."
"Dan ada syarat lainnya."
"Apa?"
"Kamu gak perlu minta solusi, saya bukan ahli percintaan."
"Iya deh Kang."
"Jadi mau curhat apa?"
"Jadi baiknya aku bagaimana ya?"
"Lha belum juga semenit, sudah minta solusi. Kalau mau cerita ya cerita aja. Gak perlu nanya-nanya, saya bukan ahlinya. Lagian aku juga gak tahu bagaimana apanya?"
"Iya, aku kan suka sama dia."
"Dia siapa?"
"Yang beberapa hari kemarin aku cerita itu."
"Yang dekat tetap jauh?"
"Iya."
"Terus?"
"Ya bagusnya aku bagaimana ya Kang?"
"Heh!!!"
"Eit sabar Kang, aku gak bermaksud nanya. Aku lagi nanya sama diri sendiri, dan mau kujawab."
"Kamu ini aneh."
"Aneh kenapa Kang?"
"Aneh, kamu yang nanya, kamu yang jawab."
"Ya karena Kang Dana gak mau jawab."
"Siapa bilang gak mau jawab?"
"Kang Dana."
"Enggak bilang begitu, aku cuma melarang kamu bertanya."
"Lha melarang bertanya kan berarti tidak mau menjawab."
"Ah enggak. Saya mau menjawab tanpa kamu harus bertanya kepada saya."
"Kang Dana bikin aku pusing."
"Ok, ya sudah, kamu boleh ngapain aja, nanya silakan, jawab silakan, minta solusi silakan, bebas, asal jangan minta pulsa."
"Jadi harusnya aku bagaimana ya Kang?"
"Denger ya!"
"Gak bisa Kang."
"Kenapa?"
"Ini inboks facebook, bukan telfonan."
"Kalau begitu perhatikan ya!"
"Ya Kang."
"Ada tiga katagori wanita yang kamu suka. Pertama, lampu merah. Kedua, lampu kuning. Ketiga, lampu hijau."
"Ini lagi ngomongin lalu lintas ya Kang?"
"Whatever!"
"Hehe."
"Kamu harus tahu, wanita satu kampungmu yang sudah tidak mau respon lagi itu jenis yang mana. Jenis lampu merah, lampu kuning, atau lampu hijau."
"Wanita lampu merah itu apa sih Kang?"
"Yang sejak awal dia sudah menolak, tidak menunjukkan ketertarikan. Gak perlu pikir panjang, wanita semacam itu tinggalkan. Kamu berkorban apa pun untuknya, waktu, uang, tenaga, pikiran, bakalan sia-sia, sebab dia telah menunjukkan lampu merah. Cinta memang butuh pengorbanan, tapi pengorbanan itu jangan sampai sia-sia."
"Wanita lampu kuning?"
"Dia sepertinya mau kamu dekati, tapi cuma buat memanfaatkanmu doang. Dia mau cuma saat dia butuh. Pada saat kamu butuh, dia menghindar. Dan selama hubungan, hanya kamu yang tertarik dengannya, sedangkan dia tidak. Hubungan dengan wanita jenis ini cuma bakal jadi drama."
"Kayaknya, wanita satu kampungku jenis lampu kuning deh, ya nggak Kang?"
"Gak tahu!"
"Kalau misalnya jenis wanita lampu kuning?"
"Tinggalkan!"
"Bukankah cinta harus diperjuangkan."
"Harus! Tapi cinta yang harus kamu perjuangkan hanyalah cinta yang layak kamu perjuangkan, cinta yang dengannya kamu akan mendapatkan hubungan membahagiakan."
"Oh ya ya. Ketiga, lampu hijau, nah yang bagaimana ini Kang?"
"Yang kamu berbuat baik kepadanya, dia pun berbuat baik sama kamu. Kamu berkata manis kepadanya, dia pun berkata manis kepadamu. Kamu menghargai apa yang dilakukannya kepadamu, dia pun menghargai apa kamu lakukan kepadanya. Tanpa kamu berkorban, dia akan rela berkorban untukmu. Wanita semacam ini yang layak kamu hargai dan jadikan pasangan."
"Inikah cinta yang layak kuperjuangkan?"
"Ya, seperti Wiro kepada Wulan. Jauh dari Kota Depok ke Magelang, tidak tahu jalan karena baru ke sana, malam-malam, ke perkampungan, tapi dia rela berjuang untuk sampai ke sana. Dari Depok juga pulang begitu jauh ke Toraja mengurus surat-surat, cape, repot, gak apa-apa dia lakukan pengorbanan itu demi cinta karena cinta yang sedang dia perjuangkan memang layak, karena Wulan sudah memberikan lampu hijau kepadanya."
"Makasih ya Kang."
"Setelah ini gak perlu nanya-nanya lagi."
"Lha itu kan bisa menjawab."
"Saya bisa menjawab karena jawabannya kebetulan ada, yaitu kisah Wiro. Kalau nanya hal lain, saya gak tahu."
"Ya, mau apa lagi? mau buat saya ketawa ngakak lagi, sampai terlenggak ke belakang lagi? Mau bikin saya jatuh dari kursi lagi?"
"Mau nerusin curhat."
"Ya, tapi gak jangan sampai kamu bikin kelucuan lagi."
"Kemarin juga gak bermaksud melucu Kok. Kang Dana aja itu mah mengejek aku, mentertawakanku."
"Dan ada syarat lainnya."
"Apa?"
"Kamu gak perlu minta solusi, saya bukan ahli percintaan."
"Iya deh Kang."
"Jadi mau curhat apa?"
"Jadi baiknya aku bagaimana ya?"
"Lha belum juga semenit, sudah minta solusi. Kalau mau cerita ya cerita aja. Gak perlu nanya-nanya, saya bukan ahlinya. Lagian aku juga gak tahu bagaimana apanya?"
"Iya, aku kan suka sama dia."
"Dia siapa?"
"Yang beberapa hari kemarin aku cerita itu."
"Yang dekat tetap jauh?"
"Iya."
"Terus?"
"Ya bagusnya aku bagaimana ya Kang?"
"Heh!!!"
"Eit sabar Kang, aku gak bermaksud nanya. Aku lagi nanya sama diri sendiri, dan mau kujawab."
"Kamu ini aneh."
"Aneh kenapa Kang?"
"Aneh, kamu yang nanya, kamu yang jawab."
"Ya karena Kang Dana gak mau jawab."
"Siapa bilang gak mau jawab?"
"Kang Dana."
"Enggak bilang begitu, aku cuma melarang kamu bertanya."
"Lha melarang bertanya kan berarti tidak mau menjawab."
"Ah enggak. Saya mau menjawab tanpa kamu harus bertanya kepada saya."
"Kang Dana bikin aku pusing."
"Ok, ya sudah, kamu boleh ngapain aja, nanya silakan, jawab silakan, minta solusi silakan, bebas, asal jangan minta pulsa."
"Jadi harusnya aku bagaimana ya Kang?"
"Denger ya!"
"Gak bisa Kang."
"Kenapa?"
"Ini inboks facebook, bukan telfonan."
"Kalau begitu perhatikan ya!"
"Ya Kang."
"Ada tiga katagori wanita yang kamu suka. Pertama, lampu merah. Kedua, lampu kuning. Ketiga, lampu hijau."
"Ini lagi ngomongin lalu lintas ya Kang?"
"Whatever!"
"Hehe."
"Kamu harus tahu, wanita satu kampungmu yang sudah tidak mau respon lagi itu jenis yang mana. Jenis lampu merah, lampu kuning, atau lampu hijau."
"Wanita lampu merah itu apa sih Kang?"
"Yang sejak awal dia sudah menolak, tidak menunjukkan ketertarikan. Gak perlu pikir panjang, wanita semacam itu tinggalkan. Kamu berkorban apa pun untuknya, waktu, uang, tenaga, pikiran, bakalan sia-sia, sebab dia telah menunjukkan lampu merah. Cinta memang butuh pengorbanan, tapi pengorbanan itu jangan sampai sia-sia."
"Wanita lampu kuning?"
"Dia sepertinya mau kamu dekati, tapi cuma buat memanfaatkanmu doang. Dia mau cuma saat dia butuh. Pada saat kamu butuh, dia menghindar. Dan selama hubungan, hanya kamu yang tertarik dengannya, sedangkan dia tidak. Hubungan dengan wanita jenis ini cuma bakal jadi drama."
"Kayaknya, wanita satu kampungku jenis lampu kuning deh, ya nggak Kang?"
"Gak tahu!"
"Kalau misalnya jenis wanita lampu kuning?"
"Tinggalkan!"
"Bukankah cinta harus diperjuangkan."
"Harus! Tapi cinta yang harus kamu perjuangkan hanyalah cinta yang layak kamu perjuangkan, cinta yang dengannya kamu akan mendapatkan hubungan membahagiakan."
"Oh ya ya. Ketiga, lampu hijau, nah yang bagaimana ini Kang?"
"Yang kamu berbuat baik kepadanya, dia pun berbuat baik sama kamu. Kamu berkata manis kepadanya, dia pun berkata manis kepadamu. Kamu menghargai apa yang dilakukannya kepadamu, dia pun menghargai apa kamu lakukan kepadanya. Tanpa kamu berkorban, dia akan rela berkorban untukmu. Wanita semacam ini yang layak kamu hargai dan jadikan pasangan."
"Inikah cinta yang layak kuperjuangkan?"
"Ya, seperti Wiro kepada Wulan. Jauh dari Kota Depok ke Magelang, tidak tahu jalan karena baru ke sana, malam-malam, ke perkampungan, tapi dia rela berjuang untuk sampai ke sana. Dari Depok juga pulang begitu jauh ke Toraja mengurus surat-surat, cape, repot, gak apa-apa dia lakukan pengorbanan itu demi cinta karena cinta yang sedang dia perjuangkan memang layak, karena Wulan sudah memberikan lampu hijau kepadanya."
"Makasih ya Kang."
"Setelah ini gak perlu nanya-nanya lagi."
"Lha itu kan bisa menjawab."
"Saya bisa menjawab karena jawabannya kebetulan ada, yaitu kisah Wiro. Kalau nanya hal lain, saya gak tahu."
Sunday, August 14, 2016
DEKAT TETAPI JAUH
"Kang Dana punya waktu luang tidak?" inboksnya.
"Mau apa?"
"Aku mau curhat."
"Curhat apa?"
"Dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat."
"Maksudmu?"
"Dekat tetapi jauh. Bisakah Kang Dana menjawab kenapa sesuatu yang dekat tetapi terasa jauh."
"Maksudmu apa sih?"
"Satu kampung, bertemu begitu mudah, tetapi jauh sekali rasanya. Serasa terdinding beton yang sangat tebal."
Kubuka profil facebooknya dia tinggal di mana, tapi tidak dicantumkan. Kutanya aja, "Kamu tinggal di mana?"
Dia menyebutkan nama sebuah kecamatan.
"Oh,"
"Jadi kenapa Kang?"
"Kenapa apanya?"
"Duh! cape deh."
"Aku lupa, kenapa apanya?"
"Kenapa dekat tetapi jauh?"
"Menurutmu sendiri kenapa?"
"Lho kok bertanya balik, aku kan mau jawaban Kang Dana."
"Jawaban terbaik hanya bisa kamu dapatkan dari suara hatimu sendiri."
"Hatiku coba menjawabnya, tapi berat. Dan saat kurasakan beratnya menjawab pertanyaan ini, istighfar terucap, memohon diberikan kesadaran untuk tak perlu lagi mengingat dan memikirkannya."
"Terus?"
"Masih banyak kebahagiaan yang bisa kurasakan."
"Nah, itu jawaban bagus!"
"Jadi sangat tidak masuk akal jika hanya kupikirkan satu orang itu saja."
"Hebat!
"Tetap saja pikiran itu singgah, Kang."
"Huh!!"
"Iya Kang, aku susah melupakannya."
"Gimana sih kamu"
"Aku bingung Kang."
"Kalau begitu, sapa saja dia."
"Tidak bisa Kang."
"Kamu tahu kan nomor hapenya?"
"Ya ada."
"Jadi kenapa tidak kamu sapa? Apa yang menghalangimu?"
"Ketakutanku."
"Lalu?"
"Ketidakberanianku."
"Sama aja atu eta mah. Ketakutan dan ketidakberanian itu sama degan kucing dan meong."
"Egokah yang membuatku berat menyapanya?"
"Bisa jadi."
"Aku menunggu dia menyapa duluan."
"Hahaha."
"Kenapa ketawa Kang?"
"Lucu."
"Lucu kenapa? Apakah itu sebuah sikap memalukan?"
"Terserah kamu deh."
"Gini Kang, Sudah kurasakan dulu saatku menyapa beberapa kali, dia tak menyahut, rasanya sakit sekali Kang. Jika kembali kuulang sekarang dan dia tidak menjawab lagi, khawatir sakit lama itu akan terulang."
"Haha. Kamu laki-laki bukan sih?"
"Maksudnya?
"Coba tanya ibu kamu, dulu waktu dilahirkan, kamu dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan."
"Kok harus nanya ibu?"
"Habisnya aku nanya kamu, kamunya gak jawab. Mungkin kamu gak tahu. Ya kusuruh saja supaya nanya pada ibumu."
"Kang Dana bikin aku pusing deh."
"Sudah ya, saya lagi kerja, pikirkan saja sendiri."
"Sombong banget!"
"Terserah."
"Mau apa?"
"Aku mau curhat."
"Curhat apa?"
"Dekat tetapi jauh, jauh tetapi dekat."
"Maksudmu?"
"Dekat tetapi jauh. Bisakah Kang Dana menjawab kenapa sesuatu yang dekat tetapi terasa jauh."
"Maksudmu apa sih?"
"Satu kampung, bertemu begitu mudah, tetapi jauh sekali rasanya. Serasa terdinding beton yang sangat tebal."
Kubuka profil facebooknya dia tinggal di mana, tapi tidak dicantumkan. Kutanya aja, "Kamu tinggal di mana?"
Dia menyebutkan nama sebuah kecamatan.
"Oh,"
"Jadi kenapa Kang?"
"Kenapa apanya?"
"Duh! cape deh."
"Aku lupa, kenapa apanya?"
"Kenapa dekat tetapi jauh?"
"Menurutmu sendiri kenapa?"
"Lho kok bertanya balik, aku kan mau jawaban Kang Dana."
"Jawaban terbaik hanya bisa kamu dapatkan dari suara hatimu sendiri."
"Hatiku coba menjawabnya, tapi berat. Dan saat kurasakan beratnya menjawab pertanyaan ini, istighfar terucap, memohon diberikan kesadaran untuk tak perlu lagi mengingat dan memikirkannya."
"Terus?"
"Masih banyak kebahagiaan yang bisa kurasakan."
"Nah, itu jawaban bagus!"
"Jadi sangat tidak masuk akal jika hanya kupikirkan satu orang itu saja."
"Hebat!
"Tetap saja pikiran itu singgah, Kang."
"Huh!!"
"Iya Kang, aku susah melupakannya."
"Gimana sih kamu"
"Aku bingung Kang."
"Kalau begitu, sapa saja dia."
"Tidak bisa Kang."
"Kamu tahu kan nomor hapenya?"
"Ya ada."
"Jadi kenapa tidak kamu sapa? Apa yang menghalangimu?"
"Ketakutanku."
"Lalu?"
"Ketidakberanianku."
"Sama aja atu eta mah. Ketakutan dan ketidakberanian itu sama degan kucing dan meong."
"Egokah yang membuatku berat menyapanya?"
"Bisa jadi."
"Aku menunggu dia menyapa duluan."
"Hahaha."
"Kenapa ketawa Kang?"
"Lucu."
"Lucu kenapa? Apakah itu sebuah sikap memalukan?"
"Terserah kamu deh."
"Gini Kang, Sudah kurasakan dulu saatku menyapa beberapa kali, dia tak menyahut, rasanya sakit sekali Kang. Jika kembali kuulang sekarang dan dia tidak menjawab lagi, khawatir sakit lama itu akan terulang."
"Haha. Kamu laki-laki bukan sih?"
"Maksudnya?
"Coba tanya ibu kamu, dulu waktu dilahirkan, kamu dilahirkan sebagai laki-laki atau perempuan."
"Kok harus nanya ibu?"
"Habisnya aku nanya kamu, kamunya gak jawab. Mungkin kamu gak tahu. Ya kusuruh saja supaya nanya pada ibumu."
"Kang Dana bikin aku pusing deh."
"Sudah ya, saya lagi kerja, pikirkan saja sendiri."
"Sombong banget!"
"Terserah."
Friday, August 12, 2016
BUKU MENGOSONGKAN DIRI
1. Lalu di mana "La haula walaa quwwata illa billah." ?
2. Mengapa kemuliaan Rumi naik drastis?
3. Sebab sinar bola lampu berpijar.
4. Jika ingin diangkat, kamu harus cukup ringan buat diangkat.
5. Pembicara hebat itu...
6. Pembicara yang mudah didengar orang adalah pembicara yang pandai mendengar.
7. Supaya bisa diisi, gelas harus kosong.
8. Dalam kitab suci, orang jahat digambarkan percaya diri.
9. Dalam kitab suci, orang baik digambarkan dirinya tidak punya apa-apa.
10. "Tetap lapar, tetap bodoh."
11. Kutukan buat orang sombong.
12. Setiap kali orang sombong, saya selalu melihatnya jatuh.
13. Mengapa harus mengosongkan diri? Supaya hidup lebih ringan dan bahagia.
14. Aku bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa.
15. Menjadi malaikat, "Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami."
16. Mengosongkan diri dari ambisi
17. Mengosongkan diri dari harapan kepada manusia.
2. Mengapa kemuliaan Rumi naik drastis?
3. Sebab sinar bola lampu berpijar.
4. Jika ingin diangkat, kamu harus cukup ringan buat diangkat.
5. Pembicara hebat itu...
6. Pembicara yang mudah didengar orang adalah pembicara yang pandai mendengar.
7. Supaya bisa diisi, gelas harus kosong.
8. Dalam kitab suci, orang jahat digambarkan percaya diri.
9. Dalam kitab suci, orang baik digambarkan dirinya tidak punya apa-apa.
10. "Tetap lapar, tetap bodoh."
11. Kutukan buat orang sombong.
12. Setiap kali orang sombong, saya selalu melihatnya jatuh.
13. Mengapa harus mengosongkan diri? Supaya hidup lebih ringan dan bahagia.
14. Aku bukan siapa-siapa, tidak punya apa-apa, tidak tahu apa-apa.
15. Menjadi malaikat, "Maha suci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami."
16. Mengosongkan diri dari ambisi
17. Mengosongkan diri dari harapan kepada manusia.
NIKMATILAH KECEMASAN
Nikmatilah hidup, bahkan nikmati setiap permasalahannya
Bahkan jika yang datang kepada kita itu sebuah kecemasan
Nikmatilah kecemasan itu
Orang berkata, jangan cemas!
Buang kecemasan.
Saya berkata: nikmatilah kecemasan.
Saat sebuah kecemasan datang, tersenyum saja. Kecemasan itu panggilan hidup. Saat dia datang, nikmatilah. Saat dia datang, kita jadi seperti mendapatkan perintah untuk berbuat sesuatu. Seperti saya, klep pompa air bocor. Akibatnya, setiap kali dihidupkan harus selalu dipancing air. Bagian tutup mesin dibuka, lalu air gayung tuangkan. Begitulah. Setiap hari, pagi dan sore.
Karena seringnya tutup buka, derat tutup aus, lama-lama longgar. Tak tahan dengan tekanan air, tutup melesat lepas. Air dari piva sepanjang dari lantai satu ke lantai empat, turun sekaligus, muncrat berhamburan, membanjiri sudut toko.
Tak mungkin saya biarkan. Jika dibiarkan terus bocor, air terbuang, dan saya tidak bisa menggunakan air. Torn akan kosong, lalu, saya mandi di mana, wudlu di mana, nyuci baju di mana, buang air di mana. Cemas datang, bayangan pulang pergi ke kamar mandi masjid terbayang di pelupuk mata.
Karenanya, saya paksakan diri pergi cari tutup baru, ke luar, menyusuri jalan margonda. Harusnya ada di toko peralatan bangunan. Tapi saya datang ke sana dan tanya, tidak ada. Bertanya ke tukang piva, tidak ada. Ke rumah makan padang, ternyata tidak ada. Aneh, rumah makan padang tidak jualan tutup pompa.
Lelah berjalan jauh, keringat keluar berkah.
Senang hati saja.
Olah raga.
Gerak badan..,
Mengosongkan diri dari segala keinginan dan menikmati apa pun yang datang, bagian dari cara menikmati kebahagiaan
Bahkan jika yang datang kepada kita itu sebuah kecemasan
Nikmatilah kecemasan itu
Orang berkata, jangan cemas!
Buang kecemasan.
Saya berkata: nikmatilah kecemasan.
Saat sebuah kecemasan datang, tersenyum saja. Kecemasan itu panggilan hidup. Saat dia datang, nikmatilah. Saat dia datang, kita jadi seperti mendapatkan perintah untuk berbuat sesuatu. Seperti saya, klep pompa air bocor. Akibatnya, setiap kali dihidupkan harus selalu dipancing air. Bagian tutup mesin dibuka, lalu air gayung tuangkan. Begitulah. Setiap hari, pagi dan sore.
Karena seringnya tutup buka, derat tutup aus, lama-lama longgar. Tak tahan dengan tekanan air, tutup melesat lepas. Air dari piva sepanjang dari lantai satu ke lantai empat, turun sekaligus, muncrat berhamburan, membanjiri sudut toko.
Tak mungkin saya biarkan. Jika dibiarkan terus bocor, air terbuang, dan saya tidak bisa menggunakan air. Torn akan kosong, lalu, saya mandi di mana, wudlu di mana, nyuci baju di mana, buang air di mana. Cemas datang, bayangan pulang pergi ke kamar mandi masjid terbayang di pelupuk mata.
Karenanya, saya paksakan diri pergi cari tutup baru, ke luar, menyusuri jalan margonda. Harusnya ada di toko peralatan bangunan. Tapi saya datang ke sana dan tanya, tidak ada. Bertanya ke tukang piva, tidak ada. Ke rumah makan padang, ternyata tidak ada. Aneh, rumah makan padang tidak jualan tutup pompa.
Lelah berjalan jauh, keringat keluar berkah.
Senang hati saja.
Olah raga.
Gerak badan..,
Mengosongkan diri dari segala keinginan dan menikmati apa pun yang datang, bagian dari cara menikmati kebahagiaan
TIDAK INGIN MENJADI APA PUN SELAIN HAMBA ALLAH
Sebetulnya tidak ingin menjadi apa pun, selain hanya ingin menjadi hamba Allah yang berserah diri secara penuh kepadanya, yang pada saat ibadah, khusyuk sepenuhnya tidak ingat apa pun selain menginga Allah, kekuasaan-Nya, keagungan-Nya,
Karena setelah kubaca Al-Qur'an, begitulah intisarinya.
Allah Maha Tahu, tapi mencoba tahu, semua ayat fokus kepada satu hal, tiada yang pantas diagungkan, diingat, dipuji disembah, dan dikagumi selain Allah.
Tatkala mengisahkan Nabi Dawud yang perkasa sanggup melunakkan besi, di sana Allah sampaikan bukanlah Nabi Dawud itu yang perkasa melunakkan besi, melainkan karena Allah telah melunakkan besi untuk Nabi Dawud.
Tatkala Allah menyebutkan Nabi Sulaiman mempunyai kerajaan besar, bukan karena Nabi Sulaiman itu sendiri yang sanggup membangun kerajaan besar, tapi karena Allah telah mengkaruniakan kepadanya kerajaan besar, bukan hanya menguasi wilayah manusia, bahkan hingga wilayah binatang, daratan lautan bahkan jin.
Ketika Allah ceritakan kehebatan Nabi Musa membelah lautan, bukanlah Nabi Musa yang hebat bisa membelah lautan, tapi karena Allah telah membuat tongkatnya ajaib bisa membelah lautan.
Setelah membaca ayat-ayat Al-Qur'an itu maka hal terindah bukanlah menjadi apa pun selain menjadi hamba yang selalu khusyuk beribadah kepada-Nya....
Karena setelah kubaca Al-Qur'an, begitulah intisarinya.
Allah Maha Tahu, tapi mencoba tahu, semua ayat fokus kepada satu hal, tiada yang pantas diagungkan, diingat, dipuji disembah, dan dikagumi selain Allah.
Tatkala mengisahkan Nabi Dawud yang perkasa sanggup melunakkan besi, di sana Allah sampaikan bukanlah Nabi Dawud itu yang perkasa melunakkan besi, melainkan karena Allah telah melunakkan besi untuk Nabi Dawud.
Tatkala Allah menyebutkan Nabi Sulaiman mempunyai kerajaan besar, bukan karena Nabi Sulaiman itu sendiri yang sanggup membangun kerajaan besar, tapi karena Allah telah mengkaruniakan kepadanya kerajaan besar, bukan hanya menguasi wilayah manusia, bahkan hingga wilayah binatang, daratan lautan bahkan jin.
Ketika Allah ceritakan kehebatan Nabi Musa membelah lautan, bukanlah Nabi Musa yang hebat bisa membelah lautan, tapi karena Allah telah membuat tongkatnya ajaib bisa membelah lautan.
Setelah membaca ayat-ayat Al-Qur'an itu maka hal terindah bukanlah menjadi apa pun selain menjadi hamba yang selalu khusyuk beribadah kepada-Nya....
Thursday, August 11, 2016
PALINGKAN PERHATIAN HANYA PADA KEBAHAGIAAN
Palingkanlah perhatian kita hanya kepada kebahagiaan-kebahagiaan, hanya kepada hal-hal menyenangkan. Apa yang tidak menyenangkan, abaikan saja.
Bacaan-bacaan menyenangkan, tontonan-tontonan membahagiakan.
Teman-teman menyenangkan, teman-teman membahagiakan.
Tindakan menyenangkan, misalnya jika malam, mendirikan shalat.
Shalat malam.
Mendirikan shalat malam itu membahagiakan, menghadap Allah meringankan pikiran dari beratnya urusan dunia.
======
Hal tidak menyenangkan terasa saat datang seorang pengkritik. Jika suasana hati sedang kurang nyaman, biasanya saya balik mengkritik. Mengkritik caranya mengkritik. Dan ternyata si pengkritik itu seorang yang tidak mau cara mengkritiknya dikritik. Akhirnya kami saling mengkritik.
Ada juga seseorang yang kepadanya aku suka. Karena karya tulisnya bagus sehingga aku ingin mendukungnya. Jika ada kesempatan buat penulis, semisal seminar kepenulisan gratis, saya ingin berikan kepadanya. Tapi lalu dia mengucapkan kata menyakitkan berupa sindiran, minat saya menjadi kurang. Rasa tidak enak menjalari dada lalu hatiku berkata, "Oh jadi begitu! Baiklah, berarti kamu memang butuh saya."
Cara terbaik menghadapi kedua masalah itu adalah tidak menghadapinya. Masih banyak hal dari kehidupan yang lebih menyenangkan. Membaca kisah-kisah berharga. Membaca buku-buku bernilai. Ngobrol dengan orang menyenangkan. Mengerjakan tugas dan menyelesaikannya.
Bacaan-bacaan menyenangkan, tontonan-tontonan membahagiakan.
Teman-teman menyenangkan, teman-teman membahagiakan.
Tindakan menyenangkan, misalnya jika malam, mendirikan shalat.
Shalat malam.
Mendirikan shalat malam itu membahagiakan, menghadap Allah meringankan pikiran dari beratnya urusan dunia.
======
Hal tidak menyenangkan terasa saat datang seorang pengkritik. Jika suasana hati sedang kurang nyaman, biasanya saya balik mengkritik. Mengkritik caranya mengkritik. Dan ternyata si pengkritik itu seorang yang tidak mau cara mengkritiknya dikritik. Akhirnya kami saling mengkritik.
Ada juga seseorang yang kepadanya aku suka. Karena karya tulisnya bagus sehingga aku ingin mendukungnya. Jika ada kesempatan buat penulis, semisal seminar kepenulisan gratis, saya ingin berikan kepadanya. Tapi lalu dia mengucapkan kata menyakitkan berupa sindiran, minat saya menjadi kurang. Rasa tidak enak menjalari dada lalu hatiku berkata, "Oh jadi begitu! Baiklah, berarti kamu memang butuh saya."
Cara terbaik menghadapi kedua masalah itu adalah tidak menghadapinya. Masih banyak hal dari kehidupan yang lebih menyenangkan. Membaca kisah-kisah berharga. Membaca buku-buku bernilai. Ngobrol dengan orang menyenangkan. Mengerjakan tugas dan menyelesaikannya.
IBADAH SAJA
Visi, emosi, visi, emosi
Itu doang yang harus menuntun lo
Gak usah mikir
Gunanya sekolah itu apa? Apakah supaya manusia menjadi logis?
Gunanya sekolah, supaya manusia jadi bodoh.
Sekolah adalah sistem yang diciptakan oleh orang-orang yang ingin mengontrol manusia
Kalau ngikutin insting, misalnya lo kesenggol orang, trus lo bunuh orang itu, apakah itu insting?
Bukan, itu pikiran. Karena lo mikir, lalu menyangka yang bukan-bukan pada orang itu
Beda dengan jika lo happy, lo senang-senang saja, keinjak orang tak bakalan kamu menjadi marah, karena kamu senang-senang.
Hidup dengan cara semacam itu lebih menyenangkan dan mendekatkan pada keberuntungan.
=====
Begitu kata seorang yang mengaku dirinya motivator
Saya sendiri?
Bagi saya, hidup hanyalah memikirkan ibadah. Hidup ideal hanyalah memikirkan ibadah. Bagaimana terus dan terus memperbaiki diri beribadah kepada Allah.
Ingatan, harusnya hanya kepada Allah saja.
Tidak perlu mengingat urusan lain. Dengan hanya mengingat Allah sudah cukup, urusan lain akan beres.
Saya punya ide seekstrim itu.
Dengan mengkhususkan diri hanya menjadi seorang yang mengingat Allah, hanya buat ibadah, kadang kita ketakutan urusan lain takkan terselesaikan. Padahal hidup begitu banyak masalah yang harus diselesaikan.
Tidak
Alam semesta ini telah Allah atur buat keberuntungan orang-orang yang beribadah kepada-Nya.
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku. Aku tidak menginginkan rejeki dari mereka dan tidak pula supaya mereka memberiku makan."
Ayat itu seakan menegaskan, yang harus menjadi urusan manusia hanyalah ibadah.
Bukan memusingkan masalah rejeki dan makan.
Allah tidak menuntut itu, bahkan Dia telah menjamin rezeki manusia.
Itu doang yang harus menuntun lo
Gak usah mikir
Gunanya sekolah itu apa? Apakah supaya manusia menjadi logis?
Gunanya sekolah, supaya manusia jadi bodoh.
Sekolah adalah sistem yang diciptakan oleh orang-orang yang ingin mengontrol manusia
Kalau ngikutin insting, misalnya lo kesenggol orang, trus lo bunuh orang itu, apakah itu insting?
Bukan, itu pikiran. Karena lo mikir, lalu menyangka yang bukan-bukan pada orang itu
Beda dengan jika lo happy, lo senang-senang saja, keinjak orang tak bakalan kamu menjadi marah, karena kamu senang-senang.
Hidup dengan cara semacam itu lebih menyenangkan dan mendekatkan pada keberuntungan.
=====
Begitu kata seorang yang mengaku dirinya motivator
Saya sendiri?
Bagi saya, hidup hanyalah memikirkan ibadah. Hidup ideal hanyalah memikirkan ibadah. Bagaimana terus dan terus memperbaiki diri beribadah kepada Allah.
Ingatan, harusnya hanya kepada Allah saja.
Tidak perlu mengingat urusan lain. Dengan hanya mengingat Allah sudah cukup, urusan lain akan beres.
Saya punya ide seekstrim itu.
Dengan mengkhususkan diri hanya menjadi seorang yang mengingat Allah, hanya buat ibadah, kadang kita ketakutan urusan lain takkan terselesaikan. Padahal hidup begitu banyak masalah yang harus diselesaikan.
Tidak
Alam semesta ini telah Allah atur buat keberuntungan orang-orang yang beribadah kepada-Nya.
"Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya menyembah-Ku. Aku tidak menginginkan rejeki dari mereka dan tidak pula supaya mereka memberiku makan."
Ayat itu seakan menegaskan, yang harus menjadi urusan manusia hanyalah ibadah.
Bukan memusingkan masalah rejeki dan makan.
Allah tidak menuntut itu, bahkan Dia telah menjamin rezeki manusia.
Friday, August 5, 2016
DUA WEWE
Tak seorang pun tahu apa yang sedang dirahasiakan malam untuk hari esoknya. Ketika jeritan halilintar menyambangi seantero kota, telinga-telinga pecah berdarah dan orang-orang terjungkal. Tapi yang dirahasiakan malam ini bukan sebuah siksaan, melaikan akan datangnya seseorang ke ANPH.
Dering handphone membangunkan saya diri hari, dan sebuah suara memanggil. Seorang perempuan, kujawab baiklah, lalu dari lantai tiga, bergegas turun membuka toko, dan setengah berlari menuju jalan raya. Lehar kupanjang-panjangkan berusaha mendapatkan jangkauan pandangan lebih luas mencari seseorang. Di selatan di utara, tak seorang pun kulihat ada perempuan. Di manakah dia, tapi itu ada seorang ibu bersama anaknya dan aku berjalan ke sana. Dini hari begini, malam begini, dari Jawa Tengah pastilah dia datang ke Kota Depok bersama ibunya. Tidak mungkin sendirian.
Berdenting-denting lagi handphoneku,
"Ya di mana?"
"Di seberang."
Melempar pandang, oh itu rupanya.
Seorang anak kecil dan sebuah cover di sampingnya. Bukan, bukan seorang anak kecil, dan aku mendekatinya. Membantu membawakan covernya, menuju kantor. Malam pun mulai membukakan rahasia, dan bumbu masakan dari berbagai belahan negeri kini mulai berkumpul di satu wajan. Tidak perlu kamu kerutkan jidat maksud kalimatku ini apa. Maksudku, dari berbagai tempat jauh, kini kami dipertemukan dalam satu tempat. Aku seorang Sunda dari pesisian Jawa Barat, perempuan ini yang bernama Wulan dari Jawa Tengah, dan di atas ada Wasi jauh dari Jawa Timur sedang tidur ditemani seorang bujangan lapuk, jomblo akut, sang calon mayat dari Toraja, yaitu Wiro, dengan nama panjangnya Prawiro Supardi S.Sos, lulusan FISIF, Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Felet. Kusebut demikian karena salahnya sendiri mengapa dia minta disebut eyang. Panggilan Eyang buatnya hanya pantas jika dia seorang dukun.
Tapi bahwa dia seorang sarjana dan lulusan FISIF itu benar. Lulusan sebuha universitas terkenal di Makassar milik Pak Yusuf Kala. Biarpun bagaimana, Wiro ini seorang intelektual.
Lho kok malah menceritakan Wiro, padahal sedang menceritakan seorang perempuan yang baru saja datang: Wulan dari Magelang, dan kupikir mencaritakan Wiro di sini tidak ada gunanya.
Sungguh tidak ada gunanya. Tapi saya tidak berani bersumpah, hanya ingin berkata dengan sungguh-sungguh membicarakan Wiro di sini tidak berguna. Sangat tidak berguna.
Apa gunanya menceritakan dia, yang saat saya harus bangun menunggu kedatangan Wulan, dia malah enak mendengkur. Apa gunanya menceritakan Wiro, yang saat saya harus menjemput Wulan ke tepi jalan dan membawakan covernya, dia malah enak-enakan ngangah. Apa gunanya menceritakan Wiro, yang saat saya harus memikirkan bagaimana melewati malam yang dingin dengan obrolan, Wiro malah merengkol di bawah selimut hangat menganyam bulu mata.
Wiro, sepertinya sama sekali tidak peduli.
Masuk toko kupersilakan dia duduk. Wajah lelah menjadi masker bagi wajahnya. Wajah datar kulempar bersama sebuah pertanyaan,
"Sudah punya novel?" pertanyaan tidak pantas dan keluar bukan pada tempatnya. Seorang yang lelah malah ditanya-tanya masalah novel.
"Ada, tapi pernah dikirim ke penerbit mendapatkan penolakan."
"Mengirim ke penerbit mana?"
"Gagasmedia, sepertinya penerbit itu standarnya tinggi. Naskah yang masuk tidak sembaranga."
Dan seterusnya, dan seterusnya, sampai saat siang datang, Wulan bertanya,
"Di manakah tempat makan?"
Pertanyaan yang membuat saya kaget campur kasihan. Aduh, anak ini mungkin lapar, mau makan. Kuajak ke kantin belakang Hotel Santika.
Di mana Wiro?
Entah di mana, aku tak mau tahu, dia pun tak mau tahu. Aku tak peduli, dia pun tak mau peduli.
(Bersambung)
Dering handphone membangunkan saya diri hari, dan sebuah suara memanggil. Seorang perempuan, kujawab baiklah, lalu dari lantai tiga, bergegas turun membuka toko, dan setengah berlari menuju jalan raya. Lehar kupanjang-panjangkan berusaha mendapatkan jangkauan pandangan lebih luas mencari seseorang. Di selatan di utara, tak seorang pun kulihat ada perempuan. Di manakah dia, tapi itu ada seorang ibu bersama anaknya dan aku berjalan ke sana. Dini hari begini, malam begini, dari Jawa Tengah pastilah dia datang ke Kota Depok bersama ibunya. Tidak mungkin sendirian.
Berdenting-denting lagi handphoneku,
"Ya di mana?"
"Di seberang."
Melempar pandang, oh itu rupanya.
Seorang anak kecil dan sebuah cover di sampingnya. Bukan, bukan seorang anak kecil, dan aku mendekatinya. Membantu membawakan covernya, menuju kantor. Malam pun mulai membukakan rahasia, dan bumbu masakan dari berbagai belahan negeri kini mulai berkumpul di satu wajan. Tidak perlu kamu kerutkan jidat maksud kalimatku ini apa. Maksudku, dari berbagai tempat jauh, kini kami dipertemukan dalam satu tempat. Aku seorang Sunda dari pesisian Jawa Barat, perempuan ini yang bernama Wulan dari Jawa Tengah, dan di atas ada Wasi jauh dari Jawa Timur sedang tidur ditemani seorang bujangan lapuk, jomblo akut, sang calon mayat dari Toraja, yaitu Wiro, dengan nama panjangnya Prawiro Supardi S.Sos, lulusan FISIF, Fakultas Ilmu Santet dan Ilmu Felet. Kusebut demikian karena salahnya sendiri mengapa dia minta disebut eyang. Panggilan Eyang buatnya hanya pantas jika dia seorang dukun.
Tapi bahwa dia seorang sarjana dan lulusan FISIF itu benar. Lulusan sebuha universitas terkenal di Makassar milik Pak Yusuf Kala. Biarpun bagaimana, Wiro ini seorang intelektual.
Lho kok malah menceritakan Wiro, padahal sedang menceritakan seorang perempuan yang baru saja datang: Wulan dari Magelang, dan kupikir mencaritakan Wiro di sini tidak ada gunanya.
Sungguh tidak ada gunanya. Tapi saya tidak berani bersumpah, hanya ingin berkata dengan sungguh-sungguh membicarakan Wiro di sini tidak berguna. Sangat tidak berguna.
Apa gunanya menceritakan dia, yang saat saya harus bangun menunggu kedatangan Wulan, dia malah enak mendengkur. Apa gunanya menceritakan Wiro, yang saat saya harus menjemput Wulan ke tepi jalan dan membawakan covernya, dia malah enak-enakan ngangah. Apa gunanya menceritakan Wiro, yang saat saya harus memikirkan bagaimana melewati malam yang dingin dengan obrolan, Wiro malah merengkol di bawah selimut hangat menganyam bulu mata.
Wiro, sepertinya sama sekali tidak peduli.
Masuk toko kupersilakan dia duduk. Wajah lelah menjadi masker bagi wajahnya. Wajah datar kulempar bersama sebuah pertanyaan,
"Sudah punya novel?" pertanyaan tidak pantas dan keluar bukan pada tempatnya. Seorang yang lelah malah ditanya-tanya masalah novel.
"Ada, tapi pernah dikirim ke penerbit mendapatkan penolakan."
"Mengirim ke penerbit mana?"
"Gagasmedia, sepertinya penerbit itu standarnya tinggi. Naskah yang masuk tidak sembaranga."
Dan seterusnya, dan seterusnya, sampai saat siang datang, Wulan bertanya,
"Di manakah tempat makan?"
Pertanyaan yang membuat saya kaget campur kasihan. Aduh, anak ini mungkin lapar, mau makan. Kuajak ke kantin belakang Hotel Santika.
Di mana Wiro?
Entah di mana, aku tak mau tahu, dia pun tak mau tahu. Aku tak peduli, dia pun tak mau peduli.
(Bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju k...
-
Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan...