Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional dalam citraan (di atas atau di luar realitas atau kenyataan)
Sebuah blog bernama abrarozora.wordpress.com menyebutkan,
Surealisme adalah suatu aliran seni yang menunjukkan kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika.
Karena seni yang sedang kita garap adalah tulisan, dalam hal ini cerita pendek, maka kita persempit dengan kepada pertanyaan: cerpen surealis itu seperti apa?
Kata kuncinya ada pada kalimat "kebebasan kreativitas sampai melampaui batas logika."
Dengan modal kalimat ini, kita bisa dengan mudah mengenal. Ketika seorang penulis menyajikan ceritanya dengan menggunakan dua hal tadi, kebebasan kreatifitas dan melampaui batas logika, maka karya itu sudah cukup untuk disebut cerpen surealis.
Banyak orang mempertanyakan, apa bedanya cerpen surealis dengan cerpen fantasi?
Saya tidak mau pusing-pusing menjawab. Selain karena bingung, juga karena malas, dan buang-buang waktu. Daripada terlibat berdebatan, saya lebih suka langsung ke praktik, memanfaatkan.
Saya lebih suka memanfaatkan surealis menjadi bumbu.agar cerita yang saya tulis tidak menjenuhkan.
Namanya juga bumbu, dalam sebuah masakan, kadarnya tak pernah melampui apa yang dimasaknya. Sekedarnya saja. Ketika tempe jadi masakan, maka banyak bumu tak pernah melebihi banyak tempenya.
Begitulah surealis lebih suka saya gunakan.
Melulu serius bercerita berdasarkan kenyataan biasanya menjenuhkan. Maka surealis inilah solusinya. Sesekali berikanlah ruang dalam cerita untuk menampilkan hal-hal yang menendang logika. Tabrak kenyataan, runtuhkan akal. Melulu menyuguhkan hal-hal yang masuk di akal, biasanya membosankan, karena sebuah cerpen bukan karya ilmiah.
Sebaliknya melulu terus-terusan menabrak logika juga sangat menjenuhkan. Mengingat pembaca kita juga orang berakal, punya logika, manusia yang berpikir, sajikan juga kepada mereka hal-hal yang masuk akal.
Saya kira, itu rahasia kenapa tulisan Andrea Hirata disukai banyak orang. Dalam tulisannya, sesekali dia menampilkan perkara tidak masuk akal. Berbicara dengan blender, seperti yang dia tulis di novel Cinta di Dalam Gelas, atau dahsyatnya perang saat melukiskan keadaan hatinya yang merana di novel Laskar Pelangi.
Dan itu pula, saya kira rahasia yang sule gunakan dalam acara-acaranya. Sesekali memberikan hal-hal masuk akal sesekali menampilkan hal-hal kurang masuk akal. Ini Talkshow cukup sukses karena di sana lengkap. Motivasinya ada, biografinya ada, seni ada, lagu-lagu gila tidak masuk akalnya juga ada.
Tuesday, May 24, 2016
PENULIS DI GRUP KEPENULISAN FACEBOOK
Di facebook banyak grup kepenulisan. Tapi Komunitas Bisa Menulis itu komunitas paling ramai yang saya temukan. Di sana, postingan orang berragam. Dan postingan berharga menurut saya adalah postingan berupa karya, baik puisi, cerpen, atau novel.
Bukan tulisan reaktif, sekedar pencari perhatian orang-orang komunitas sekedar ingin mendapatkan like dan komentar yang banyak. Penulis yang benar-benar bernilai di mata saya, bukan sekedar penulis yang posting hanya untuk mencari perhatian, mencari liker dan komentator banyak, dengan memposting tulisan berisi senggol sana-senggol sini, menghakimi mental orang padahal dirinya sendiri bermasalah. Bukan pula yang komentar sana-sini buat menyerang dan mencari perhatian, dengan menjilat-jilat agar dirinya dianggap penting oleh orang-orang. Member yang benar-benar bernilai di mata saya, mereka berkaya, berusaha menulis puisi, berusaha menulis cerpen, dan memposting di sini untuk mendapatkan kritikan agar lebih baik ke depannya, agar setelah keluar dari sini, karyanya benar-benar bisa bermanfaat bagi pembaca lebih luas, dengan kata lain: punya nilai jual.
Ibarat gabah padi masuk pabrik penggilingan, maka tujuan sebenarnya adalah keluar dari penggilingan, menjadi beras putih bersih wangi dan punya nilai jual. Begitulah di sini para penulis berkuaitas, dengan rendah hatin mereka berkarya kemudian karynya siap mendapatkan kritikan, perbaikan, biar keluar dari ini, dia menjadi seorang penulis dengan karya bernilai jual. Mereka berusaha menghindari kesia-siaan, menjadi seperti gabah padi yang masuk penggilingan yang malah terselip dalam mesin, terjebak berputar-putar tidak bisa ke mana-mana.
Penulis jenis terakhir bukan tidak ada manfaatnya. Mereka ada manfaatnya juga, jadi santapan tikus atau kecoa itu juga manfaat, tidak sampai terbuang, atau anggaplah mereka itu pasir masuk tembolok ayam, seperti tidak ada manfaatnya, tapi tetap ada manfaatnya, ikut berfungsi dalam penggilingan makanan.
Bukan tulisan reaktif, sekedar pencari perhatian orang-orang komunitas sekedar ingin mendapatkan like dan komentar yang banyak. Penulis yang benar-benar bernilai di mata saya, bukan sekedar penulis yang posting hanya untuk mencari perhatian, mencari liker dan komentator banyak, dengan memposting tulisan berisi senggol sana-senggol sini, menghakimi mental orang padahal dirinya sendiri bermasalah. Bukan pula yang komentar sana-sini buat menyerang dan mencari perhatian, dengan menjilat-jilat agar dirinya dianggap penting oleh orang-orang. Member yang benar-benar bernilai di mata saya, mereka berkaya, berusaha menulis puisi, berusaha menulis cerpen, dan memposting di sini untuk mendapatkan kritikan agar lebih baik ke depannya, agar setelah keluar dari sini, karyanya benar-benar bisa bermanfaat bagi pembaca lebih luas, dengan kata lain: punya nilai jual.
Ibarat gabah padi masuk pabrik penggilingan, maka tujuan sebenarnya adalah keluar dari penggilingan, menjadi beras putih bersih wangi dan punya nilai jual. Begitulah di sini para penulis berkuaitas, dengan rendah hatin mereka berkarya kemudian karynya siap mendapatkan kritikan, perbaikan, biar keluar dari ini, dia menjadi seorang penulis dengan karya bernilai jual. Mereka berusaha menghindari kesia-siaan, menjadi seperti gabah padi yang masuk penggilingan yang malah terselip dalam mesin, terjebak berputar-putar tidak bisa ke mana-mana.
Penulis jenis terakhir bukan tidak ada manfaatnya. Mereka ada manfaatnya juga, jadi santapan tikus atau kecoa itu juga manfaat, tidak sampai terbuang, atau anggaplah mereka itu pasir masuk tembolok ayam, seperti tidak ada manfaatnya, tapi tetap ada manfaatnya, ikut berfungsi dalam penggilingan makanan.
Sunday, May 22, 2016
ITU BUKAN URUSANKU
Setelah susah payah memenangkan tarung bebas, Peter Parker mendatangi bagian manajemen, menagih uang honor. Hanya mendapat 100 dolar, padahal angka yang dijanjikan 3000 dolar. Pihak manajemen tetap keras. Tetap bertahan. Padahal uang di mejanya bertumpuk.
"Tapi aku sangat membutuhkan uang itu." Peter coba mendesak.
"Itu bukan urusanku!" jawab manajemen.
Peter diam, keluar ruangan dan bersamaan itu, masuk seorang perampok, menodong bagian manajemen dengan pistol, "Masukkan semua uang ini ke dalam karung!"
Sekalipun kekuatan laba-laba telah dimilikinya, Peter tidak mau mengatasi perampokan itu. Dia tetap berjalan, menjauhi ruangan. Bahkan saat penjahat itu keluar bersama sekarung uang sambil menodongkan pistol, Peter hanya diam, berdiri santai, membiarkan penjahat itu masuk lift.
Orang manajemen keluar mendekati Peter, "Kenapa kamu biarkan dia kabur. Dia merampok uang!"
"Itu bukan urusanku." jawab Peter.
Turun dari gedung, Peter menenangkan pikiran di jalan saat dilihatnya kerumunan orang. Penasaran, dia terobos kerumunan itu, "Paman!Itu pamanku! Paman Ben!"
"Seorang penjahat telah menembaknya." kata orang-orang. Tak salah lagi, pasti penjahat tadi.
* * *
Mungkin kita pernah sangat membutuhkan bantuan, lalu permohonan kita sampaikan kepada orang, tapi dengan ringannya orang itu berkata, "Itu bukan urusanku!". Waktu pun berjalan sampai tiba waktunya orang itu membutuhkan bantuan, dia pun datang kepada kita memohon, lalu dengan nikmatnya kita menjawab, "Itu bukan urusanku!". Waktu pun kembali berjalan sampai tiba saatnya kita disadarkan, ternyata apa yang sebelumnya kelihatan "bukan urusanku" pada akhirnya kita harus mengaku, ternyata "itu urusanku".
Seperti Peter dalam kisah di atas, saat dia membutuhkan uang, pihak manajemen berkata, itu bukan urusanku. Maka saat si pihak manajemen membutuhkan bantuan, Peter dengan nikmatnya berkata, itu bukan urusanku. Namun ternyata apa yang semula dia katakan bukan urusanku, pada akhirnya kenyataan memaksanya mengaku, ternyata itu urusanku.
"Tapi aku sangat membutuhkan uang itu." Peter coba mendesak.
"Itu bukan urusanku!" jawab manajemen.
Peter diam, keluar ruangan dan bersamaan itu, masuk seorang perampok, menodong bagian manajemen dengan pistol, "Masukkan semua uang ini ke dalam karung!"
Sekalipun kekuatan laba-laba telah dimilikinya, Peter tidak mau mengatasi perampokan itu. Dia tetap berjalan, menjauhi ruangan. Bahkan saat penjahat itu keluar bersama sekarung uang sambil menodongkan pistol, Peter hanya diam, berdiri santai, membiarkan penjahat itu masuk lift.
Orang manajemen keluar mendekati Peter, "Kenapa kamu biarkan dia kabur. Dia merampok uang!"
"Itu bukan urusanku." jawab Peter.
Turun dari gedung, Peter menenangkan pikiran di jalan saat dilihatnya kerumunan orang. Penasaran, dia terobos kerumunan itu, "Paman!Itu pamanku! Paman Ben!"
"Seorang penjahat telah menembaknya." kata orang-orang. Tak salah lagi, pasti penjahat tadi.
* * *
Mungkin kita pernah sangat membutuhkan bantuan, lalu permohonan kita sampaikan kepada orang, tapi dengan ringannya orang itu berkata, "Itu bukan urusanku!". Waktu pun berjalan sampai tiba waktunya orang itu membutuhkan bantuan, dia pun datang kepada kita memohon, lalu dengan nikmatnya kita menjawab, "Itu bukan urusanku!". Waktu pun kembali berjalan sampai tiba saatnya kita disadarkan, ternyata apa yang sebelumnya kelihatan "bukan urusanku" pada akhirnya kita harus mengaku, ternyata "itu urusanku".
Seperti Peter dalam kisah di atas, saat dia membutuhkan uang, pihak manajemen berkata, itu bukan urusanku. Maka saat si pihak manajemen membutuhkan bantuan, Peter dengan nikmatnya berkata, itu bukan urusanku. Namun ternyata apa yang semula dia katakan bukan urusanku, pada akhirnya kenyataan memaksanya mengaku, ternyata itu urusanku.
Thursday, May 19, 2016
KELAS BAHASA DAN SASTRA
Di dapur kucing berkokok. Minta makan. Dari belakang rumah, terdengar ayam mengeong. Mungkin lapar. Disambut cericit anjing bernyanyi, dan burung-burung menggonggong di ranting. Dari sudut atap rumah, nyaring terdengar suara, "Sayur!! Sayurnya Bu!!". Tidak lama seorang pria bertopi lewat di halaman mendorong roda sambil teriak, "Tokke!! Tokkee!!
Harusnya pagi ini kangkung mau membeli ibu, tapi lewat. Matanya tidak mendengar teriakan. Telinganya sibuk mencari peralatan jahit yang lupa dia simpan. Ketemu, maka Bapak bolong punya sarung, dia jahit dengan garpu dan sendok. Beres itu kembali ke dapur, mengangkat tumis tempe dari meja makan kemudian menyajikannya ke atas kompor, lengkap dengan peralatan makan seperti jarum dan benang.
Remang mulai pagi. Jalan membuka pintu, keluar rumah menengok ibu. Mencari tukang sayur. Baru sadar, "Wah, sudah lewat."
"Udin, sebelum sarapan, berangkat sekolah dulu ya! Ibu ke ke sayur dulu mau membeli pasar."
"Baik Bu!"
Siang terang. Ibu berdiri di perempatan ojek, menunggu jalan lewat. Dan lewatlah Mang Udin membawa kerbaunya, si ibu naik,
"Ke Pasar Kemiri Mang!"
Kebo pun melaju menuju pasar, tapi baru beberapa meter, seorang petani bertopi pandan menyeberang jalan sambil menggiring dua ekor motornya. Untung tukang ojek gesit ngerem kebonya, dan teriak jengkel, "Hai, kalau hati-hati harus nyeberang jalan!"
Petani topi pandan tidak peduli, dia terus turun ke sawah bersama motornya untuk mulai membajak.
"Saja-saja ada orang tu ada!" dengus tukang ojek,
* * *
"Teruskan!" ucap dosen.
"Sudah Pak!"
"Kok pendek?"
"Kan tugas Bapak."
"Saya menugaskan kamu buat cerpen!"
"Ya ini kan cerpen Pak. Cerita pendek"
"Teruskan! Ceritanya harus selesai."
"Kalau mau terusannya, Bapak tunggu Republika Minggu."
"Mau kamu kirim?"
"Enggak!"
"Kenapa nyuruh tunggu Republika Minggu?"
"Memangnya salah?"
"Kurang ajar"
"Memang aku kurang ajar Pak. Makanya kuliah, biar cukup ajar."
"Ya sudah, silakan duduk!"
"Terima kasih Pak!"
"Eh jangan di lantai, sana, ke mejamu."
"Baik Pak!"
"Baiklah mahasiswaku sekalian, setelah kita dengar karya salah seorang rekan kita, sek.... Eh, Jono kamu apa-apaan sih?"
"Ya Pak!"
"Duduknya di kursi, jangan di meja. Kenapa sih, kelakukanmu begitu?"
"Disuruh Bapak!"
"Duduk di kursi! Ya baiklah anak-anak, setelah kita dengar karya salah satu teman kalian. Sekarang kita diskusi. Bapak mau tanya."
"Tidak punya Pak!"
"Diam kamu Jono! Bapak mau tanya kenapa kalian milih jurusan ini?"
"Aku Pak!"
"Kamu lagi, kamu lagi, ya tapi gak papa! Jadi alasanmu apa Jono?"
"Aku suka bersastra, bagiku sastra itu seperti orang tidur."
"Kenapa orang tidur?"
"Menggairahkan!"
"Menggairahkan bagaimana? "
"Mengairahkan nyamuk buat datang ngisep darahnya."
"Ok terserah kamu. Jadi kenapa bersastra itu menggairahkan?"
"Karena bersastra berarti mendobrak. Mendobrak dinding kelamaan menuju kebaruan. Dari kebiasaan menuju keluarbiasaan. Dari mainstrem menuju anti mainstream. Bersastra berarti melakukan pembangkangan. Menciptakan pelanggaran. Melanggar alur yang biasa orang pakai, merobohkan susunan yang biasa orang gunakan. Melakukan penjungkirbalikkan, seperti pernah dikatakan Budi Darma, dunia sastra adalah dunia jungkir balik."
"Cukup, cukup, Jono! Beri kesempatan yang lain bica... "
"Sastra adalah penciptaan terus-menerus. Pencarian terus menerus, juga seperti pernah Budi Darma katakan, pengarang adalah proses mencari dan karya sastra adalah rangkaian proses mencari itu"
"Joni!!"
"Maaf, saya Jono Pak! Bagi pencinta sastra, mengekor itu tindakan memalukan. Itulah makanya mencopas, mengutip kalimat tanpa menyertakan sumber, dianggap cela. Ketika beberapa waktu lalu seorang cerpenis Kompas melakukannya... "
"Jono! Cukup!!"
"Ketika beberapa waktu lalu seorang cerpenis Kompas melakukannya, dan ketahuan mengutip kalimat buat cerpennya tanpa menyebutkan sumber, dia digonjang-ganjing habis-habisan. Karena, itu bertentangan dengan prinsip-prinsip bersastra. Bersastra itu menciptakan kebaruan, menyusun kombinasi baru, merangkai senyawa baru, lain dari yang lain, yang beda dari karya yang sudah ada."
"Kalau tadi pendapatku tentang bersastra, sekarang, mungkin Bapak ingin tahu pendapatku tentang kepenulisan."
"Tidak! No! Saya bosan! Berhentilah"
"Bagiku menulis adalah menuliskan apa yang asyik kutulisan. Apa yang aku susah menuliskannya kenapa harus paksa kutuliskan. Kayak nyusun skripsi aja. Bahkan skripsi bisa jadi karya luar biasa yang bakal nyasik jadi bacaan jika mahasiswa nyasik menuliskannya. Seorang dosen jurusan Syariah di kampus ini cerita, waktu jadi mahasiswa, dia sangat cinta, maka tiba waktunya menyusun skripsi mengenai agama, dia susun dengan keriangan, kelezatan, kenyasikan, maka hasilnya, skripsi itu sangat tebal tapi sangat renyah buat dibaca!"
"Sudah Jono! Sekali lagi kamu ngomong kursi ini saya lempar!"
"Menurutku, harusnya penulis itu khusyuk saja menghasilkan karya. Terus meningkatkannya, terus belajar, membaca, latihan, seperti seorang ilmuwan, terus melakukan eksperimen dalam berkarya mewujudkan kebaruan, menciptakan keunikan, berusaha tanpa henti mencoba menyajikan bacaan lebih bagus dari sebelumnya buat orang-orang, dan tidak perlu menghabiskan waktu ngobrol dengan orang-orang tidak menyenangkan."
"Maksudmu apa Jono."
"Ya seperti di social media, banyak orang yang katanya ingin menjadi penulis malah banyak menghabiskan waktu melakukan perdebatan dengan orang yang tidak menyenangkan. Menurutku, itu sebuah kebodohan."
"Lihat kursi ini saya angkat! Siap melayang ke jidatmu!"
"Kecuali kalau kita pengangguran bingung, bicara dengan orang menyebalkan hanya buang waktu percuma. Tidak perlu kita hiraukan, tidak perlu kita pedulikan. Biarkan dia bicara sendirian, berbusa-busa."
"Brak!!!!"
"Duh sakit Pak!" .... "Wah, berdarah nih Pak!"
"Rasain!"
"Kenapa tidak perlu melayani obrolan orang yang tidak menyenangkan? Sebab sebagai penulis, masih banyak yang bisa kita lakukan. Membaca buku-buku bagus dan bermanfaat, menulis kerangka cerita, menyusunnya menjadi cerita, memperindah dengan mengeditnya menjadi kalimat-kalimat memikat, memasukkan gaya bahasa, peribahasa, diksi-diksi tak biasa, sebagai penulis masih banya hal bisa kita lakukan."
"Jadi kesimpulannya apa Jon?"
"Kesimpulannya, aku bosen denger omongan sastra adalah sastra adalah. Muak. Kebanyakan orang ngomong sastra adalah sastra adalah omong kosong belaka. Kenyataannya, karya mereka sendiri nol besar."
"Lah tadi kan kamu sendiri yang ngomong? Kamu memang sudah gila!!"
"Iya, sama dengan Bapak!"
"Ayo yang lain, kemukakan pendapat!"
"Tuh kan Bapak juga gila!"
"Kamu yang gila!"
"Bapak juga."
"Kamu!"
"Bapak juga! Di kelas ini mahasiswa cuma aku Pak. Semester ini gak ada mahasiswa lain yang minat."
"Oh iya ya! Saya baru sadar!"
Harusnya pagi ini kangkung mau membeli ibu, tapi lewat. Matanya tidak mendengar teriakan. Telinganya sibuk mencari peralatan jahit yang lupa dia simpan. Ketemu, maka Bapak bolong punya sarung, dia jahit dengan garpu dan sendok. Beres itu kembali ke dapur, mengangkat tumis tempe dari meja makan kemudian menyajikannya ke atas kompor, lengkap dengan peralatan makan seperti jarum dan benang.
Remang mulai pagi. Jalan membuka pintu, keluar rumah menengok ibu. Mencari tukang sayur. Baru sadar, "Wah, sudah lewat."
"Udin, sebelum sarapan, berangkat sekolah dulu ya! Ibu ke ke sayur dulu mau membeli pasar."
"Baik Bu!"
Siang terang. Ibu berdiri di perempatan ojek, menunggu jalan lewat. Dan lewatlah Mang Udin membawa kerbaunya, si ibu naik,
"Ke Pasar Kemiri Mang!"
Kebo pun melaju menuju pasar, tapi baru beberapa meter, seorang petani bertopi pandan menyeberang jalan sambil menggiring dua ekor motornya. Untung tukang ojek gesit ngerem kebonya, dan teriak jengkel, "Hai, kalau hati-hati harus nyeberang jalan!"
Petani topi pandan tidak peduli, dia terus turun ke sawah bersama motornya untuk mulai membajak.
"Saja-saja ada orang tu ada!" dengus tukang ojek,
* * *
"Teruskan!" ucap dosen.
"Sudah Pak!"
"Kok pendek?"
"Kan tugas Bapak."
"Saya menugaskan kamu buat cerpen!"
"Ya ini kan cerpen Pak. Cerita pendek"
"Teruskan! Ceritanya harus selesai."
"Kalau mau terusannya, Bapak tunggu Republika Minggu."
"Mau kamu kirim?"
"Enggak!"
"Kenapa nyuruh tunggu Republika Minggu?"
"Memangnya salah?"
"Kurang ajar"
"Memang aku kurang ajar Pak. Makanya kuliah, biar cukup ajar."
"Ya sudah, silakan duduk!"
"Terima kasih Pak!"
"Eh jangan di lantai, sana, ke mejamu."
"Baik Pak!"
"Baiklah mahasiswaku sekalian, setelah kita dengar karya salah seorang rekan kita, sek.... Eh, Jono kamu apa-apaan sih?"
"Ya Pak!"
"Duduknya di kursi, jangan di meja. Kenapa sih, kelakukanmu begitu?"
"Disuruh Bapak!"
"Duduk di kursi! Ya baiklah anak-anak, setelah kita dengar karya salah satu teman kalian. Sekarang kita diskusi. Bapak mau tanya."
"Tidak punya Pak!"
"Diam kamu Jono! Bapak mau tanya kenapa kalian milih jurusan ini?"
"Aku Pak!"
"Kamu lagi, kamu lagi, ya tapi gak papa! Jadi alasanmu apa Jono?"
"Aku suka bersastra, bagiku sastra itu seperti orang tidur."
"Kenapa orang tidur?"
"Menggairahkan!"
"Menggairahkan bagaimana? "
"Mengairahkan nyamuk buat datang ngisep darahnya."
"Ok terserah kamu. Jadi kenapa bersastra itu menggairahkan?"
"Karena bersastra berarti mendobrak. Mendobrak dinding kelamaan menuju kebaruan. Dari kebiasaan menuju keluarbiasaan. Dari mainstrem menuju anti mainstream. Bersastra berarti melakukan pembangkangan. Menciptakan pelanggaran. Melanggar alur yang biasa orang pakai, merobohkan susunan yang biasa orang gunakan. Melakukan penjungkirbalikkan, seperti pernah dikatakan Budi Darma, dunia sastra adalah dunia jungkir balik."
"Cukup, cukup, Jono! Beri kesempatan yang lain bica... "
"Sastra adalah penciptaan terus-menerus. Pencarian terus menerus, juga seperti pernah Budi Darma katakan, pengarang adalah proses mencari dan karya sastra adalah rangkaian proses mencari itu"
"Joni!!"
"Maaf, saya Jono Pak! Bagi pencinta sastra, mengekor itu tindakan memalukan. Itulah makanya mencopas, mengutip kalimat tanpa menyertakan sumber, dianggap cela. Ketika beberapa waktu lalu seorang cerpenis Kompas melakukannya... "
"Jono! Cukup!!"
"Ketika beberapa waktu lalu seorang cerpenis Kompas melakukannya, dan ketahuan mengutip kalimat buat cerpennya tanpa menyebutkan sumber, dia digonjang-ganjing habis-habisan. Karena, itu bertentangan dengan prinsip-prinsip bersastra. Bersastra itu menciptakan kebaruan, menyusun kombinasi baru, merangkai senyawa baru, lain dari yang lain, yang beda dari karya yang sudah ada."
"Kalau tadi pendapatku tentang bersastra, sekarang, mungkin Bapak ingin tahu pendapatku tentang kepenulisan."
"Tidak! No! Saya bosan! Berhentilah"
"Bagiku menulis adalah menuliskan apa yang asyik kutulisan. Apa yang aku susah menuliskannya kenapa harus paksa kutuliskan. Kayak nyusun skripsi aja. Bahkan skripsi bisa jadi karya luar biasa yang bakal nyasik jadi bacaan jika mahasiswa nyasik menuliskannya. Seorang dosen jurusan Syariah di kampus ini cerita, waktu jadi mahasiswa, dia sangat cinta, maka tiba waktunya menyusun skripsi mengenai agama, dia susun dengan keriangan, kelezatan, kenyasikan, maka hasilnya, skripsi itu sangat tebal tapi sangat renyah buat dibaca!"
"Sudah Jono! Sekali lagi kamu ngomong kursi ini saya lempar!"
"Menurutku, harusnya penulis itu khusyuk saja menghasilkan karya. Terus meningkatkannya, terus belajar, membaca, latihan, seperti seorang ilmuwan, terus melakukan eksperimen dalam berkarya mewujudkan kebaruan, menciptakan keunikan, berusaha tanpa henti mencoba menyajikan bacaan lebih bagus dari sebelumnya buat orang-orang, dan tidak perlu menghabiskan waktu ngobrol dengan orang-orang tidak menyenangkan."
"Maksudmu apa Jono."
"Ya seperti di social media, banyak orang yang katanya ingin menjadi penulis malah banyak menghabiskan waktu melakukan perdebatan dengan orang yang tidak menyenangkan. Menurutku, itu sebuah kebodohan."
"Lihat kursi ini saya angkat! Siap melayang ke jidatmu!"
"Kecuali kalau kita pengangguran bingung, bicara dengan orang menyebalkan hanya buang waktu percuma. Tidak perlu kita hiraukan, tidak perlu kita pedulikan. Biarkan dia bicara sendirian, berbusa-busa."
"Brak!!!!"
"Duh sakit Pak!" .... "Wah, berdarah nih Pak!"
"Rasain!"
"Kenapa tidak perlu melayani obrolan orang yang tidak menyenangkan? Sebab sebagai penulis, masih banyak yang bisa kita lakukan. Membaca buku-buku bagus dan bermanfaat, menulis kerangka cerita, menyusunnya menjadi cerita, memperindah dengan mengeditnya menjadi kalimat-kalimat memikat, memasukkan gaya bahasa, peribahasa, diksi-diksi tak biasa, sebagai penulis masih banya hal bisa kita lakukan."
"Jadi kesimpulannya apa Jon?"
"Kesimpulannya, aku bosen denger omongan sastra adalah sastra adalah. Muak. Kebanyakan orang ngomong sastra adalah sastra adalah omong kosong belaka. Kenyataannya, karya mereka sendiri nol besar."
"Lah tadi kan kamu sendiri yang ngomong? Kamu memang sudah gila!!"
"Iya, sama dengan Bapak!"
"Ayo yang lain, kemukakan pendapat!"
"Tuh kan Bapak juga gila!"
"Kamu yang gila!"
"Bapak juga."
"Kamu!"
"Bapak juga! Di kelas ini mahasiswa cuma aku Pak. Semester ini gak ada mahasiswa lain yang minat."
"Oh iya ya! Saya baru sadar!"
Tuesday, May 17, 2016
INSIDEN TOKO ONLINE
Saya kerja di toko online facebook, dan sebuah insiden menarik terjadi
Jadi gini,
Ada member grup menyebar komen dengan cepat dalam beberapa postingan. Saya kira dia sedang menyebar spam. Sebelum komen sampahnya terseba lebih banyak, segera saya keluarkan dari grup. Blokir permanen. Dia tidak bisa lagi masuk, tidak bisa lagi menemukan grup.
Sudah!
Beres!
Saya bukan lagi grup, nama dia masih tertera, tapi hangus!
Tapi, tapi, tapi, kenapa Ardhan Tokoasmanadia menjawab komentarnya?
Saya baca lagi komentar itu.
Hah?
Apa? di sana tertera nama Asmarani Rosalba
Saya amati lagi komentar itu. Waduh, ternyata dia menyerahkan bukti transfer!
Berarti dia belanja dong!
Waduh, kenapa saya memblokir orang yang sedang belanja!
Wah, celaka!
Kalau ketahuan bisa gaswat nih!
Mana orangya sudah saya blokir. Kalau orang itu tahu saya blokir, bisa cemar nama baik toko! Nanti tersebar, toko ini melakukan penipuan. Setelah transfer malah memblokir orangnya. Berusaha tidak bisa dihubungi lagi. Berarti memang benar berniat menipu!
Wah, harus segera saya masukin lagi nih!
Tapi bagaimana caranya?
Buka dulu blokirnya!
Dan karena yang terblokir ribuan, susah juga mencarinya.
Tapi akhirnya ada,
Saya buka blokir dia, sekarang tinggal masukin lagi.
Tapi belum berteman.
ADD dulu!
Belum diterima juga
Saya inboks meminta menerima pertemanan.
Menunggu beberapa saat. Dia terima! Cepat saya masukkan lagi!
Haduuuuh selamat!! Selamat!
Kalau ketahuan ngeblokir dia, saya bisa kena teguran orang-orang nih.!
Jadi gini,
Ada member grup menyebar komen dengan cepat dalam beberapa postingan. Saya kira dia sedang menyebar spam. Sebelum komen sampahnya terseba lebih banyak, segera saya keluarkan dari grup. Blokir permanen. Dia tidak bisa lagi masuk, tidak bisa lagi menemukan grup.
Sudah!
Beres!
Saya bukan lagi grup, nama dia masih tertera, tapi hangus!
Tapi, tapi, tapi, kenapa Ardhan Tokoasmanadia menjawab komentarnya?
Saya baca lagi komentar itu.
Hah?
Apa? di sana tertera nama Asmarani Rosalba
Saya amati lagi komentar itu. Waduh, ternyata dia menyerahkan bukti transfer!
Berarti dia belanja dong!
Waduh, kenapa saya memblokir orang yang sedang belanja!
Wah, celaka!
Kalau ketahuan bisa gaswat nih!
Mana orangya sudah saya blokir. Kalau orang itu tahu saya blokir, bisa cemar nama baik toko! Nanti tersebar, toko ini melakukan penipuan. Setelah transfer malah memblokir orangnya. Berusaha tidak bisa dihubungi lagi. Berarti memang benar berniat menipu!
Wah, harus segera saya masukin lagi nih!
Tapi bagaimana caranya?
Buka dulu blokirnya!
Dan karena yang terblokir ribuan, susah juga mencarinya.
Tapi akhirnya ada,
Saya buka blokir dia, sekarang tinggal masukin lagi.
Tapi belum berteman.
ADD dulu!
Belum diterima juga
Saya inboks meminta menerima pertemanan.
Menunggu beberapa saat. Dia terima! Cepat saya masukkan lagi!
Haduuuuh selamat!! Selamat!
Kalau ketahuan ngeblokir dia, saya bisa kena teguran orang-orang nih.!
KEKUATAN BERCERITA VISUAL
Dalam menulis sebisa mungkin berceritalah. Dalam bercerita sebisa mungkin visualkan. Berusaha sekuat mungkin supaya orang-orang bisa membayangkan. Buat dalam kepala sendiri bayangannya begitu nyata, lalu dari bayangan itu berusahalah tuliskan. Memindahkan dari jelasnya bayangan pikiran ke dalam tulisan akan menjadikan tulisan luar biasa.
Inpirasi ini saya dapatkan setelah jalan-jalan dari toko buku melihat sebuah buku besar judulnya, Kekuatan Bercerita Visual. Saya tidak tahu maksud buku tersebut apa. Sepertinya kekuatan bercerita melalui gambar, lalu menyatakan pentingnya menggambar, atau bercerita melalui gambar, atau mungkin menceritakan kekuatan bercerita melalui film.
Tapi saya menangkapnya sebagai pesan, hebatnya bercerita secara visual. Bercerita dengan kata-kata yang sanggup membuat pembaca seakan-akan melihat apa yang sedang diceritakan. Jika kejadaiannya terjadi dalam sebuah ruang, maka diceritakan ruangan itu sejelas-jelasnya, jika itu orang, maka bentuk orang itu diceritakan sedetail-detailnya, jika dia berwajah seperti apa diceritakan bagaimana bentuk wajahnya.
Abstrak, dari sanalah seorang penulis memulai cerita. Dia mengambil yang abstrak kemudian mengkongkritkannya. Dia mengambil yang tak terlihat kemudian menceritakannya sampai pembaca meras melihat. Dia mengambil konsep-konsep dari berbagai nasihat dan pesan, kemudian mengejawantahkannya ke dalam cerita.
Ah ngomong apa sih aku ini
Teori doang, praktik sampah!
Inpirasi ini saya dapatkan setelah jalan-jalan dari toko buku melihat sebuah buku besar judulnya, Kekuatan Bercerita Visual. Saya tidak tahu maksud buku tersebut apa. Sepertinya kekuatan bercerita melalui gambar, lalu menyatakan pentingnya menggambar, atau bercerita melalui gambar, atau mungkin menceritakan kekuatan bercerita melalui film.
Tapi saya menangkapnya sebagai pesan, hebatnya bercerita secara visual. Bercerita dengan kata-kata yang sanggup membuat pembaca seakan-akan melihat apa yang sedang diceritakan. Jika kejadaiannya terjadi dalam sebuah ruang, maka diceritakan ruangan itu sejelas-jelasnya, jika itu orang, maka bentuk orang itu diceritakan sedetail-detailnya, jika dia berwajah seperti apa diceritakan bagaimana bentuk wajahnya.
Abstrak, dari sanalah seorang penulis memulai cerita. Dia mengambil yang abstrak kemudian mengkongkritkannya. Dia mengambil yang tak terlihat kemudian menceritakannya sampai pembaca meras melihat. Dia mengambil konsep-konsep dari berbagai nasihat dan pesan, kemudian mengejawantahkannya ke dalam cerita.
Ah ngomong apa sih aku ini
Teori doang, praktik sampah!
PENULIS SEJATI
Satu hal yang pasti akan terus disadari oleh seorang penulis sejati adalah, betapa kriminalnya menyia-nyiakan waktu. Bagi seorang penuli sejati, menghambur-hamburkan waktu adalah kejahatan tak termaafkan.
Ia akan senantiasa memanfaatkan waktu untuk menunjang karir kepenulisannya. Di mana saja, di perjalanan, di rumah, di tempat tidur, saat makan, saat minum, saat mandi, saat apa saja.
Dia mana dia mendapatkan kesempatan menulis, dia akan melakukannya. Apakah itu merancang kerangka, menguraikan kerangka. Apakah itu menulis ulang, mengeditnya, memperbakinya dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, dari paragraf ke paragraf, memperindahnya dengan berbagai gaya bahasa, memperindahnya dengan pantun dan peribahasa, memperindahnya dengan diksi manis tak biasa. Membangun kalimat-kalimat unik yang tak biasa dipakai orang namun tetap bisa dimengerti pembaca.
Dia gunakan waktu buat memelihara kalimat-kalimatnya supaya benar-benar mempunyai keunikan. Tidak
Betapa tidak maunya seorang penulis sejati menyia-nyiakan waktu.
Bagaimana dengan saya?
Bukan penulis sejati, masih hobi membuang-buang waktu. Nonton film tak berguna, ngobrol, komen-komenan di sosial media tanpa jelas tujuannya apa.
Ia akan senantiasa memanfaatkan waktu untuk menunjang karir kepenulisannya. Di mana saja, di perjalanan, di rumah, di tempat tidur, saat makan, saat minum, saat mandi, saat apa saja.
Dia mana dia mendapatkan kesempatan menulis, dia akan melakukannya. Apakah itu merancang kerangka, menguraikan kerangka. Apakah itu menulis ulang, mengeditnya, memperbakinya dari kata ke kata, dari kalimat ke kalimat, dari paragraf ke paragraf, memperindahnya dengan berbagai gaya bahasa, memperindahnya dengan pantun dan peribahasa, memperindahnya dengan diksi manis tak biasa. Membangun kalimat-kalimat unik yang tak biasa dipakai orang namun tetap bisa dimengerti pembaca.
Dia gunakan waktu buat memelihara kalimat-kalimatnya supaya benar-benar mempunyai keunikan. Tidak
Betapa tidak maunya seorang penulis sejati menyia-nyiakan waktu.
Bagaimana dengan saya?
Bukan penulis sejati, masih hobi membuang-buang waktu. Nonton film tak berguna, ngobrol, komen-komenan di sosial media tanpa jelas tujuannya apa.
Friday, May 13, 2016
Pak Belenong
Tak tahu bagaiman teorinya, tapi dalam cerita yang ingin kututurkan, orang yang suka menyebut karya orang lain sampah, dirinya sendiri yang akhirnya menjadi sampah.
"Belenong" nama tokohnya, dan sebagai penghormatan, Tuan Belenong, begitulah aku membuat panggilan.
Tuan Belenong berambisi jadi orang hebat, maka berjalan ke mana-mana, yang dia lakukan adalah menyebut-nyebut dirinya hebat. Saat melihat karya orang kurang disuka, dengan sangat ringan menyebut karya itu sampah. Sikap yang timbul dari prinsip "percaya diri" yang diusungnya. Prinsip yang terus dia tanamkan, setelah dia membaca artikel-artikel tentang cara memikat wanita, bahwa jika ingin membuat wanita terpesona, yang dilakukan adalah percaya diri, narsis dan suka berbangga-bangga.
Tuan Belenong pun berusaha, dengan ucapan, via tulisan, membangga-banggakan dirinya, sambil terus melatih kebiasaan mensampah-sampahkan karya orang.
Bukannya berpikir mengubah kebiasaan, kebiasaan itu malah ingin dia patenkan, sebagai prinsip kebanggaan. Menurutnya, kebiasaan itu bagian dari pendidikan. Untuk melatih orang tegar dengan hinaan, maka yang harus dilakukan adalah menghina karya mereka.
Dan kebangaan itu semakin besar saat melihat, ternyata ucapannya ajaib. Kepada apapun dia menyebut sampah, apa yang dia sebut sampah itu dilihatnya berubah menjadi sampah. Kepada karya siapa pun dia menyebut sampah, di matanya karya orang lain itu salin rupa menjadi sampah.
"Ini kehebatan, kesaktian, kudapat tanpa susah payah. Orang ingin sakti harus bertapa, mati geni, puasa, aku mah gak usah. Huahahaha... "
Kini Tuan Belenong berdiri di pasar, melirik tukang tahu dan berkata, "Sampah-sampah itu sebaiknya jangan kamu jual. Buang saja ke sana ke sudut pasar." Ajaib, di mataya, tahu-tahu itu berubah menjadi sampah. Tapi Tuan Belenong heran, kenapa orang-orang tetap datang membelinya, bahkan lari manis habis. Geleng-geleng kepala, dia mendengus, "Bodoh! Sampah busuk begitu kamu beli."
Kepada tukang oncom, kepada tukang sayur, kepada tukang buah, kepada tukang bumbu, tukang roti, tukang barang-barang, semua orang sekelilingnya dia sebut sampah, sampai akhirnya, segala hal di sekelilingnya, termasuk kios-kios, termasuk toko-toko, termasuk orang-orang, di mata dia, semua berubah menjadi sampah.
Tuan Belenong puas, tertawa, menengadah ke atas mengaum sambil memukul-mukul dada yang dia busungkan.
Di tengah tumpukan sampah itulah, Pak Belenong kemudian mencoba membuat karya. Karya tulis berupa cerita. Dengan segenap teori rumit yang selalu dia khotbahkan dengan bahasa-bahasa yang saat membacanya orang butuh obat sakit kepala, karya itu dia susun sangat panjang, sehingga saat dibukukan, buku itu menjadi sangat tebal. Usai cetak, karya itu dia lempar dan, Pak Belenong mengerutkan jidat, mengeluh sendiri, karena sekelilingnya hanyalah tumpukan sampah, maka dia melempar karya ke tempat sampah.
"Tidak! Aku tidak terima! Aku tidak terima karyaku malah dilempar ke tempat sampah."
Padahal yang melempar ke tumpukan sampah itu bukan siapa-siapa, tapi dirinya.
Hebatnya dia tidak putus asa. Gagal membujat karya panjang, karya pendek coba dibuatnya. Hanya tulisan-tulisan selintas untuk mengkhotbahkan teori-teorinya. Teori itu kemudian dia baca, namun masih juga tak puas, karena pendengarnya hanyalah tumpukan sampah.
Begitulah hari-harinya, menulis di tengah tumpukan sampah, hidup di tengah tumpukan sampah, melempar karya, karya itu dia lempar ke tumpukan sampah. Tinggal di tengah tumpukan sampah, maka perlahan-lahan dia mempertanyakan dirinya: "Lalu apakah nama yang pantas disematkan kepada sesuatu yang sehari-harinya berada di tengah tumpukan sampah selain sampah?"
Duh! Ludah dia telan.
"Tidak! aku bukan sampah. Sekelilingkulah yang sampah! Prinsip itu harus terus kupegang. Kepada karya siapa pun, aku akan tetap menyebut sampah."
Maka saat seorang kakek lewat memanggul seikat layangan buat dia tawarkan ke gang-gang kota. Tuan Belenong langsung berkata, "Kakek, sampah-sampah itu mau dibawa ke mana?"
Si Kakek terperangah. Bbukan, bukan tersingung layangannya dihina. Si Kakek terperangah, karena tiba-tiba melihat telinga Tuan Belenong memanjang, berubah menjadi kantong keresek bekas. Di kedua sisi kepala Pak Belenong, keresek itu tertiup angin berkibar-kibar. Lusuh dan hitam. Kemudian hidung Pak Belenong pun sama, memanjang, lepet berubah bentu menjadi kondom bekas.
Kini yang lewat tukang gerabah. Kerajinan tanah itu dia bawa susah payah. Dengan sepeda terseok-seok, dan saat terdengar dirinya disapa, tukang gerabah menghentikan sepeda. Dia tengok, kaget luar biasa, sesosok manusia dengan wajah tak wajar. Telinga hitam besar berkibar-kibar benar-benar mirip kantong keresek bekas, dan hidung kondom lepet menjuntai ke bawah. Sebagai manusia yang terdidik untuk sopan, tukang gerabah tetap membungkuk memberi hormat.
"Tuan Belenong, itulah panggilanku," kata Tuan Belenong, padahal tidak ditanya.
"Oh ya Tuan Belenong, ada apa? Apakah Anda membutuhkan gerabah? Gentong mungkin buat tempat air Tuan?"
"Elu mau jual apaan? Yang elo bawa itu semuanya sampah."
Seperti si kakek tua, tukang gerabah ini pun terperanjat. Bukan sebab merasa terhina, bukan, tapi karena tiba-tiba dia melihat, kepala bertelinga keresek berhidung kondom bekas itu kini lebih parah. Mata timbul ke depan, memanjang, mengerucut dengan tumpul pada bagian ujungnya. Tukang gerabah lekat mengamati, mata itu rupanya berbentuk sepatu bekas. Bukan hanya itu, pipi juga, berubah menjadi kardus bekar, leher seperti patahan tiang listrik, tangan jadi kayu busuk, badan menjadi drum bolong-bolong dan lapuk, sedangkan kaki, tetap berbentuk kaki, namun rupa seperti dibentuk dari gulungan-gulungan kantong plastik. Nyaris seluruh badan Tuan Belenong, di mata tukang gerabah benar-benar menjadi sampah. Tapi itu cuma penglihatan tukang gerabah saja. Yang sebenarnya padahal, memang benar Tuan Belenong telah berubah menjadi sampah.
Khawatir itu sebuah penyakit menular, tukang gerabah segera pergi mengayuh sepeda.
Sepeninggal tukang gerabah, bumi diguyur hujan dan banjir. Tuan Belenong runtuh berantakan, berserakan, lalu air bah membawanya ke hanyut ke mana-mana, ke rumah-rumah, ke pasar-pasar, tersangkut di kaki bangku pasar, di jari-jari roda tukang mie ayam, di pagar-pagar berkarat, dan setiap kali bertemu orang, sampah sisa-sisa Tuan Belenong itu lemah membisikkan kata-kata, "Aku orang hebat, karyaku hebat, sedang kalian dan semua hasil karya kalian hanyalah sampah."
"Belenong" nama tokohnya, dan sebagai penghormatan, Tuan Belenong, begitulah aku membuat panggilan.
Tuan Belenong berambisi jadi orang hebat, maka berjalan ke mana-mana, yang dia lakukan adalah menyebut-nyebut dirinya hebat. Saat melihat karya orang kurang disuka, dengan sangat ringan menyebut karya itu sampah. Sikap yang timbul dari prinsip "percaya diri" yang diusungnya. Prinsip yang terus dia tanamkan, setelah dia membaca artikel-artikel tentang cara memikat wanita, bahwa jika ingin membuat wanita terpesona, yang dilakukan adalah percaya diri, narsis dan suka berbangga-bangga.
Tuan Belenong pun berusaha, dengan ucapan, via tulisan, membangga-banggakan dirinya, sambil terus melatih kebiasaan mensampah-sampahkan karya orang.
Bukannya berpikir mengubah kebiasaan, kebiasaan itu malah ingin dia patenkan, sebagai prinsip kebanggaan. Menurutnya, kebiasaan itu bagian dari pendidikan. Untuk melatih orang tegar dengan hinaan, maka yang harus dilakukan adalah menghina karya mereka.
Dan kebangaan itu semakin besar saat melihat, ternyata ucapannya ajaib. Kepada apapun dia menyebut sampah, apa yang dia sebut sampah itu dilihatnya berubah menjadi sampah. Kepada karya siapa pun dia menyebut sampah, di matanya karya orang lain itu salin rupa menjadi sampah.
"Ini kehebatan, kesaktian, kudapat tanpa susah payah. Orang ingin sakti harus bertapa, mati geni, puasa, aku mah gak usah. Huahahaha... "
Kini Tuan Belenong berdiri di pasar, melirik tukang tahu dan berkata, "Sampah-sampah itu sebaiknya jangan kamu jual. Buang saja ke sana ke sudut pasar." Ajaib, di mataya, tahu-tahu itu berubah menjadi sampah. Tapi Tuan Belenong heran, kenapa orang-orang tetap datang membelinya, bahkan lari manis habis. Geleng-geleng kepala, dia mendengus, "Bodoh! Sampah busuk begitu kamu beli."
Kepada tukang oncom, kepada tukang sayur, kepada tukang buah, kepada tukang bumbu, tukang roti, tukang barang-barang, semua orang sekelilingnya dia sebut sampah, sampai akhirnya, segala hal di sekelilingnya, termasuk kios-kios, termasuk toko-toko, termasuk orang-orang, di mata dia, semua berubah menjadi sampah.
Tuan Belenong puas, tertawa, menengadah ke atas mengaum sambil memukul-mukul dada yang dia busungkan.
Di tengah tumpukan sampah itulah, Pak Belenong kemudian mencoba membuat karya. Karya tulis berupa cerita. Dengan segenap teori rumit yang selalu dia khotbahkan dengan bahasa-bahasa yang saat membacanya orang butuh obat sakit kepala, karya itu dia susun sangat panjang, sehingga saat dibukukan, buku itu menjadi sangat tebal. Usai cetak, karya itu dia lempar dan, Pak Belenong mengerutkan jidat, mengeluh sendiri, karena sekelilingnya hanyalah tumpukan sampah, maka dia melempar karya ke tempat sampah.
"Tidak! Aku tidak terima! Aku tidak terima karyaku malah dilempar ke tempat sampah."
Padahal yang melempar ke tumpukan sampah itu bukan siapa-siapa, tapi dirinya.
Hebatnya dia tidak putus asa. Gagal membujat karya panjang, karya pendek coba dibuatnya. Hanya tulisan-tulisan selintas untuk mengkhotbahkan teori-teorinya. Teori itu kemudian dia baca, namun masih juga tak puas, karena pendengarnya hanyalah tumpukan sampah.
Begitulah hari-harinya, menulis di tengah tumpukan sampah, hidup di tengah tumpukan sampah, melempar karya, karya itu dia lempar ke tumpukan sampah. Tinggal di tengah tumpukan sampah, maka perlahan-lahan dia mempertanyakan dirinya: "Lalu apakah nama yang pantas disematkan kepada sesuatu yang sehari-harinya berada di tengah tumpukan sampah selain sampah?"
Duh! Ludah dia telan.
"Tidak! aku bukan sampah. Sekelilingkulah yang sampah! Prinsip itu harus terus kupegang. Kepada karya siapa pun, aku akan tetap menyebut sampah."
Maka saat seorang kakek lewat memanggul seikat layangan buat dia tawarkan ke gang-gang kota. Tuan Belenong langsung berkata, "Kakek, sampah-sampah itu mau dibawa ke mana?"
Si Kakek terperangah. Bbukan, bukan tersingung layangannya dihina. Si Kakek terperangah, karena tiba-tiba melihat telinga Tuan Belenong memanjang, berubah menjadi kantong keresek bekas. Di kedua sisi kepala Pak Belenong, keresek itu tertiup angin berkibar-kibar. Lusuh dan hitam. Kemudian hidung Pak Belenong pun sama, memanjang, lepet berubah bentu menjadi kondom bekas.
Kini yang lewat tukang gerabah. Kerajinan tanah itu dia bawa susah payah. Dengan sepeda terseok-seok, dan saat terdengar dirinya disapa, tukang gerabah menghentikan sepeda. Dia tengok, kaget luar biasa, sesosok manusia dengan wajah tak wajar. Telinga hitam besar berkibar-kibar benar-benar mirip kantong keresek bekas, dan hidung kondom lepet menjuntai ke bawah. Sebagai manusia yang terdidik untuk sopan, tukang gerabah tetap membungkuk memberi hormat.
"Tuan Belenong, itulah panggilanku," kata Tuan Belenong, padahal tidak ditanya.
"Oh ya Tuan Belenong, ada apa? Apakah Anda membutuhkan gerabah? Gentong mungkin buat tempat air Tuan?"
"Elu mau jual apaan? Yang elo bawa itu semuanya sampah."
Seperti si kakek tua, tukang gerabah ini pun terperanjat. Bukan sebab merasa terhina, bukan, tapi karena tiba-tiba dia melihat, kepala bertelinga keresek berhidung kondom bekas itu kini lebih parah. Mata timbul ke depan, memanjang, mengerucut dengan tumpul pada bagian ujungnya. Tukang gerabah lekat mengamati, mata itu rupanya berbentuk sepatu bekas. Bukan hanya itu, pipi juga, berubah menjadi kardus bekar, leher seperti patahan tiang listrik, tangan jadi kayu busuk, badan menjadi drum bolong-bolong dan lapuk, sedangkan kaki, tetap berbentuk kaki, namun rupa seperti dibentuk dari gulungan-gulungan kantong plastik. Nyaris seluruh badan Tuan Belenong, di mata tukang gerabah benar-benar menjadi sampah. Tapi itu cuma penglihatan tukang gerabah saja. Yang sebenarnya padahal, memang benar Tuan Belenong telah berubah menjadi sampah.
Khawatir itu sebuah penyakit menular, tukang gerabah segera pergi mengayuh sepeda.
Sepeninggal tukang gerabah, bumi diguyur hujan dan banjir. Tuan Belenong runtuh berantakan, berserakan, lalu air bah membawanya ke hanyut ke mana-mana, ke rumah-rumah, ke pasar-pasar, tersangkut di kaki bangku pasar, di jari-jari roda tukang mie ayam, di pagar-pagar berkarat, dan setiap kali bertemu orang, sampah sisa-sisa Tuan Belenong itu lemah membisikkan kata-kata, "Aku orang hebat, karyaku hebat, sedang kalian dan semua hasil karya kalian hanyalah sampah."
Thursday, May 12, 2016
MEMBERIKAN ROKOK KEPADA ORANG TUA
Istriku bercerita, saat dia mengunjungi mertuanya, yaitu bapakku, mendapatkan pertanyaan, "Apakah sepulang kerja Si Aa suka memberikan rokok kepada Bapak barang sebungkus atau dua bungkus? Kujawab tidak, karena menurut Aa, memberi rokok kepada orang tua itu sama dengan memberikan racun."
Istri meneruskan, "Bapak langsung kaget dan berkata, 'ih jangan begitu, berilah orang tua rokok, sebagai tanda perhatian kita kepadanya."
Mendengar cerita itu, aku langsung berkata, "Tidak, aku sudah menetapkan diri untuk tidak mau memberikan rokok kepada orang tua. Aku telah hidup sebagai bukan perokok, memusuhi rokok, aku juga bersyukur menikah dengan wanita yang tidak suka rokok, aku hidup bersama para pembenci rokok, aku dididik untuk tidak menyukai rokok, aku kerja di perusahaan orang yang sangat membenci rokok, jadi mana mungkin aku memberi orang tuaku sendiri rokok?"
"Aku ingin orang tuaku panjang umur, jangan seperti tetangga kita, kepala sekolah itu, masih muda, harapan masih panjang, anak-anak masih sekolah, si bungsunya masih dalam kandungan, tapi dia harus menerima kenyataan pahit, pagi hari saat mengepel lantai di depan rumahnya terjungkal, tersungkur, dan langsung meninggal."
Tidak, aku ingin orang tuaku hidup dengan umur panjang dalam kesehatan.
Istri meneruskan, "Bapak langsung kaget dan berkata, 'ih jangan begitu, berilah orang tua rokok, sebagai tanda perhatian kita kepadanya."
Mendengar cerita itu, aku langsung berkata, "Tidak, aku sudah menetapkan diri untuk tidak mau memberikan rokok kepada orang tua. Aku telah hidup sebagai bukan perokok, memusuhi rokok, aku juga bersyukur menikah dengan wanita yang tidak suka rokok, aku hidup bersama para pembenci rokok, aku dididik untuk tidak menyukai rokok, aku kerja di perusahaan orang yang sangat membenci rokok, jadi mana mungkin aku memberi orang tuaku sendiri rokok?"
"Aku ingin orang tuaku panjang umur, jangan seperti tetangga kita, kepala sekolah itu, masih muda, harapan masih panjang, anak-anak masih sekolah, si bungsunya masih dalam kandungan, tapi dia harus menerima kenyataan pahit, pagi hari saat mengepel lantai di depan rumahnya terjungkal, tersungkur, dan langsung meninggal."
Tidak, aku ingin orang tuaku hidup dengan umur panjang dalam kesehatan.
Saturday, May 7, 2016
MANCING PAKE BOTOL, BENERAN DAPET. SERIUS!!
Tidak sengaja menemukan mancing gaya baru di youtube. Dengan botol plastik bekas minuman.
Pulang kampung sore, tidak sabar ingin segera pagi, penasaran ingin mencobanya. Beneran mudah nggak?
Keesokan harinya saya coba sambil mengasuh anak.
Tidak ada tali, beli dulu ke warung sebelah. Di dapur ada tepung kedaluarsa, saya bawa juga. Di rumah mertua banyak botol bekas minuman.
Saya siapkan.
Botol dipotong, diberi tali, masukkan tepung ke dalamnya
Masih kurang jelas? ok, saya keluarkan....
Pulang kampung sore, tidak sabar ingin segera pagi, penasaran ingin mencobanya. Beneran mudah nggak?
Keesokan harinya saya coba sambil mengasuh anak.
Tidak ada tali, beli dulu ke warung sebelah. Di dapur ada tepung kedaluarsa, saya bawa juga. Di rumah mertua banyak botol bekas minuman.
Saya siapkan.
Botol dipotong, diberi tali, masukkan tepung ke dalamnya
Itu kolamnya, air hijau kotor
Lempar botol ke kolam. Dibiarkan tenggelam,
Sederhana, tidak ada kail tajam yang akan melukai mulut ikan.
Nah, tuh ikannya masuk. Straig! Tarik langsung!
Noh ikannya di dalam botol...
Masih kurang jelas? ok, saya keluarkan....
Lumayan, dapat banyak. Anda bisa mencobanya di kolam masing-masing.
Digoreng, emh aromanya mengundang selera...
Anak saya suka ikan. Beda dengan jika makan sama tahu tempe yang susah sekali masuknya. Makan sama ikan dia sangat lahap.
Selamat mencoba...
Oh ya, durinya jangan dibuang. Berikan ke kucing tetangga.
BELUM JUGA BERANGKAT
Belum juga berangkat meningalkan rumah, kangen ini sudah melimpah. Malam ini masih bersama, malam besok, kembali sendirian, melawan sepi di tengah keramaian kota.
Teringat kembali tiga hari lalu. Senja...
Belok naik ke halaman, motor dimatikan. Telinga berusaha menangkap suara dari dalam, terdengar suaramu ribut, gembira. Hanya beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
"Bapak!!"
Sambutmu ceria. Kukira, kamu akan menanyakan oleh-oleh apa yang kubawa. Ternyata tidak, kamu hanya memandangaku gembira, berkali-kali sorak, "Asyik bapa datang asyik bapa datang." memeluk kakiku, mengajak ke dalam rumah. Sama sekali tidak bertanya, "Pa bawa apa? Itu apa di tas?"
Tidak!
Itu artinya kamu tulus hanya menginginkanku datang, dan hanya menungguku datang. Bukan ingin yang lain. Bukan ingin uang, bukan ingin oleh-oleh, tapi ingin aku, bapakmu.
Duduk di kursi ruang tengah.
"Rambut panjang, potong Pak! Potong ya!"
"Kenapa harus dipotong?"
"Laki-laki."
"Haha, kok pinter. Kok bisa tahu alasannya. Siapa sih yang mengajarinya begitu?" tanyaku pada ibumu.
Sebelum dia sempat menjawab, kamu sambar, "Ya jelas Allah dong."
Haha, kok bisa manusia sekecil kamu sudah mengerti bahwa segala kelebihan manusia itu terjadi atas pemberian Allah?
Nai, Bapak bahagia kamu sudah mulai bisa membaca Al-Qur'an. Usai shalat, ibumu membuka kitab suci itu dan kamu pun ikutan. Masih memakai mukena, kucoba minta kamu baca, dan kamu mencoba. Ya ampun kamu sudah tahu huruf-hurufnya dan bisa membaca beberapa. Terbata-bata tak mengapa. Sekecil kamu Bapak belum bisa apa-apa. Rahmat Allah semoga melimpahi ibumu yang sudah mengajarkan. Rahmat Allah semoga melimpahimu dengan memberkahi apa yang sudah menjadi pengetahuan.
Bapak bahagia Nai, saat mengajakmu shalat, kamu segera turun dari ranjang. Cepat memakai mukena, sekalipun ya, belum berwudlu, namanya juga belajar. Dan sangat bahagia saat kamu menangis keras karena ditinggalkan berjamaah. Kamu menangis keras meminta kami mengulang shalat.
Tidak bisa Nai, shalat yang sudah dimulai jangan dibatalkan. Takbiratul Ihram itu takbir yang mengharamkan, yaitu mengharamkan segala hal yang bisa membatalkan shalat jangan sampai dilakukan.
Setelah salam baru kamu bisa shalat lagi bareng kami. Pake mukenanya ya, kamu mengikuti di belakang. Kita shalat sunnat.
Itu adalah hal-hal indah di rumah.
Saat wudlu, saat shalat berjamaah, saat membaca Al-Qur'an. Oh ya saat membaca Al-Qur'an lalu ibumu mendengarkan. Bapak ingin ngetest bacaan surat Al-Waqi'ah, ternyata masih ada yang salah, padahal di kota, suka membaca tanpa melihat. Wah, pasti sudah sering salah...
Bapak ke kamar, tergantung di sana kemeja hitam punya Bapak, licin rata, dan tangan ibumu pasti telah menyetrikanya.
Kemeja itu bapak beli dari kota, yang saat di kota memakai kemudian mencucinya, tidak pernah disetrika atau dilipat, cukup disampirkan ke tali jemuran, setelah butuh kemudian dipakai, dicuci, dijemur, disimpan, dipakai, dicuci, dijemur, disimpan, dipakai, begitu seterusnya. Tapi setelah dibawa ke rumah, ibumu melicinnya sampai rata, menggantung, dan memelihara kebaikannya.
Sekarang, bapak telah di kota, telah duduk lagi di kursi putar, kursi kerja.
Teringat kembali tiga hari lalu. Senja...
Belok naik ke halaman, motor dimatikan. Telinga berusaha menangkap suara dari dalam, terdengar suaramu ribut, gembira. Hanya beberapa detik kemudian, pintu terbuka.
"Bapak!!"
Sambutmu ceria. Kukira, kamu akan menanyakan oleh-oleh apa yang kubawa. Ternyata tidak, kamu hanya memandangaku gembira, berkali-kali sorak, "Asyik bapa datang asyik bapa datang." memeluk kakiku, mengajak ke dalam rumah. Sama sekali tidak bertanya, "Pa bawa apa? Itu apa di tas?"
Tidak!
Itu artinya kamu tulus hanya menginginkanku datang, dan hanya menungguku datang. Bukan ingin yang lain. Bukan ingin uang, bukan ingin oleh-oleh, tapi ingin aku, bapakmu.
Duduk di kursi ruang tengah.
"Rambut panjang, potong Pak! Potong ya!"
"Kenapa harus dipotong?"
"Laki-laki."
"Haha, kok pinter. Kok bisa tahu alasannya. Siapa sih yang mengajarinya begitu?" tanyaku pada ibumu.
Sebelum dia sempat menjawab, kamu sambar, "Ya jelas Allah dong."
Haha, kok bisa manusia sekecil kamu sudah mengerti bahwa segala kelebihan manusia itu terjadi atas pemberian Allah?
Nai, Bapak bahagia kamu sudah mulai bisa membaca Al-Qur'an. Usai shalat, ibumu membuka kitab suci itu dan kamu pun ikutan. Masih memakai mukena, kucoba minta kamu baca, dan kamu mencoba. Ya ampun kamu sudah tahu huruf-hurufnya dan bisa membaca beberapa. Terbata-bata tak mengapa. Sekecil kamu Bapak belum bisa apa-apa. Rahmat Allah semoga melimpahi ibumu yang sudah mengajarkan. Rahmat Allah semoga melimpahimu dengan memberkahi apa yang sudah menjadi pengetahuan.
Bapak bahagia Nai, saat mengajakmu shalat, kamu segera turun dari ranjang. Cepat memakai mukena, sekalipun ya, belum berwudlu, namanya juga belajar. Dan sangat bahagia saat kamu menangis keras karena ditinggalkan berjamaah. Kamu menangis keras meminta kami mengulang shalat.
Tidak bisa Nai, shalat yang sudah dimulai jangan dibatalkan. Takbiratul Ihram itu takbir yang mengharamkan, yaitu mengharamkan segala hal yang bisa membatalkan shalat jangan sampai dilakukan.
Setelah salam baru kamu bisa shalat lagi bareng kami. Pake mukenanya ya, kamu mengikuti di belakang. Kita shalat sunnat.
Itu adalah hal-hal indah di rumah.
Saat wudlu, saat shalat berjamaah, saat membaca Al-Qur'an. Oh ya saat membaca Al-Qur'an lalu ibumu mendengarkan. Bapak ingin ngetest bacaan surat Al-Waqi'ah, ternyata masih ada yang salah, padahal di kota, suka membaca tanpa melihat. Wah, pasti sudah sering salah...
Bapak ke kamar, tergantung di sana kemeja hitam punya Bapak, licin rata, dan tangan ibumu pasti telah menyetrikanya.
Kemeja itu bapak beli dari kota, yang saat di kota memakai kemudian mencucinya, tidak pernah disetrika atau dilipat, cukup disampirkan ke tali jemuran, setelah butuh kemudian dipakai, dicuci, dijemur, disimpan, dipakai, dicuci, dijemur, disimpan, dipakai, begitu seterusnya. Tapi setelah dibawa ke rumah, ibumu melicinnya sampai rata, menggantung, dan memelihara kebaikannya.
Sekarang, bapak telah di kota, telah duduk lagi di kursi putar, kursi kerja.
ANTARA MASAK SENDIRI DAN BELI
Apa susahnya masak sendiri. Tinggal pergi ke pasar, dengan membawa uang tentu saja. Dekat, hanya beberapa langkah. Lagi pula jauh pun tak mengapa. Jadi olah raga. Di sana belanja, sayuran, toge, tahu, bawang, tomat. Bawa kembali ke penginapan. Siapkan nasi, cuci beras, masukkan mejikom, colokkan, biaran matang. Jangan lupa klik dulu ke posisi cook, kalau lupa nanti sudah menunggu lama, nasi ternyata belum matang, karena lampu mejikom ada di posisi warm. Awas, jangan lupa.
Bagaimana memasak?
Sangat gampang. Kupas bawang, iris. Kupas tomat, eh tidak usah. Tomat tinggal belah, iris. Cuci toge, cuci tahu. Iris. Siapkan wajan, masukkan minyak, masukkan irisan bawang, masukkan tomat, masukkan air, gula, garam, lada, setelah kira kira bumbu dan tahu tercampurkan, masukkan toge, dan rasaka aromanya. Wangi toge saat dipanaskan itu rasanya enak. Tunggu sebentar, jangan terlalu matang, angkat. Selesai. Hidangkan.
Nasi matang, sayur matang.
Tinggal makan.
Ini jauh lebih hemat daripada beli ke kantin.
Masak sekali pagi hari bisa mencukupi makan sampai malam hari. Dan karena tidak dimasak semua, sayuran masih tersisa, minyak masih tersisa, lada masih tersisa, bawang masih tersisa, beras masih tersisa, artinya saya masih bisa masak pada keesokan harinya.
Beda dengan beli. Secomot sayuran bisa mencapai lima ribuan. Sangat mahal. Dua kerat tempe dua ribu. Tahu dua ribu. Huh! Sekali makan paling tidak habis sepuluh ribu. Jika mau enam ribu, harus rela mencukupkan diri makan hanya dengan tempe goreng seperti tadi malam.
Bener juga kata Si Nicky Tirta, beli makan itu mahal. Lebih murah beli bahan lalu berkreasi sendiri memasak. Makanya waktu kuliah di Australia, dia lebih banyak masak sendiri daripada beli. Dari situlah keterampilan memasaknya terasah.
Bagaimana memasak?
Sangat gampang. Kupas bawang, iris. Kupas tomat, eh tidak usah. Tomat tinggal belah, iris. Cuci toge, cuci tahu. Iris. Siapkan wajan, masukkan minyak, masukkan irisan bawang, masukkan tomat, masukkan air, gula, garam, lada, setelah kira kira bumbu dan tahu tercampurkan, masukkan toge, dan rasaka aromanya. Wangi toge saat dipanaskan itu rasanya enak. Tunggu sebentar, jangan terlalu matang, angkat. Selesai. Hidangkan.
Nasi matang, sayur matang.
Tinggal makan.
Ini jauh lebih hemat daripada beli ke kantin.
Masak sekali pagi hari bisa mencukupi makan sampai malam hari. Dan karena tidak dimasak semua, sayuran masih tersisa, minyak masih tersisa, lada masih tersisa, bawang masih tersisa, beras masih tersisa, artinya saya masih bisa masak pada keesokan harinya.
Beda dengan beli. Secomot sayuran bisa mencapai lima ribuan. Sangat mahal. Dua kerat tempe dua ribu. Tahu dua ribu. Huh! Sekali makan paling tidak habis sepuluh ribu. Jika mau enam ribu, harus rela mencukupkan diri makan hanya dengan tempe goreng seperti tadi malam.
Bener juga kata Si Nicky Tirta, beli makan itu mahal. Lebih murah beli bahan lalu berkreasi sendiri memasak. Makanya waktu kuliah di Australia, dia lebih banyak masak sendiri daripada beli. Dari situlah keterampilan memasaknya terasah.
Sunday, May 1, 2016
DUA PELAJARAN
MENGAPA ORANG HARUS TERTARIK MEMBACA CERPEN SAYA
Sebelum menjawab pertanyaan, mengapa orang harus tertarik membaca cerpen saya. Maka terlebih dahulu harus kita jawab, mengapa saya tertarik membaca cerpen orang?
Kalau saya, tiga alasan:
1. Nama penulisnya. Sebab sebelumnya penulis ini punya bagus, maka saya tertarik ingin kembali menikmati.
2. Judul menggoda, opening bagus. Penulis tak dikenal, entah siapa, tapi judul tulisannya bikin penasaran, dan ketika saya coba membaca, opening terasa nikmat, maka saya teruskan.
3. Rekomendasi orang. Kata orang cerpen itu bagus, maka saya tertarik.
Sekarang baru kita beranjak ke pertanyaan pokok, mengapa orang harus tertarik membaca cerpen saya?
Dari ketiga alasan di atas, sepertinya kita hanya bisa mengusahakan alasan kedua. Membuat judul menggoda, opening menggoda.
Jangan judul biasa, berikan judul luar biasa. Budi Darma, sastrawakan kawakan tanah air. Bermain di judul-judul luar biasa. Nyi Talis, Olenka, Derabat, itu kata-kata luar biasa.
Jadi, berikan hal luar biasa
Berikan judul luar biasa, berikan opening luar biasa
Opening luar biasa, opening yang menggebrak kesadaran pembaca
Opening yang membuat mereka heran dan bertanya-tanyak, kok bisa? Supaya, mereka berusaha mencari penjelasan dari tulisan Anda berikutnya. Berikan hal luar biasa. Berikan tema luar biasa. Berikan plot luar biasa. Berikan bahasa luar biasa.
PELAJARAN DARI SEGELAS SUSU
Sebelum menulis ini, saya menikmati segelas besar susu
Mengapa mau?
Salah satu alasan, karena manis
Pelajarannya: manis
Tulisan bisa lebih nikmat dibaca jika tulisan itu manis
Supaya manis?
Berikan pemanis: bahasa manis, antara lain: Rima dan majas
Masukkan rima, selipkan majas.
Rima adalah bunyi akhir yang sama.
Bunyi akhir setiap kata, bunyi akhir setiap anak kalimat, atau bunyi akhir kalimat
Bunyi akhir kata berrima misalnya: ladang-ladang kacang ayah meranggas.
Bunyi akhir anak kalimat sama: di setiap pemberhetian kereta, dia menyusun kata-kata.
Bunyi akhir kalimat sama: Meja kantorku rata-rata berserakan sampah. Anehnya, bagi bos semua itu bukan masalah. Tidak pernah pikirannya merasa susah.
Berikutnya: majas
Para ahli bahasa telah merumuskan majas, coba kita terapkan ke dalam tulisan
Dengan majas, tulisan kita bisa lebih manis dan indah
Majas banyak macamnya,
Antara lain majas perbandingan
3 Jenis majas perbandingan: simile, metafora, dan personifikasi
Majas simile adalah majas perumpamaan, gaya bahasa yang menggunakan kata bagaikan, laksana, seumpama, bak, laksana, seperti, bagai, serupa, dan sebagainya.
Coba terapkan itu dala tulisan Anda
Majas metafora mengumpamakan sesuatu secara langsung, tanpa menggunakan kata bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misal: Wahai perawan kamu piring, satu kali pecah susah bagimu memperbaikinya.
Majas personifikasi: majas yang menjadika benda-benda mati seolah bisa berbuat seperti manusia. Misalnya, kursi termenung, tembok bengong, dua mobil ciuman, dan sebagainya.
Masih banyak jenis majas.
Silakan cari, pelajari dan terapkan. Coba terapkan itu dalam tulisan Anda, selipkan, insya Allah karyamu akan menjadi sesuatu yang unik.
Jangan malas, harus kerjas keras.
Penulis sekelas Asma Nadia saja, bisa sampai 20-30 kali pengeditan sebelum tulisannya diterbitkan.
Jika Anda, baru empat lima pengeditan sudah menyerah, maka, tekad Anda menulis harus dipertanyakan.
Sebelum menjawab pertanyaan, mengapa orang harus tertarik membaca cerpen saya. Maka terlebih dahulu harus kita jawab, mengapa saya tertarik membaca cerpen orang?
Kalau saya, tiga alasan:
1. Nama penulisnya. Sebab sebelumnya penulis ini punya bagus, maka saya tertarik ingin kembali menikmati.
2. Judul menggoda, opening bagus. Penulis tak dikenal, entah siapa, tapi judul tulisannya bikin penasaran, dan ketika saya coba membaca, opening terasa nikmat, maka saya teruskan.
3. Rekomendasi orang. Kata orang cerpen itu bagus, maka saya tertarik.
Sekarang baru kita beranjak ke pertanyaan pokok, mengapa orang harus tertarik membaca cerpen saya?
Dari ketiga alasan di atas, sepertinya kita hanya bisa mengusahakan alasan kedua. Membuat judul menggoda, opening menggoda.
Jangan judul biasa, berikan judul luar biasa. Budi Darma, sastrawakan kawakan tanah air. Bermain di judul-judul luar biasa. Nyi Talis, Olenka, Derabat, itu kata-kata luar biasa.
Jadi, berikan hal luar biasa
Berikan judul luar biasa, berikan opening luar biasa
Opening luar biasa, opening yang menggebrak kesadaran pembaca
Opening yang membuat mereka heran dan bertanya-tanyak, kok bisa? Supaya, mereka berusaha mencari penjelasan dari tulisan Anda berikutnya. Berikan hal luar biasa. Berikan tema luar biasa. Berikan plot luar biasa. Berikan bahasa luar biasa.
PELAJARAN DARI SEGELAS SUSU
Sebelum menulis ini, saya menikmati segelas besar susu
Mengapa mau?
Salah satu alasan, karena manis
Pelajarannya: manis
Tulisan bisa lebih nikmat dibaca jika tulisan itu manis
Supaya manis?
Berikan pemanis: bahasa manis, antara lain: Rima dan majas
Masukkan rima, selipkan majas.
Rima adalah bunyi akhir yang sama.
Bunyi akhir setiap kata, bunyi akhir setiap anak kalimat, atau bunyi akhir kalimat
Bunyi akhir kata berrima misalnya: ladang-ladang kacang ayah meranggas.
Bunyi akhir anak kalimat sama: di setiap pemberhetian kereta, dia menyusun kata-kata.
Bunyi akhir kalimat sama: Meja kantorku rata-rata berserakan sampah. Anehnya, bagi bos semua itu bukan masalah. Tidak pernah pikirannya merasa susah.
Berikutnya: majas
Para ahli bahasa telah merumuskan majas, coba kita terapkan ke dalam tulisan
Dengan majas, tulisan kita bisa lebih manis dan indah
Majas banyak macamnya,
Antara lain majas perbandingan
3 Jenis majas perbandingan: simile, metafora, dan personifikasi
Majas simile adalah majas perumpamaan, gaya bahasa yang menggunakan kata bagaikan, laksana, seumpama, bak, laksana, seperti, bagai, serupa, dan sebagainya.
Coba terapkan itu dala tulisan Anda
Majas metafora mengumpamakan sesuatu secara langsung, tanpa menggunakan kata bagaikan, laksana, dan sebagainya. Misal: Wahai perawan kamu piring, satu kali pecah susah bagimu memperbaikinya.
Majas personifikasi: majas yang menjadika benda-benda mati seolah bisa berbuat seperti manusia. Misalnya, kursi termenung, tembok bengong, dua mobil ciuman, dan sebagainya.
Masih banyak jenis majas.
Silakan cari, pelajari dan terapkan. Coba terapkan itu dalam tulisan Anda, selipkan, insya Allah karyamu akan menjadi sesuatu yang unik.
Jangan malas, harus kerjas keras.
Penulis sekelas Asma Nadia saja, bisa sampai 20-30 kali pengeditan sebelum tulisannya diterbitkan.
Jika Anda, baru empat lima pengeditan sudah menyerah, maka, tekad Anda menulis harus dipertanyakan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju k...
-
Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan...