Dulu kurang berani membicarakan ini lebih terbuka sebab saya pikir pemikiran ini keliru. Akan tetapi semakin ke sini semakin banyak menemukan fakta, dan menemukan banyak orang dengan pemikiran yang sama, akhirnya kegalauan ini saya tuliskan.
Tentang rasa percaya diri, benarkah itu sebuah kebenaran?
Dua kali saya bergaul akrab dengan sosok orang yang mengagung-agungkan rasa percaya diri, dua kali juga saya menemukan fenomena memilukan: keduanya mengalami keterpurukan. Kedua orang itu mengira rasa percaya diri bisa membuat mereka hebat. Iya memang saat itu mereka sedang jaya-jayanya, membangun sebuah lembaga pendidikan, dan banyak orang datang. Nyaris kepada setiap tamu kesuksesan itu terus mereka bangga-banggakan sambil berkata "saya" dan "saya" ... oleh saya dan oleh saya, karena saya dan karena saya.
Harusnya saya menegur tapi tidak berani. Pengecut diri mencegah dengan pikiran, misalpun saya mengingatkan dia, pasti mereka membantah karena merasa lebih pintar. Hanya bisa diam memendam penasaran, akan bernasib apakah lembaga yang mereka bangun ini berikutnya. Selama ini, yang saya tahu dari pelajaran agama, dari ayat suci yang saya pelajari dan sunnah yang saya baca, orang-orang yang suka membanggakan diri terancam kehancuran. Ini hukum yang Allah sudah berlaku pada orang-orang terdahulu, pasti berlaku pula buat orang-orang sekarang.
Dalam Al-Qur'an berkali-kali Allah mengingatkan, keberhasilan apa saja yang manusia dapatkan. Kedudukan mulia yang diraih Sulaiman, kekuatan Daud yang sanggup mengolah perkakas besi hanya dengan menggunakan tangan, kekayaan Ayyub dan kebahagiaan keluarganya, dan kesabaran Nabi Muhammad, itu bukan atas kemampuan dirinya melainkan atas kehendak Allah. Jadi tiada alasan buat manusia berbangga-bangga. Dan siapa saja membangga-banggakan diri berarti dia telah melawan. Siapa saja percaya diri dengan percaya semua itu terjadi atas kehebatan dirinya maka berarti dia melawan. Siapa saja melawan berarti menabrak tembok. Mobil yang menabrak tembok akan mengalami kehancuran. Lalu saya bertanya, apakah orang-orang ini akan mengalaminya juga?
Eh ternyata benar, cerita mereka berikutnya sangat memilukan. Yang satu sampai bangunan pendidikannya dijual jadi rumah orang. Satu lagi perguruan tinggi direbut lalu dikuasai orang lain.
Percaya Diri
Sebenarnya konsep ini ajaran siapa?
Saya menelaah Al-Qur'an, rasa percaya diri lebih banyak ditunjukkan oleh orang-orang durhaka
Fir'aun dengan kata-katanya, "Akulah Rabb kalian yang maha tinggi."
Qarun dengan kata-katanya, "Semua kekayaan ini disebabkan oleh pengetahuan yang ada padaku"
Saking percaya dirinya sampai Fir'aun mengaku dirinya Tuhan.
Saking percaya dirinya, Qarun sampai berani mengakui semua kekayaan itu dia dapatkan karena ilmu yang dia punya.
Begitulah, rasa percaya diri dalam Al-Qur'an lebih banyak ditunjukkan para sesepuh kafir.
Sebaliknya orang-orang shalih seperti para Nabi, Al-Qur'an menggambarkan mereka sebagai sosok-sosok yang tidak percaya diri.
Nabi Musa bersama ketakutannya, "Ya Rabbi, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku." (26:12) Dia pun pernah berkata, "Ya Rabbi, sesungguhnya aku, telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku." (28:33) Tatkala dalam pengembaraan dia merasakan kelelahan, Nabi Musa tidak berkata, "Aku Bisaa!!!!!"seperti yang biasa diajarkan para motivator jaman sekarang. Tidak. Nabi Musa duduk bersandar ke pohon sambil berkata, "Rabbi sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau turunkan."
Nabi Zakariya merasaka ketidakpercayadirian. Ketika Allah sampaikan kepadanya bahwa istri Nabi Zakariya tengah mengandung seorang anak, maka Nabi Zakariya merasakan ketidakpercayadiriannya dengan mengatakan, bagaimana mungkin aku mempunyai anak padahal rambutku telah penuh uban dan tulang-belulangku sudah begitu lemah sedang istriku seorang mandul tidak bisa mempunyai anak. Kemudian Allah sampaikan, bahwa menjadikan seorang wanita mengandung itu amatlah mudah bagi Allah, karena untuk menciptakan sesuatu bagi Allah tinggal menyebut "Jadilah!" maka jadilah sesuatu itu.
Nabi Adam tatkala diturunkan ke bumi dan dipisahkan dengan istrinya, Hawa, beliau tidak teriak peun percaya diri "Aku Bisa! Aku pasti menemukannya!!!" I can!!!" ... tidak. Beliau malah mengadu kepada Allah mengakui dirinya seorang dzalim, telah mendzalimi diri sendiri, dan seandainya Allah tidak mengampuninya benar-benar dia akan menjadi orang-orang yang rugi.
Bahkan Nabi Yusuf yang berkata, "Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."? (Yusuf: 55) itu bukan timbul dari rasa pecaya diri melainkan lebih sebagai penentuan pilihan atas kedudukan yang raja Mesir tawarkan kepadanya. (Yusuf: 54) Saat itu raja mengatakan akan menjadikan Yusuf orang yang dekat kepadanya, maka Yusuf memilih jadi bendaharawan yang mengatur urusan pangan.
Itulah sebabnya, dalam ayat berikutnya Allah tegaskan, bahwa kedudukan yang Nabi Yusuf dapatkan itu bukan atas kemampuan Yusuf sendiri melainkan atas karunia-Nya. "Dan demikianlah Kami memberi kedudukan kepada Yusuf di negeri Mesir, ... " ( Yusuf: 56)
Sama sekali bukan timbul dari rasa percaya diri, sebab sebelum itu pun Nabi Yusuf berkata tentang dirinya yang tidak pernah bisa luput dari kesalahan, "Dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan,.. " (Yusuf: 53)
Bukan percaya diri yang diajarkan Al-Qur'an, melainkan percaya Allah. Bukan mengagung-agungkan diri yang diajarkan Al-Qur'an, melainkan mengagungkan Allah.
Jadi jelas berdasarkan temuan saya, ercaya diri hanyalah konsep haram jadah yang sumbernya entah dari mana dan siapa pencetusnya. Siapa saja mengagungkan rasa percaya diri dia telah menabrak. Mobil menabrak tembok biasanya penyok, jadi siap-siaplah. Percaya diri menjadika pemimpin kapal Titanic Arogan menatang Tuhan dan tahu sendiri seperti apa nasib kapal itu akhirnya. Begitu percaya dirinya pembuat pesawat ke luar angkasa sampai menamakan karyanya Chalenger (menantang) lalu diterbangkan tahun 1986 dan hanya butuh beberapa detik untuk meledak, 7 orang meninggal.
Monday, April 25, 2016
Saturday, April 23, 2016
BUNCIS!!!!
"Judul seminarnya apa Mbak?"
"Menjadi Muslimah Tegar."
"Muslimah?"
"Iya, kenapa?"
"Seminar ibu-ibu dong?"
"Ada anak remajanya juga."
"Itu buat wanita."
"Masalahnya?"
"Saya seorang pria, kurang baik mengisi materi di forum wanita."
"Sekali ini saja Mas. Toh ustadz lain pun banyak yang melakukan."
"Itu ustadz lain Mbak, saya belum sampai ilmunya."
"Sekali ini saya Mas."
"Duh, gimana ya. Tapi apa Mbak tidak salah pilih orang?"
"Salah kenapa?"
"Pembicara lain kan banyak."
"Mas Dana penulis, bisa memilih diksi-diksi yang manis, lagi pula biasanya penulis biasa berpikir sistematis."
"Wah Si Mbak benar-benar salah pilih orang. Itu penulis buku Mbak, saya ini cuma penulis status facebook. Penulis buku biasa berpikir sistematis, terususun, tertib, rapi. Penulis status facebook, penulis seingatnya."
"Setidaknya punya keterampilan berbahasa."
"Berbahasa sih bisa, terampil tidak."
"Ayolah Mas."
Lagi pula, nih orang kok manggil saya Mas. Saya ini bukan Mas Mas. Mas itu buat suku Jawa. Saya suku Sunda, biasa disebut Kang Kang. Tapi biarlah, terserah dia mau manggil apa. Masih untung tidak dipanggil Mblo.
"Gimana ya Mbak, sanggup sih sanggup. Tapi Mbak dan panitia harus siap kecewa."
"Oh sudah jauh-jauh hari. Kami sudah siap kecewa. Wong baru liat tampangnya saja Mas Dana sudah mengecewakan!"
Buncis!!!
"Siap ya Mas!"
"Ok."
Apa yang harus saya persiapkan. Materinya apa. Mengingat judul seminar "Menjadi Muslimah Tegar" seketika teringat buku yang menceritakan para muslimah dengan segala cobaan rumah tangganya. Buku sampul biru tua dengan judul menggambarkan kemanusiaan.
Dari tumpukan koleksi, buku itu saya ambil dan baca. Karena sebagian besar isinya nyata, dengan sangat lancar saya bisa membaca. Sekali membaca, langsung membekas. Mudah sekali membekas sebab buku itu kumpulan curhat muslimah, disaripatikan dari kehidupan para muslimah bersama sebagian pahit getir hidupnya.
Rasa senang makin berlipat manakala sadar telah menemukan buku yang tepat. Buku ini pilihan tepat dengan tiga alasan. Alasan pertama, ini buku tentang muslimah dan ini sangat cocok dengan peserta dari seminar yang akan saya isi nanti yaitu para muslimah. Alasan kedua, buku ini tentang cobaan hidup para muslimah dan ini sangat cocok dengan tema yang akan saya bicarakan nanti yaitu tentang ketegaran. Alasan ketiga, buku ini berbentuk kisah jadi sebagian besar materi nanti akan saya sajikan dalam kemasan kisah-kisah.
Berulangkali menjadi penceramah, saya rasakan berkisah ini sangat memudahkan. Memudahkan saya sebagai pembicara, juga memudahkan pemahaman pendengar. Terlebih lagi secara naluriah, wanita memng makhluk penyuka cerita. Di mana-mana, obrolan mereka rata-rata cerita. Ngerumpi di teras, di mobil angkutan, di perjalanan, di sawah-sawah, di pematang-pematang, apa yang mereka bicarakan rata-rata cerita. Cerita tentang dirinya, tentang suaminya, tetang anaknya, tentang tetangganya, tentang ayahnya, ibunya, temannya, atau, tentang film yang mereka tonton. Mereka makluk penyuka cerita, jadi pastinya, perhatian mereka dengan sangat mudah terpusat manakala materi saya sajikan via cerita.
Dan memang benar, tiba waktunya seminar dan cerita-cerita itu saya tuturkan, ruangan seketika senyap tanpa seorang pun bicara selain saya yang meski bersuara cempreng terkadang gagap, namun dengan penuh antusias hadirin mau mendengar. Tak jelas sebabnya apa, mungkin karena cerita saya sampaikan dengan penuh perasaan.
Tatkala menuturkan seorang istri yang di rumahnya sendiri menemukan seorang wanita telanjang sedang tidur di kamar dan terpaksa setelah itu harus mengalami perceraian dan kehilangan anak. Tatkala menuturkan kisah muslimah dengan awal rumah tangga indah penuh kemesraan namun dalam perjalanan batu sandungan saat menemukan SMS mesra di handphone suaminya, "Sayang, sedang apa, jangan terlambat makan ya!" itu adalah pesan di kotak keluar untuk penerima bernama Spongeboob. Dan kisah-kisah lainnya, seperti ombak pantai Pangandaran, perlahan, perlahan, perlahan, membesar, pecah, begitu antara lain teknik saya dalam bercerita.
Satu jam berlalu tak terasa, tiba saatnya ceramah harus saya pungkas "Dua hal kita butuhkan biar tabah menjalani musibah. Pertama, bersiap. Kedua, jika terjadi maka ucapkanlah "Innalillah.""
* * *
"Maaf Mbak, saya tidak bisa menerimanya."
"Terimalah Mas." dia terus menyodorkan amplop. Cukup tebal.
"Maaf Mbak, tidak usah. Saya tidak bisa menerimanya."
"Kalau Mas tidak mau terima ini sebagai honor, anggaplah ini hadiah, bentuk rasa terima kasih kami karena Mas sudah mau datang dan berbagi."
"Tidak Mbak, saya tidak bisa menerimanya."
"Kenapa tidak bisa Mas?"
"Jelas tidak bisa Mbak, ini kan cerita fiksi, ini cerita khayalan."
Buncis!!!
"Menjadi Muslimah Tegar."
"Muslimah?"
"Iya, kenapa?"
"Seminar ibu-ibu dong?"
"Ada anak remajanya juga."
"Itu buat wanita."
"Masalahnya?"
"Saya seorang pria, kurang baik mengisi materi di forum wanita."
"Sekali ini saja Mas. Toh ustadz lain pun banyak yang melakukan."
"Itu ustadz lain Mbak, saya belum sampai ilmunya."
"Sekali ini saya Mas."
"Duh, gimana ya. Tapi apa Mbak tidak salah pilih orang?"
"Salah kenapa?"
"Pembicara lain kan banyak."
"Mas Dana penulis, bisa memilih diksi-diksi yang manis, lagi pula biasanya penulis biasa berpikir sistematis."
"Wah Si Mbak benar-benar salah pilih orang. Itu penulis buku Mbak, saya ini cuma penulis status facebook. Penulis buku biasa berpikir sistematis, terususun, tertib, rapi. Penulis status facebook, penulis seingatnya."
"Setidaknya punya keterampilan berbahasa."
"Berbahasa sih bisa, terampil tidak."
"Ayolah Mas."
Lagi pula, nih orang kok manggil saya Mas. Saya ini bukan Mas Mas. Mas itu buat suku Jawa. Saya suku Sunda, biasa disebut Kang Kang. Tapi biarlah, terserah dia mau manggil apa. Masih untung tidak dipanggil Mblo.
"Gimana ya Mbak, sanggup sih sanggup. Tapi Mbak dan panitia harus siap kecewa."
"Oh sudah jauh-jauh hari. Kami sudah siap kecewa. Wong baru liat tampangnya saja Mas Dana sudah mengecewakan!"
Buncis!!!
"Siap ya Mas!"
"Ok."
Apa yang harus saya persiapkan. Materinya apa. Mengingat judul seminar "Menjadi Muslimah Tegar" seketika teringat buku yang menceritakan para muslimah dengan segala cobaan rumah tangganya. Buku sampul biru tua dengan judul menggambarkan kemanusiaan.
Dari tumpukan koleksi, buku itu saya ambil dan baca. Karena sebagian besar isinya nyata, dengan sangat lancar saya bisa membaca. Sekali membaca, langsung membekas. Mudah sekali membekas sebab buku itu kumpulan curhat muslimah, disaripatikan dari kehidupan para muslimah bersama sebagian pahit getir hidupnya.
Rasa senang makin berlipat manakala sadar telah menemukan buku yang tepat. Buku ini pilihan tepat dengan tiga alasan. Alasan pertama, ini buku tentang muslimah dan ini sangat cocok dengan peserta dari seminar yang akan saya isi nanti yaitu para muslimah. Alasan kedua, buku ini tentang cobaan hidup para muslimah dan ini sangat cocok dengan tema yang akan saya bicarakan nanti yaitu tentang ketegaran. Alasan ketiga, buku ini berbentuk kisah jadi sebagian besar materi nanti akan saya sajikan dalam kemasan kisah-kisah.
Berulangkali menjadi penceramah, saya rasakan berkisah ini sangat memudahkan. Memudahkan saya sebagai pembicara, juga memudahkan pemahaman pendengar. Terlebih lagi secara naluriah, wanita memng makhluk penyuka cerita. Di mana-mana, obrolan mereka rata-rata cerita. Ngerumpi di teras, di mobil angkutan, di perjalanan, di sawah-sawah, di pematang-pematang, apa yang mereka bicarakan rata-rata cerita. Cerita tentang dirinya, tentang suaminya, tetang anaknya, tentang tetangganya, tentang ayahnya, ibunya, temannya, atau, tentang film yang mereka tonton. Mereka makluk penyuka cerita, jadi pastinya, perhatian mereka dengan sangat mudah terpusat manakala materi saya sajikan via cerita.
Dan memang benar, tiba waktunya seminar dan cerita-cerita itu saya tuturkan, ruangan seketika senyap tanpa seorang pun bicara selain saya yang meski bersuara cempreng terkadang gagap, namun dengan penuh antusias hadirin mau mendengar. Tak jelas sebabnya apa, mungkin karena cerita saya sampaikan dengan penuh perasaan.
Tatkala menuturkan seorang istri yang di rumahnya sendiri menemukan seorang wanita telanjang sedang tidur di kamar dan terpaksa setelah itu harus mengalami perceraian dan kehilangan anak. Tatkala menuturkan kisah muslimah dengan awal rumah tangga indah penuh kemesraan namun dalam perjalanan batu sandungan saat menemukan SMS mesra di handphone suaminya, "Sayang, sedang apa, jangan terlambat makan ya!" itu adalah pesan di kotak keluar untuk penerima bernama Spongeboob. Dan kisah-kisah lainnya, seperti ombak pantai Pangandaran, perlahan, perlahan, perlahan, membesar, pecah, begitu antara lain teknik saya dalam bercerita.
Satu jam berlalu tak terasa, tiba saatnya ceramah harus saya pungkas "Dua hal kita butuhkan biar tabah menjalani musibah. Pertama, bersiap. Kedua, jika terjadi maka ucapkanlah "Innalillah.""
* * *
"Maaf Mbak, saya tidak bisa menerimanya."
"Terimalah Mas." dia terus menyodorkan amplop. Cukup tebal.
"Maaf Mbak, tidak usah. Saya tidak bisa menerimanya."
"Kalau Mas tidak mau terima ini sebagai honor, anggaplah ini hadiah, bentuk rasa terima kasih kami karena Mas sudah mau datang dan berbagi."
"Tidak Mbak, saya tidak bisa menerimanya."
"Kenapa tidak bisa Mas?"
"Jelas tidak bisa Mbak, ini kan cerita fiksi, ini cerita khayalan."
Buncis!!!
Friday, April 22, 2016
NOVEL HUJAN
Menutup halaman terakhir novel hujan, bersama setitik air di sudut mata. Bener kata orang, Tere Liye kalau nulis suka menyentuh. Betul kata orang, buku Tere Liye banyak kata-kata menariknya. Betul kata orang, cerita Tere Liye tidak biasa. Betul kata orang, Endingnya tidak terduga.
Betul-betul mempermainkan pembaca.
Berkali-kali membaca testimoni orang, novel Tere Liye nyaris semuanya bagus. Tapi dari yang sekian banyak itu, baru novel Hujan yang berhasil tamat. Ini pun karena tertarik, setelah seorang teman membeli.
Padahal si teman kurang begitu suka membaca, tapi dia sampai mau membelinya, ini luar biasa.
Memangnya sebagus apa sih?
Penasaran. Maka saya lancarkan strategi licik. Saat seorang pembeli berkata, ingin membeli novel Hujan, saya katakan padanya, bolehkah saya membacanya dahulu?
Mulanya dia menolak.
Saya mengalah, baiklah...
Tapi kemudian, dia katakan itu bercanda. Boleh, katanya
Wah, menyenangkan.
Segel novel dibuka, dibungkus rapi dengan plastik mika, yang licin keras, dan mulailah membaca..
Sampai saat beberapa halaman terakhir hendak dihabiskan, berluncuran kata-kata mutiara yang sangat mengesankan.
"Ibu juga akan kehilangan putra terakhir ibu. Tapi tak mengapa, toh semua akan kalah oleh waktu. Ibu belajar banyak, bahwa sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, marah-marah, tapi pada akhirnya dia merasa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri."
-------
"Bukankah saat dia mencintai Esok, maka yang paling berharga justru adalah perasaan cinta itu sendiri? Sesuatu yang mulia di dalam hatinya. Bukan soal memiliki, bukan tentang bersama esok."
-------
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.
Ending yang cantik!
Betul-betul mempermainkan pembaca.
Berkali-kali membaca testimoni orang, novel Tere Liye nyaris semuanya bagus. Tapi dari yang sekian banyak itu, baru novel Hujan yang berhasil tamat. Ini pun karena tertarik, setelah seorang teman membeli.
Padahal si teman kurang begitu suka membaca, tapi dia sampai mau membelinya, ini luar biasa.
Memangnya sebagus apa sih?
Penasaran. Maka saya lancarkan strategi licik. Saat seorang pembeli berkata, ingin membeli novel Hujan, saya katakan padanya, bolehkah saya membacanya dahulu?
Mulanya dia menolak.
Saya mengalah, baiklah...
Tapi kemudian, dia katakan itu bercanda. Boleh, katanya
Wah, menyenangkan.
Segel novel dibuka, dibungkus rapi dengan plastik mika, yang licin keras, dan mulailah membaca..
Sampai saat beberapa halaman terakhir hendak dihabiskan, berluncuran kata-kata mutiara yang sangat mengesankan.
"Ibu juga akan kehilangan putra terakhir ibu. Tapi tak mengapa, toh semua akan kalah oleh waktu. Ibu belajar banyak, bahwa sebenarnya hanya orang-orang kuatlah yang bisa melepaskan sesuatu, orang-orang yang berhasil menaklukkan diri sendiri. Meski terasa sakit, marah-marah, tapi pada akhirnya dia merasa tulus melepaskan, maka dia telah berhasil menaklukkan diri sendiri."
-------
"Bukankah saat dia mencintai Esok, maka yang paling berharga justru adalah perasaan cinta itu sendiri? Sesuatu yang mulia di dalam hatinya. Bukan soal memiliki, bukan tentang bersama esok."
-------
Bukan melupakan yang jadi masalahnya. Tapi menerima. Barangsiapa yang bisa menerima, maka dia akan bisa melupakan, hidup bahagia. Tapi jika dia tidak bisa menerima, dia tidak akan pernah bisa melupakan.
Ending yang cantik!
Wednesday, April 20, 2016
CARA MUDAH MENGHALUSKAN KETUMBAR
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju ke pasar, hendak menbeli lada dan ketumbar. Sejak sebelum subuh punya rencana melakukan apa yang pernah ibu ajar.
Hanya ada ketumbar.
Dan sepertinya akan sangat mengasyikkan. Pernah ibu saya menceritakan, sebuah cara menghaluskan ladan dan ketumbar termudah, dan sekarang saya ingin mempraktikkan.
Keinginan ini bermula dari masak tempe, toge dan kacang panjang. Memotong-motong kemudian membubuhkannya kepada tumisan bawang. Saya taburkan gula, garam tanpa dikur tanpa ditimbang. Dikira-kira saja, asal jangan terlalu lebih terlalu kurang. Beberapa saat di panci dibiarkan mengembang. Eh bukan roti, jadi bukan mengembang, maksud saya, dibiarkan sedikit matang. Bersama nasi saya coba cicip rasanya kok hambar. Sepertinya kurang bumbu, tapi harus tambah lagi apa.
Sepertinya kurang lada, pikir saya. Bumbu satu itu memang punya ciri khas dan sangat cocok buat masak sayuran. Selain seledri, pada sop pun lada menjadi pelengkap yang tak bisa ditinggalkan. Itulah sebabnya pagi ini saya berniat belanja lada sekalian ketumbar. Ada tempe di kulkas, mau coba saya masak sambal goreng dan itu membutuhkan ketumbar.
Seorang ibu menunggui jualan sayurannya sedang sibuk melayani pembeli. Hujan membuatnya harus menutupi sebagian permukaan jualan. Saya tanyakan kepadanya apakah ada lada? Karena ramai, sepertinya dia kurang mendengar. Saya ulang, ada lada? pedes? Dia katakan, ada tapi hanya yang bubuk tidak ada lada bulat-bulat.
Hanya ada ketumbar.
Saya beli saja ketumbar. Kembali berjalan mencari kios lain dan masya Allah, pemandangan pasar saat ini sangat indah. Sudah jelas sebelumnya pun pasar ini kotor dan berantakan, sekarang ditambah lagi hujan. Masya Allah itu ucapan buat kekaguman, dan memang saya pun mengucapkan ini buat kekaguman dan kebahagiaan, karena memang pemandangan inilah yang sekarang sedang saya butuhkan. Sebuah website sedang mengadakan lomba foto pasar rakyat, dan saya sedang mencoba mengikutinya, dan ini adalah saat yang tepat. Hujan, air menetes-netes dari atap setiap kios berjatuhan ke bawah, sebagian menjadi tempias, dan yang luar biasa, lantai pasar yang sebelumnya becek, bau busuk, penuh kencing dan kotoran tikus sekarang penuh air tergenang. Kaki saya sampai tercebur ke parit dalam. Sejak tadi, sejak melangkah di lorong-lorong pasar dan kaki tenggelam rasa jijik terus ditahan-tahan, sekarang malah harus kecebur ke parit, maka sekaligus kaki ini ditarik, dan naas... tali sandal putus. Maka saya coba tarik perlahan. Dapat, lalu tampak tali sandal benar-benar putus. Oh bukan putus, hanya lepas, dan bisa dimasukkan, tapi mencoba kembali memasukkannya namun gagal.
Oh ya, lada berhasil didapat dari seorang ibu penjual bumbu-bumbuan.
Dibawa kembali ke penginapan, dan rencana siap dijalankan. Dari dalam rak, sebuah wadah berbentuk mangkuk saya ambil. Itu bagian atas blender lengkap dengan pisau penggilingnya. Mesin blenderya saya ambil dari bawah rak buku. Itu blender di bawa dari kampung pemberian ibu. Tidak digunakan lagi karena dianggap rusak, karet pemutar gelas buat gelas penggiling buahnya hancur tak bisa lagi dipakai. Jadi tinggal penggiling berbentuk mangkuk kecilnya. Mangkuk kecil itulah yang rencananya akan saya jadikan penggiling lada dan ketumbar.
Begitulah ibu saya mengajarkan cara menggiling dua benda bulat-bulan kecil itu supaya jangan sampai lelah menghaluskannya dengan ulekan. Dan memang menyenangkan. Saya sobek bagian bawa kantong plastik lada itu kemudian masukkan ke dalam mangkuk, menyambungkannya dengan mesin penggiling dan nggguuuiiiingggg, suara berisik memenuhi ruangan penginapan. Berisik sekali dan pasti ini sangat mengganggu Wiro yang sedang tidur. Nggak papa, sengaja supaya dia bangun, supaya shalat shubuh, supaya jangan sampai subuh siang seperti biasanya. Merasa sudah halus, mesin saya matikan dan buka. Masih belum halus juga, kembali dimasukkan, mesin dinyalakan. Nguiingg, berisik kembali mengganggu ruangan. Biar Wiro bangun, tapi malah menutupkan selimutnya. Mungkin dia memang mau tidur terus dengan rencana bangun nanti siang. Biasanya jam delapanan. Lada halus, kembali menggiling ketumbar. Nguingg bbbrrrrrrrrrr, suara berisik kembali memenuhi ruangan, kali ini cukup lama. MengangguWiro yang sedan tidur tak mengapa. Sengaja, biar dia bangun, Wudlu san subuh, tapi masih juga tidak. Sampai penggilingan selesai, Wiro masih saa di kasur berbaring nyenyak.
Dua kantung lada bubuk dan ketumbar bubuk, siap digunakan.
SUDUT PANDANG
Seringkali foto jadi sangat menarik bukan disebabkan menarik objeknya, melainkan sudut pandang. Seperti itu jugalah tulisan. Tema biasa bisa menjadi sangat menarik saat penulis lihai dalam urusan sudut pandang.
Sudut pandang seorang anak
Sudut pandang seorang remaja
Sudut pandang seorang yang sedang bahagia
Sudut pandang seorang yang sedang berduka cita
Sudut pandang seorang ceria, pencinta humor,
Seorang humoris akan memandang banyak hal dari sisi humornya.
Yang terjadi pada buku humortivasi: begitulah.
Pertama kali melihat buku itu saat hendak shalat. Di antara tumbukan buku dan barisan meja di kantor penerbitan. Sudut mata menangkap sebundel kertas yang disatukan dengan hekter. Bukan buku, melainkan bundelan kertas yang masih membutuhkan editan. Tapi ceritanya, telah cukup jelas terbaca. Sebuah cerita lucu tentang seorang anak yang berdialog dengan orang tuanya tentang bagaimana keadaan seorang yang mabuk. Dari dalam mobil bapaknya menjelaskan sambil menunjuk ke jalan, "Bagi seorang pemabuk, dua orang polisi yag sedang berdiri di jalan itu akan terlihat empat orang."
Si anak heran, kemudian berkata, "Lho kok, itu polisi kan cuma ada satu orang Pak!"
Shalat pun menjadi agak telat karena harus mendamaikan dulu pikiran, melupakan humor yang baru saja saya baca. Oh ini ternyata bahan buku yang dulu Pak Isa rencanakan.
Dan sepotong kebersamaan dalam sebuah perjalanan itu kembali terulang. Waktu itu sepulang workshop kepenulisan, dari mobil pribadi yang menuju rumah, Pak Isa dan saya turun, pindah ke taksi untuk menuju kantor penerbitan di Jalan Margonda Depok. Sedang santai di mobil, Pak Isa bercerita, jika dia punya rencana menyusun motivasi dengan kemasan berbeda. Humor, dengan kemasan itu maka motivasi bisa dicerna lebih renyah.
Sekarang, buku itu telah ada. Dan sangat menyenangkan ketika saya diminta membaca ulang dan mengoreksi kekeliruan. Sebenarnya saya sedang mendapatkan tugas, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan tuntutan, tapi mendapatkan tugas membaca ulang buku itu, rasanya tidak sedang mendapatkan tugas. Serasa mendapatkan apa ya? Serasa diberi apa ya?
Ibaratnya diberi hiburan. Ibaratnya disuruh facebookan.
Dan ketika mulai membaca, dari lembar ke lembar, saya jadi seperti orang gila, ketawa-ketawa sendirian, Maka sengaja, membaca buku ini mencari tempat sunyi di belakang gudang di lantai empat.
Sambil mendapatkan pencerahan, membaca buku ini pun bisa sambil mendapatkan kegembiraan, sebab itulah tadi, buku ini menyajikan motivasi melalui sebuah keunikan sudut pandang. Sudut pandang humor.
Sudut pandang seorang anak
Sudut pandang seorang remaja
Sudut pandang seorang yang sedang bahagia
Sudut pandang seorang yang sedang berduka cita
Sudut pandang seorang ceria, pencinta humor,
Seorang humoris akan memandang banyak hal dari sisi humornya.
Yang terjadi pada buku humortivasi: begitulah.
Pertama kali melihat buku itu saat hendak shalat. Di antara tumbukan buku dan barisan meja di kantor penerbitan. Sudut mata menangkap sebundel kertas yang disatukan dengan hekter. Bukan buku, melainkan bundelan kertas yang masih membutuhkan editan. Tapi ceritanya, telah cukup jelas terbaca. Sebuah cerita lucu tentang seorang anak yang berdialog dengan orang tuanya tentang bagaimana keadaan seorang yang mabuk. Dari dalam mobil bapaknya menjelaskan sambil menunjuk ke jalan, "Bagi seorang pemabuk, dua orang polisi yag sedang berdiri di jalan itu akan terlihat empat orang."
Si anak heran, kemudian berkata, "Lho kok, itu polisi kan cuma ada satu orang Pak!"
Shalat pun menjadi agak telat karena harus mendamaikan dulu pikiran, melupakan humor yang baru saja saya baca. Oh ini ternyata bahan buku yang dulu Pak Isa rencanakan.
Dan sepotong kebersamaan dalam sebuah perjalanan itu kembali terulang. Waktu itu sepulang workshop kepenulisan, dari mobil pribadi yang menuju rumah, Pak Isa dan saya turun, pindah ke taksi untuk menuju kantor penerbitan di Jalan Margonda Depok. Sedang santai di mobil, Pak Isa bercerita, jika dia punya rencana menyusun motivasi dengan kemasan berbeda. Humor, dengan kemasan itu maka motivasi bisa dicerna lebih renyah.
Sekarang, buku itu telah ada. Dan sangat menyenangkan ketika saya diminta membaca ulang dan mengoreksi kekeliruan. Sebenarnya saya sedang mendapatkan tugas, mendapatkan pekerjaan, mendapatkan tuntutan, tapi mendapatkan tugas membaca ulang buku itu, rasanya tidak sedang mendapatkan tugas. Serasa mendapatkan apa ya? Serasa diberi apa ya?
Ibaratnya diberi hiburan. Ibaratnya disuruh facebookan.
Dan ketika mulai membaca, dari lembar ke lembar, saya jadi seperti orang gila, ketawa-ketawa sendirian, Maka sengaja, membaca buku ini mencari tempat sunyi di belakang gudang di lantai empat.
Sambil mendapatkan pencerahan, membaca buku ini pun bisa sambil mendapatkan kegembiraan, sebab itulah tadi, buku ini menyajikan motivasi melalui sebuah keunikan sudut pandang. Sudut pandang humor.
Monday, April 18, 2016
BUBUR KACANG RASA DENGKI
Betapa miskinnya saya sampai urusan uang lima ribu saja jadi masalah.
Ke kantor, sore hari rutin datang seorang ibu penjual gorengan. Harganya terbilang mahal, lima ribu empat, padahal penjual lain menjual lima ribu lima. Apalagi yang jualan pagi, tuh tukang gorengan roda pinggir jalan, ada yang menjual lima ribu enam. Bahkan ada yang sampai bisa lima ribu tujuh. Ini lima ribu empat. Saya jadi sungkan. Jika datang, saya suka cuek tak mau membeli.
Kecuali saat Pak Isa ada. Karena biasanya dia yang bayar, saya antusias mengambil. Bubur kacang, tahu isi, mendoan, comro, bawa dan makan dengan bahagia. Saat Pak Isa tidak ada, jajan pun malas. Meski terdengar teriakan dari lantai dua ada tukang gorengan, saya tetap diam. Lalu tertawa sendirian.
"Kenapa ketawa?" tanya seorang kecil, tapi sebenarnya dia karyawan juga, bagian desain.
"Tidak ada Pak Isa, turun pun sungkan." sebenarnya tak hanya membicarakan diri saya. Orang lain juga begitu, saat Pak Isa tak ada, semua pada diam.
Dan sore ini terdengar teriakan. "Bubur kacang, gorengan!!"
"Wah, jajan gratis nih." teriak otak. Cepat tangga. Kamu sudah tau alasannya kenapa. Pak Isa ada. Sampai di lantai dua, tampak si ibu bersama jualannya. Terhampar di teras. Orang-orang sudah mengambil dan makan, tinggal saya. Mengambil bubur kacang tapi pergi begitu saja rasanya malu, maka saya bertanya dulu pada si ibu tukang gorengan, "Ini dibayar oleh Bapak?" maksud saya, apakah ini akan dibayar Pak Isa?
"Tidak tahu." jawab si Ibu, membuat saya bingung. Akhirnya, kepada kerumunan karyawan yang sedang makan gorengan bersama saya bertanya, "Apakah itu dibayar oleh Bapak?"
"Ini sih dibayar sendiri." salah seorang menjawab,
"Oh"
Tidak mungkin saya batalkan beli bubur kacang. Memalukan. Gundah uang lima ribu saya keluarkan dari saku celana. Kusut sekali uang itu bercampur baur dengan uang lain, berbelit-belit, san tampak sangat rumit, serumit otak saya yang sering dirumitkan rasa pelit, seperti kini saat rasa pelit menggigit merasakan sayangnya jajan gorengan harus membayar sendiri.
Selembar lima ribu rupiah sampai di tangan si ibu. Bubur kacang di tangan, lalu dengan pura-pura gembira, saya ucapkan terima kasih dan segera naik ke atas. Menggigit ujung kantong bubur kacang, meminumnya sedikit, kemudian masukkan ke dalam gelas. Sesendok demi sesendok saya suapkan.
Sejenak kemudian, kepada teman kerta satu lantai bertanya, "Tadi kamu mengambil bubur kacang membayar?"
"Tidak. Kan biasanya dibayar Pak Isa."
"Waduh, saya mah bayar."
Perut jadi panas, bergolak, menjatuhkan badan ke kursi kerja, keluar umpatan, "Anjrit!!"
Orang-orang kaget mendengar saya bicara kasar.
"Waduh, saya kira orang lain bayar masing-masing. Si ibu sih, pas saya tanya, ini dibayar sama Bapak gak? Dia jawab, gak tahu. Ya saya bayar. Eh ternyata orang lain enggak."
Perut bergolak.
Manis legit bubur kacang jadi tak terasa. Sendok demi sendok angkat dan masukkan ke mulut, nafsu pendorong bukan lagi nafsu makan, tapi nafsu amarah. Gemas, kesal, kenapa harus bayar. Mengingat orang lain ngambil tak bayar, paru-paru mengkerut. Mendenguskan nafas panjang. Sebal.
Sedang begitu, Diyan, editor yang setiap hari pulang pergi kerja naik angkot muncul dari tangga. Mata segera menangkap tangannya. Dia bawa bubur kacang juga. Dan sebal semakin besar, saat tahu dia pun tidak bayar.
"Diyan... " curhat saya.
"Apa?"
"Bubur kacang saya rasanya beda."
"Beda kenapa?"
"Penuh rasa iri dan dengki. Orang lain tidak membayar, tapi saya bayar."
Orang-orang tertawa. Lebih tepatnya mentertawakan. Mentertawakan kemalangan saya. Itu yang terasa.
Haufff! Haufff!! Hauff!! bubur terus masuk mulut. Suap demi suap bukan nikmat yang terasa, tapi kesal.
Mengangkat gelas, terlihat bubur nyaris habis.
Memikirkan kelakukan sendiri barusan, terasa heran.
Kok bisa, hanya sebab uang lima ribu rupiah sampai harus hilang kebahagiaan. Hanya karena keluar uang lima ribu perak sampai uring-uringan.
Betapa miskinnya saya.
Teringat Pak Isa. Dia tak pernah takut melarat. Bayar jajan karyawan padahal omset sedang rendah tak masalah. Tidak takut kekurangan. Ada karyawan ulang tahun, dia suruh semua karyawan cari rumah makan porsi mahal, dan traktir makan. Hari berikutnya ulang tahun lagi karyawan lain, dia traktir lagi semua makan. Beberapa hari berikutnya ada anak selesai magang, dia rayakan juga dengan traktir makan. Dan satu kali traktir makan, uang yang keluar bukan lagi ratusan ribu, tapi lebih dari satu juta. Ngajak jalan-jalan ke mana, pasti akhirnya mentraktir makan. Dia kaya bukan sekedar harta, tapi juga perasaan. Pikiran dan hatinya tidak menjadi sempit karena mentraktir makan.
Lha saya sekarang, hanya keluar uang lima ribu rupiah, dan ini pun uang dari pemberian dari Pak Isa, dari gaji bulanan kerja, dan ini pun buat dimakan diri sendiri, sampai harus marah-marah.
Menyedihkan!
Ke kantor, sore hari rutin datang seorang ibu penjual gorengan. Harganya terbilang mahal, lima ribu empat, padahal penjual lain menjual lima ribu lima. Apalagi yang jualan pagi, tuh tukang gorengan roda pinggir jalan, ada yang menjual lima ribu enam. Bahkan ada yang sampai bisa lima ribu tujuh. Ini lima ribu empat. Saya jadi sungkan. Jika datang, saya suka cuek tak mau membeli.
Kecuali saat Pak Isa ada. Karena biasanya dia yang bayar, saya antusias mengambil. Bubur kacang, tahu isi, mendoan, comro, bawa dan makan dengan bahagia. Saat Pak Isa tidak ada, jajan pun malas. Meski terdengar teriakan dari lantai dua ada tukang gorengan, saya tetap diam. Lalu tertawa sendirian.
"Kenapa ketawa?" tanya seorang kecil, tapi sebenarnya dia karyawan juga, bagian desain.
"Tidak ada Pak Isa, turun pun sungkan." sebenarnya tak hanya membicarakan diri saya. Orang lain juga begitu, saat Pak Isa tak ada, semua pada diam.
Dan sore ini terdengar teriakan. "Bubur kacang, gorengan!!"
"Wah, jajan gratis nih." teriak otak. Cepat tangga. Kamu sudah tau alasannya kenapa. Pak Isa ada. Sampai di lantai dua, tampak si ibu bersama jualannya. Terhampar di teras. Orang-orang sudah mengambil dan makan, tinggal saya. Mengambil bubur kacang tapi pergi begitu saja rasanya malu, maka saya bertanya dulu pada si ibu tukang gorengan, "Ini dibayar oleh Bapak?" maksud saya, apakah ini akan dibayar Pak Isa?
"Tidak tahu." jawab si Ibu, membuat saya bingung. Akhirnya, kepada kerumunan karyawan yang sedang makan gorengan bersama saya bertanya, "Apakah itu dibayar oleh Bapak?"
"Ini sih dibayar sendiri." salah seorang menjawab,
"Oh"
Tidak mungkin saya batalkan beli bubur kacang. Memalukan. Gundah uang lima ribu saya keluarkan dari saku celana. Kusut sekali uang itu bercampur baur dengan uang lain, berbelit-belit, san tampak sangat rumit, serumit otak saya yang sering dirumitkan rasa pelit, seperti kini saat rasa pelit menggigit merasakan sayangnya jajan gorengan harus membayar sendiri.
Selembar lima ribu rupiah sampai di tangan si ibu. Bubur kacang di tangan, lalu dengan pura-pura gembira, saya ucapkan terima kasih dan segera naik ke atas. Menggigit ujung kantong bubur kacang, meminumnya sedikit, kemudian masukkan ke dalam gelas. Sesendok demi sesendok saya suapkan.
Sejenak kemudian, kepada teman kerta satu lantai bertanya, "Tadi kamu mengambil bubur kacang membayar?"
"Tidak. Kan biasanya dibayar Pak Isa."
"Waduh, saya mah bayar."
Perut jadi panas, bergolak, menjatuhkan badan ke kursi kerja, keluar umpatan, "Anjrit!!"
Orang-orang kaget mendengar saya bicara kasar.
"Waduh, saya kira orang lain bayar masing-masing. Si ibu sih, pas saya tanya, ini dibayar sama Bapak gak? Dia jawab, gak tahu. Ya saya bayar. Eh ternyata orang lain enggak."
Perut bergolak.
Manis legit bubur kacang jadi tak terasa. Sendok demi sendok angkat dan masukkan ke mulut, nafsu pendorong bukan lagi nafsu makan, tapi nafsu amarah. Gemas, kesal, kenapa harus bayar. Mengingat orang lain ngambil tak bayar, paru-paru mengkerut. Mendenguskan nafas panjang. Sebal.
Sedang begitu, Diyan, editor yang setiap hari pulang pergi kerja naik angkot muncul dari tangga. Mata segera menangkap tangannya. Dia bawa bubur kacang juga. Dan sebal semakin besar, saat tahu dia pun tidak bayar.
"Diyan... " curhat saya.
"Apa?"
"Bubur kacang saya rasanya beda."
"Beda kenapa?"
"Penuh rasa iri dan dengki. Orang lain tidak membayar, tapi saya bayar."
Orang-orang tertawa. Lebih tepatnya mentertawakan. Mentertawakan kemalangan saya. Itu yang terasa.
Haufff! Haufff!! Hauff!! bubur terus masuk mulut. Suap demi suap bukan nikmat yang terasa, tapi kesal.
Mengangkat gelas, terlihat bubur nyaris habis.
Memikirkan kelakukan sendiri barusan, terasa heran.
Kok bisa, hanya sebab uang lima ribu rupiah sampai harus hilang kebahagiaan. Hanya karena keluar uang lima ribu perak sampai uring-uringan.
Betapa miskinnya saya.
Teringat Pak Isa. Dia tak pernah takut melarat. Bayar jajan karyawan padahal omset sedang rendah tak masalah. Tidak takut kekurangan. Ada karyawan ulang tahun, dia suruh semua karyawan cari rumah makan porsi mahal, dan traktir makan. Hari berikutnya ulang tahun lagi karyawan lain, dia traktir lagi semua makan. Beberapa hari berikutnya ada anak selesai magang, dia rayakan juga dengan traktir makan. Dan satu kali traktir makan, uang yang keluar bukan lagi ratusan ribu, tapi lebih dari satu juta. Ngajak jalan-jalan ke mana, pasti akhirnya mentraktir makan. Dia kaya bukan sekedar harta, tapi juga perasaan. Pikiran dan hatinya tidak menjadi sempit karena mentraktir makan.
Lha saya sekarang, hanya keluar uang lima ribu rupiah, dan ini pun uang dari pemberian dari Pak Isa, dari gaji bulanan kerja, dan ini pun buat dimakan diri sendiri, sampai harus marah-marah.
Menyedihkan!
Saturday, April 16, 2016
PEMBACA TERBAIK TULISAN SAYA ADALAH ISTRI SAYA
Sepanjang menulis cerpen, saya copy paste dan bagikan kepada teman-teman watsapp untuk mendapatkan timbal balik. Misalnya saat menulis cerpen "Tukang Gorengan" saya tulis cerpen itu sambil copy paste dan bagian ke teman watsapp.
Cerpen itu menceritakan seorang penjual gorengan yang setiap sore datang ke kantor tapi saya tidak mau beli karena mahal, padahal di tempat lain, gorengan harganya lebih murah. Saya tulis cerpen itu sambil terus bagikan kepada teman, dan memang benar, mereka mau meluangkan waktu memberikan komentar.
"Tapi gorengan ibu ini lebih enak dan besar-besar" sanggah seorang teman membela si tukang gorengan.
"Gorengan pinggir jalan punya si mamang roda juga besar-besar tahunya."
"Siapa tahu tukang gorengan ini punya tanggung jawab anak yang harus dia sekolahkan." jawabnya lagi.
"I don't care." jawab saya ketus.
Teman watsaap lain cukup empati kepada yang saya sampaikan.
Dia nyatakan dirinya pun seringkali merasa sayang mengeluarkan uang ketika yang jualan mematok harga ya lebih mahal dari harga biasa, "Saya juga jika si Rafi jualan peyek suka diam, harganya mahal."
"Iya padahal biasanya harganya cuma dua ribuan." saya membenarkan.
Saya tidak tahu apakah ini bisa menjadi sebuah kerjasama dalam menulis cerita. Jika cara ini efektif, mungkin nanti bisa saya sampaikan kepada orang. Dengan menulis sedikit demi sedikit cerita, membagikannya via japri (jalus pribadi) ke teman-teman, Saya juga tidak tahu apakah mereka benar-benar mau membaca tulisan saya, atau hanya membukanya. Soanya saya sendiri saat orang lain membaca ceritanya, kecuali jika cerita itu benar-benar bagus, saya sungkan. Sebenarnya saya ini malas membaca. Maka saya kira, orang lain pun akan merasakan hal yang sama saat saya minta membaca tulisan saya.
Entahlah, tapi saat saya sampaikan kepada salah seorang teman watsapp, bahwa tulisan yang saya kirimkan padanya terserah mau dia baca atau tidak, dia menjawab, "Aku baca kok."
Dan ketika cerita selesai dia memberikan komentar, "Kereen."
Apakah "Keren" yang dia ucapkan benar-benar karena sudah membaca semuanya, atau sekedar komentar supaa saya merasa senang?
Tidak tahu
Ah, saya sering menulis itu kepada cerita orang yang saya temukan. Tidak saya baca semua, cukup sekilas, dan langsung memberikan komentar, kereen. Jangan-jangan teman ini pun melakukan hal yang sama kepada saya.
Saya hanya merasa tulisan saya benar-benar dibaca, jika yang membaca tulisan itu adalah istri saya. Dia katakan tulisan saya bahasanya nyaman tidak membosankankan, dan saya sangat percaya dia sangat menyukai tulisan saya, bahkan saat membaca dia bukan sekedar membaca sekilas, tapi benar-benar membaca, dengan penuh penghayatakan dengan penuh ketelitian.
Terutama kamu yang tidak menyukali tulisan saya pasti langsung mencibir, "Huh, tidak membosankan apanya? Bahasanya begitu-begitu saja, rendahan, tidak mengandung nilai sastra, dan hanya sampah. Jelas-jelas membosankan dan malas membacanya. Gak usah bangga ya!!"
Bukan, saya bukan sedang berbangga, karena sebenarnya istri mengatakan itu supaya saya lebih bersemangat lagi menulis lebih banyak supaya cepat dibukukan, terjual banyak lalu nanti dia kebagian uangnya. Dan memang benar istri saya jika membaca tulisan saya, dia membacanya dengan penuh penghayatan, pendalaman, dan ketelitian, tidak pernah dilewat-lewat. Nyaris semua tulisan saya di rumah, di buku-buku catatan, di sobekan-sobekan kertas, bahkan SMS di handphone dengan sangat tekun suka dia baca.
Dan sampai sini, kamu pasti sudah bisa menebak, sebenarnya itu dia lakukan bukan karena saking sukanya pada tulisan saya, bukan karena tulisan saya bagus, bukan karena dia membaca dengan penuh cinta dan sayanga, aka tetapi karena dia membaca tulisan saya sambil melakukan penyelidikan, jangan-jangan dalam tulisan itu terkandung sebuah kalimat buat seseorang yang saya sembunyikan darinya."
Cerpen itu menceritakan seorang penjual gorengan yang setiap sore datang ke kantor tapi saya tidak mau beli karena mahal, padahal di tempat lain, gorengan harganya lebih murah. Saya tulis cerpen itu sambil terus bagikan kepada teman, dan memang benar, mereka mau meluangkan waktu memberikan komentar.
"Tapi gorengan ibu ini lebih enak dan besar-besar" sanggah seorang teman membela si tukang gorengan.
"Gorengan pinggir jalan punya si mamang roda juga besar-besar tahunya."
"Siapa tahu tukang gorengan ini punya tanggung jawab anak yang harus dia sekolahkan." jawabnya lagi.
"I don't care." jawab saya ketus.
Teman watsaap lain cukup empati kepada yang saya sampaikan.
Dia nyatakan dirinya pun seringkali merasa sayang mengeluarkan uang ketika yang jualan mematok harga ya lebih mahal dari harga biasa, "Saya juga jika si Rafi jualan peyek suka diam, harganya mahal."
"Iya padahal biasanya harganya cuma dua ribuan." saya membenarkan.
Saya tidak tahu apakah ini bisa menjadi sebuah kerjasama dalam menulis cerita. Jika cara ini efektif, mungkin nanti bisa saya sampaikan kepada orang. Dengan menulis sedikit demi sedikit cerita, membagikannya via japri (jalus pribadi) ke teman-teman, Saya juga tidak tahu apakah mereka benar-benar mau membaca tulisan saya, atau hanya membukanya. Soanya saya sendiri saat orang lain membaca ceritanya, kecuali jika cerita itu benar-benar bagus, saya sungkan. Sebenarnya saya ini malas membaca. Maka saya kira, orang lain pun akan merasakan hal yang sama saat saya minta membaca tulisan saya.
Entahlah, tapi saat saya sampaikan kepada salah seorang teman watsapp, bahwa tulisan yang saya kirimkan padanya terserah mau dia baca atau tidak, dia menjawab, "Aku baca kok."
Dan ketika cerita selesai dia memberikan komentar, "Kereen."
Apakah "Keren" yang dia ucapkan benar-benar karena sudah membaca semuanya, atau sekedar komentar supaa saya merasa senang?
Tidak tahu
Ah, saya sering menulis itu kepada cerita orang yang saya temukan. Tidak saya baca semua, cukup sekilas, dan langsung memberikan komentar, kereen. Jangan-jangan teman ini pun melakukan hal yang sama kepada saya.
Saya hanya merasa tulisan saya benar-benar dibaca, jika yang membaca tulisan itu adalah istri saya. Dia katakan tulisan saya bahasanya nyaman tidak membosankankan, dan saya sangat percaya dia sangat menyukai tulisan saya, bahkan saat membaca dia bukan sekedar membaca sekilas, tapi benar-benar membaca, dengan penuh penghayatakan dengan penuh ketelitian.
Terutama kamu yang tidak menyukali tulisan saya pasti langsung mencibir, "Huh, tidak membosankan apanya? Bahasanya begitu-begitu saja, rendahan, tidak mengandung nilai sastra, dan hanya sampah. Jelas-jelas membosankan dan malas membacanya. Gak usah bangga ya!!"
Bukan, saya bukan sedang berbangga, karena sebenarnya istri mengatakan itu supaya saya lebih bersemangat lagi menulis lebih banyak supaya cepat dibukukan, terjual banyak lalu nanti dia kebagian uangnya. Dan memang benar istri saya jika membaca tulisan saya, dia membacanya dengan penuh penghayatan, pendalaman, dan ketelitian, tidak pernah dilewat-lewat. Nyaris semua tulisan saya di rumah, di buku-buku catatan, di sobekan-sobekan kertas, bahkan SMS di handphone dengan sangat tekun suka dia baca.
Dan sampai sini, kamu pasti sudah bisa menebak, sebenarnya itu dia lakukan bukan karena saking sukanya pada tulisan saya, bukan karena tulisan saya bagus, bukan karena dia membaca dengan penuh cinta dan sayanga, aka tetapi karena dia membaca tulisan saya sambil melakukan penyelidikan, jangan-jangan dalam tulisan itu terkandung sebuah kalimat buat seseorang yang saya sembunyikan darinya."
Thursday, April 14, 2016
BUKU CATATAN HATI SEORANG GADIS
Food Truck di depan Depok Mall. Beberapa mobil terparkir membuka gerai makanan. Makanan khas dari berbagai negara. Makanan-makanan dengan nama yang bagi saya asing baru kali itu mendengar. Sore itu Pak Isa mengajak ramai-ramai makan di sana, bebas memilih. Dia yang bayar.
Mengelilingi meja segi empat, saat santai itu dia manfaatkan membahas lembaran-lembaran kisah nyata untuk bahan penyusunan sebuah buku remaja. Satu persatu lembaran itu dia baca dan periksa, kemudian kritik bagain-bagian pengganggunya dan menyarankan supaya dipangkas. Cerita kurang menarik Pak Isa sarankan supaya jangan sampai dimuat. Jika pun dimuat, cerita itu harus dipermak habis, sebisa mungkin supaya menarik hati bagi pembaca.
Tak menyangka, buku itu terlahir cepat. Hanya beberapa bulan kemudian, terbitlah. Catatan Hati Seorang Gadis. Setelah selesai cetak, dari ribuan buku yang datang saya ambil satu, bungkus rapi dengan plastik dan baca. Memang hanya kisah nyata pilihan yang dimuat. Kisah sejati gadis-gadis dengan berbagai warna dan latar belakang. Satu di antaranya kisah dari seorang gadis yang sudah meninggal dunia akibat jalan hitam yang dilaluinya.
Diawali kisah dari penulis bernama Embun Sabana. Bukan kisah dia, melainkan menceritakan kisah orang. Tentu saja dengan nama samaran. Kisah seorang gadis yang demi kosmetik, pakaian dan penampilan rela dia jalani pergaulan bebas, sampai harus kehilangan kegadisan. Tragis, tapi bagi gadis lain yang membaca kisah ini bisa menjadi pelajaran besar. Jangan main-main dengan pergaulan. Dalam pergaulan salah, menjaga diri sangatlah susah.
Bagi seorang gadis ini berarti pelajaran supaya berhati-hati memilih teman dan lingkungan, bagi orang tua, berarti harus ekstra ketat mengawasi pergaulan anaknya. Tak mengapa si anak gadis sedikit merasa terkekang, karena keselamatan dia berarti keselamatan semuanya. Juga sebaliknya, jika sudah terjerumus, bukan hanya si gadis yang menanggung malu, melainkan orang tua. Tak sedikit orang tua sampai sakit akibat memikirkan kebandelan anak.
Kisah berikutnya tak kalah seru. "Bunga Yang Layu" judul cerita itu, karya Diana W, mengisahkan seorang gadis yang dalam usia baru menginjak 18 sudah 3 kali menjalani pernikahan. Namun uniknya, setelah tiga pernikahan itu dia mengaku dirinya masih perawan. Pernikahan pertama atas perjodohan ibunya dengan seorang kakek usia 60-an, dan si gadis meski saat akad bisa menjalani dengan hati tenang, malam hari dia ketakutan. Sebulan begitu terus sampai akhirnya si kakek menceraikannya. Pernikahan kedua...
Ah sudah ah. Haha, bukan begitu sih ceritanya. "Bunga Yang Layu" bukan menceritakan gadis usia 18 sudah 3 kali menikah. Bukan, itu hanya rekaan saya saja. Jika penasaran, baca sendiri saja bukunya. Semoga siapa pun membaca buku ini, mendapatkan banyak pelajaran berharga. Sehingga kehidupan yang dilaluinya, terus berusaha dekat dengan Allah. Sehingga setiap hari adalah perayaan, setiap hari adalah kesenangan, setiap hari adalah kebahagiaan, setiap hal adalah kejutan menyenangkan, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam surat Al-Jumu'ah, "Ingatlah Alla banyak-banyak agar kamu mendapatkan keberuntungan."
Mengelilingi meja segi empat, saat santai itu dia manfaatkan membahas lembaran-lembaran kisah nyata untuk bahan penyusunan sebuah buku remaja. Satu persatu lembaran itu dia baca dan periksa, kemudian kritik bagain-bagian pengganggunya dan menyarankan supaya dipangkas. Cerita kurang menarik Pak Isa sarankan supaya jangan sampai dimuat. Jika pun dimuat, cerita itu harus dipermak habis, sebisa mungkin supaya menarik hati bagi pembaca.
Tak menyangka, buku itu terlahir cepat. Hanya beberapa bulan kemudian, terbitlah. Catatan Hati Seorang Gadis. Setelah selesai cetak, dari ribuan buku yang datang saya ambil satu, bungkus rapi dengan plastik dan baca. Memang hanya kisah nyata pilihan yang dimuat. Kisah sejati gadis-gadis dengan berbagai warna dan latar belakang. Satu di antaranya kisah dari seorang gadis yang sudah meninggal dunia akibat jalan hitam yang dilaluinya.
Diawali kisah dari penulis bernama Embun Sabana. Bukan kisah dia, melainkan menceritakan kisah orang. Tentu saja dengan nama samaran. Kisah seorang gadis yang demi kosmetik, pakaian dan penampilan rela dia jalani pergaulan bebas, sampai harus kehilangan kegadisan. Tragis, tapi bagi gadis lain yang membaca kisah ini bisa menjadi pelajaran besar. Jangan main-main dengan pergaulan. Dalam pergaulan salah, menjaga diri sangatlah susah.
Bagi seorang gadis ini berarti pelajaran supaya berhati-hati memilih teman dan lingkungan, bagi orang tua, berarti harus ekstra ketat mengawasi pergaulan anaknya. Tak mengapa si anak gadis sedikit merasa terkekang, karena keselamatan dia berarti keselamatan semuanya. Juga sebaliknya, jika sudah terjerumus, bukan hanya si gadis yang menanggung malu, melainkan orang tua. Tak sedikit orang tua sampai sakit akibat memikirkan kebandelan anak.
Kisah berikutnya tak kalah seru. "Bunga Yang Layu" judul cerita itu, karya Diana W, mengisahkan seorang gadis yang dalam usia baru menginjak 18 sudah 3 kali menjalani pernikahan. Namun uniknya, setelah tiga pernikahan itu dia mengaku dirinya masih perawan. Pernikahan pertama atas perjodohan ibunya dengan seorang kakek usia 60-an, dan si gadis meski saat akad bisa menjalani dengan hati tenang, malam hari dia ketakutan. Sebulan begitu terus sampai akhirnya si kakek menceraikannya. Pernikahan kedua...
Ah sudah ah. Haha, bukan begitu sih ceritanya. "Bunga Yang Layu" bukan menceritakan gadis usia 18 sudah 3 kali menikah. Bukan, itu hanya rekaan saya saja. Jika penasaran, baca sendiri saja bukunya. Semoga siapa pun membaca buku ini, mendapatkan banyak pelajaran berharga. Sehingga kehidupan yang dilaluinya, terus berusaha dekat dengan Allah. Sehingga setiap hari adalah perayaan, setiap hari adalah kesenangan, setiap hari adalah kebahagiaan, setiap hal adalah kejutan menyenangkan, sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam surat Al-Jumu'ah, "Ingatlah Alla banyak-banyak agar kamu mendapatkan keberuntungan."
Saturday, April 9, 2016
KAPAN
Tinggallah saya mematung sendirian, menghadapi gunungan tanah merah seraya bergumam, "Kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah jauh-jauh saya datang, kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah saya menghadiri pemakaman, kamu bukan siapa-siapa tapi saya menaburkan kembang, bukan siapa-siapa, saya datang sekedar ingin memperlihatkan padamu benda ini, guntingan kertas koran... "
* * *
"Ayolah Dan, coba kirimkan cerpenmu ke media. Pelajari cerpen media yang sudah dimuat, hitung berapa kata, berapa karakternya, buat lo ."
"Terima kasih motivasinya Bu Editor!"
"Gue bosan denger lo ngomong terima kasih. Dari dulu, tiap kali gue ngomong, terima kasih lagi, terima kasih lagi."
"Enggak, saya seris berterima kasih. Sampai-sampai saya berpikir begini, kalaulah benar misalnya cerpen saya sampai dimuat dimedia, maka... "
"Lo mau traktir makan?"
"Bukan, maka orang pertama yang paling saya ingat buat beri hadiah adalah kamu."
"Cie, gue dikamu-kamuin. Ayolah Dan!"
Saya minderan mengirim tulisan ke media. Beberapa minggu lalu pernah mengirim ke sebuah harian nasional. Sebatas mengirim, tanpa semangat dimuat. Sebatas ingin bangga pernah mengirim ke media. Supaya saat ngobrol dengan orang tentang mengirim tulisan ke koran, bisa berkata, "Saya juga pernah."
Rasa percaya diri yang parah.
Seakan Bu Editor mengerti keminderan saya, dia berkata,
"Lo harusnya percaya diri. Baru satu kali ngirim cerpen ke Mbak Asma, dia langsung suka, sampai dia menangis dibuatnya."
"Ah, saya kira itu mah Mbak Asma saja pandai menghargai orang. Itu mah dia aja ingin memberi semangat."
"Enggak! Mbak Asma itu jujur. Kalau dia gak suka ya nggak suka."
Hanya bisa menyandarkan badan ke kursi kemudian merentangkan tangan supaya dada lebih lapang. Sempit sekali rasanya, disempitkan keminderan akut.
"Daya tulis saya sebenarnya lemah. Orang lain sangat bisa. Mereka menulis merespon isu-isu sosial, kejadian hangat sekarang mereka susun jadi tulisan. Hangat masalah anggota DPR ingin membangun perpustakaan, mereka susun jadi tulisan. Ramai penyanyi dangdut dipatuk ular jadi opini di koran. Heboh isu gay lesbian jadi artikel. jadi cerpen, jadi novel, jadi puisi. Maka tulisan mereka berkualitas, memasyarakat dan hangat. Lha tulisan saya? Tidak berbobot, hampa, hanya menceritakan masalah ecek-ecek personal yang kurang bernilai. Sementara media menerbitkan informasi hangat seputar kejadian terbaru sekarang, saya malah banyak menulis masalah pribadi, jadi mana bisa dimuat." sebatas dalam hati, gumaman panjang ini tidak saya sampaikan. Bu Editor sudah sangat bosan mendengar alasan.
Bu Editor memang luar biasa. Dalam mendukung semangat dia paling bisa. Perkara memotivasi beliau sangat pandai. Dan sebenarnya, saya ingin berterima kasih, sungguh sangat ingin berterima kasih atas support yang diberikannya. Bukan lagi dengan ucapan, sebab terbukti tadi, terima kasih sebatas ucapan sangat tidak berguna. Ingin dalam bentuk perbuatan, tindakan dan kesuksesan. Dengan cerpen yang benar-benar dimuat media, terpampang di koran nasional, pada sebuah halaman besar dengan judul besar dilengkapi ilustrasi gambar, saya beli dari loper koran lalu perlihatkan ke depan batang hidungnya. Tapi entah kapan.
Menit melangkah, hari berjalan, tanggal-tanggal bertanggalan bertumpuk menjadi bulan. Bulan sabit, bulan sepasi, bulan setengah, bulan purnama, berlewatan, bersliweran, hinga tahun bertindihan, namun apa yang dicipta-cipta belum juga tercipta, apa yang diangan-angan belum juga di tangan. Seharusnya tangan ini telah memegang selembar koran berisi sebuah cerpen yang dimuat, akan tetapi tidak, dan sebagaimana kulit saya semakin menua, kulit Bu Editor pun sama. Malam dan siang terus datang sambil dengan kejam merusak usia dan kemudaan. Uban terus bertambah, tulang dan sendi makin melemah. Tapi seperti Bu Editor masih tetap dengan keeditorannya, saya sendiri masih sebagai penyapu ruangan tukang facebookan. Seharusnya sudah ratusan cerpen dimuat koran, tapi keminderan terus menahan, membuat saya statis, diam, beku keras seperti batu hasil kutukan ibu Malin Kundang. Saya masih dengan adat lama, kebiasaan lama, hanya mengirimkan tulisan kepada social media, ada like satu orang, sudah puas, setelah itu nulis lagi hal-hal sepele, ringan, benar-benar tidak ada kemajuan.
Kapan? Lalu kapan saya benar-benar bisa berterima kasih atas motivasinya? Motivasi yang bukan sekedar ucapan, tapi terima kasih yang nyata, karya nyata, kesuksesan nyata. Kapan?
Sampai kapan saya akan terus menunda, apa sampai nanti waktu kehabisan? Oh jangan-jangan sampai ketika berdiri di suatu tempat kemudian setelah semua orang pulang, tinggalah saya mematung sendirian, menghadapi gunungan tanah merah seraya bergumam, "kamu bukan siapa-siapa, tapi lihatlah jauh-jauh saya datang, kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah saya menghadiri pemakaman, kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah saya menaburkan bunga, bukan siapa-siapa, karena saya datang hanya ingin memperlihatkan padamu guntingan kertas koran ini, lihatlah dari saku jaket saya ambil, masih terlipat, baik lipatannya saya buka, lihatlah, cerpen saya... bagaimana menurutmu?"
Tapi oh tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! Jangan! Itu dilarang!
* * *
"Ayolah Dan, coba kirimkan cerpenmu ke media. Pelajari cerpen media yang sudah dimuat, hitung berapa kata, berapa karakternya, buat lo ."
"Terima kasih motivasinya Bu Editor!"
"Gue bosan denger lo ngomong terima kasih. Dari dulu, tiap kali gue ngomong, terima kasih lagi, terima kasih lagi."
"Enggak, saya seris berterima kasih. Sampai-sampai saya berpikir begini, kalaulah benar misalnya cerpen saya sampai dimuat dimedia, maka... "
"Lo mau traktir makan?"
"Bukan, maka orang pertama yang paling saya ingat buat beri hadiah adalah kamu."
"Cie, gue dikamu-kamuin. Ayolah Dan!"
Saya minderan mengirim tulisan ke media. Beberapa minggu lalu pernah mengirim ke sebuah harian nasional. Sebatas mengirim, tanpa semangat dimuat. Sebatas ingin bangga pernah mengirim ke media. Supaya saat ngobrol dengan orang tentang mengirim tulisan ke koran, bisa berkata, "Saya juga pernah."
Rasa percaya diri yang parah.
Seakan Bu Editor mengerti keminderan saya, dia berkata,
"Lo harusnya percaya diri. Baru satu kali ngirim cerpen ke Mbak Asma, dia langsung suka, sampai dia menangis dibuatnya."
"Ah, saya kira itu mah Mbak Asma saja pandai menghargai orang. Itu mah dia aja ingin memberi semangat."
"Enggak! Mbak Asma itu jujur. Kalau dia gak suka ya nggak suka."
Hanya bisa menyandarkan badan ke kursi kemudian merentangkan tangan supaya dada lebih lapang. Sempit sekali rasanya, disempitkan keminderan akut.
"Daya tulis saya sebenarnya lemah. Orang lain sangat bisa. Mereka menulis merespon isu-isu sosial, kejadian hangat sekarang mereka susun jadi tulisan. Hangat masalah anggota DPR ingin membangun perpustakaan, mereka susun jadi tulisan. Ramai penyanyi dangdut dipatuk ular jadi opini di koran. Heboh isu gay lesbian jadi artikel. jadi cerpen, jadi novel, jadi puisi. Maka tulisan mereka berkualitas, memasyarakat dan hangat. Lha tulisan saya? Tidak berbobot, hampa, hanya menceritakan masalah ecek-ecek personal yang kurang bernilai. Sementara media menerbitkan informasi hangat seputar kejadian terbaru sekarang, saya malah banyak menulis masalah pribadi, jadi mana bisa dimuat." sebatas dalam hati, gumaman panjang ini tidak saya sampaikan. Bu Editor sudah sangat bosan mendengar alasan.
Bu Editor memang luar biasa. Dalam mendukung semangat dia paling bisa. Perkara memotivasi beliau sangat pandai. Dan sebenarnya, saya ingin berterima kasih, sungguh sangat ingin berterima kasih atas support yang diberikannya. Bukan lagi dengan ucapan, sebab terbukti tadi, terima kasih sebatas ucapan sangat tidak berguna. Ingin dalam bentuk perbuatan, tindakan dan kesuksesan. Dengan cerpen yang benar-benar dimuat media, terpampang di koran nasional, pada sebuah halaman besar dengan judul besar dilengkapi ilustrasi gambar, saya beli dari loper koran lalu perlihatkan ke depan batang hidungnya. Tapi entah kapan.
Menit melangkah, hari berjalan, tanggal-tanggal bertanggalan bertumpuk menjadi bulan. Bulan sabit, bulan sepasi, bulan setengah, bulan purnama, berlewatan, bersliweran, hinga tahun bertindihan, namun apa yang dicipta-cipta belum juga tercipta, apa yang diangan-angan belum juga di tangan. Seharusnya tangan ini telah memegang selembar koran berisi sebuah cerpen yang dimuat, akan tetapi tidak, dan sebagaimana kulit saya semakin menua, kulit Bu Editor pun sama. Malam dan siang terus datang sambil dengan kejam merusak usia dan kemudaan. Uban terus bertambah, tulang dan sendi makin melemah. Tapi seperti Bu Editor masih tetap dengan keeditorannya, saya sendiri masih sebagai penyapu ruangan tukang facebookan. Seharusnya sudah ratusan cerpen dimuat koran, tapi keminderan terus menahan, membuat saya statis, diam, beku keras seperti batu hasil kutukan ibu Malin Kundang. Saya masih dengan adat lama, kebiasaan lama, hanya mengirimkan tulisan kepada social media, ada like satu orang, sudah puas, setelah itu nulis lagi hal-hal sepele, ringan, benar-benar tidak ada kemajuan.
Kapan? Lalu kapan saya benar-benar bisa berterima kasih atas motivasinya? Motivasi yang bukan sekedar ucapan, tapi terima kasih yang nyata, karya nyata, kesuksesan nyata. Kapan?
Sampai kapan saya akan terus menunda, apa sampai nanti waktu kehabisan? Oh jangan-jangan sampai ketika berdiri di suatu tempat kemudian setelah semua orang pulang, tinggalah saya mematung sendirian, menghadapi gunungan tanah merah seraya bergumam, "kamu bukan siapa-siapa, tapi lihatlah jauh-jauh saya datang, kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah saya menghadiri pemakaman, kamu bukan siapa-siapa tapi lihatlah saya menaburkan bunga, bukan siapa-siapa, karena saya datang hanya ingin memperlihatkan padamu guntingan kertas koran ini, lihatlah dari saku jaket saya ambil, masih terlipat, baik lipatannya saya buka, lihatlah, cerpen saya... bagaimana menurutmu?"
Tapi oh tidak! Tidak mungkin! Tidak boleh! Jangan! Itu dilarang!
Thursday, April 7, 2016
Ditemani Wangi Bunga Sedap Malam
Pulang kampung tanpa singgah ke rumahnya terasa kurang. Jika bertemu, ada saja ilmu baru saya dapat. Sekalipun sepele, sekalipun sederhana, entah kenapa, mungkin sebab dia ungkapkan penuh ketulusan, di hati ini sangat membekas.
Sebangun rumah kayu di tepian sawah, profil rumahnya. Bertiang kayu, berdindig bilik bambu beratap genting bakaran tanah. Beranda depan cukup untuk satu set kursi rotan, tempatnya menjamu bila tamu datang antara lain saya. Memilih rumah semacam ini atas cintanya pada kesederhanaan.
Katakanlah kekayaan kampung, orang tua ini sangat berharga. Bagi masyarakat dia seorang ustadz, bagi saya motivator hebat, pencinta sastra dan seniman kata-kata. Pikirannya terbuka, dan tak sekadar buku agama, bacaannya luas. Senang memotivasi orang, dan khusus untuk impian saya menjadi penulis, dia punya banyak nasihat berharga. Cara dia bicara, menunjukkan seorang sangat ahli tata bahasa. Dulu di pesantren, dia memang mempelajari tata bahasa, nahwu sharaf dan berbagai cabang ilmu Bahasa Arab seperti mantiq, istiarah, bilaghah, dan ilmul bayan. Tapi seni bahasa yang dia pelajari lebih dia amalkan ke dalam seni bicara: ceramah dalam pengajian-pengajian. Sudah sangat terbiasa dia menggunakan ibarat-ibarat, metafora, kisah-kisah, dengan sajian-sajian bahasa ringan namun mendalam. Untuk menjelaskan masalah rumit, dia sangat senang mengambil amsal dari hal-hal sederhana keseharian, supaya lebih mudah dipahami pendengar awam. Andai saja bisa, ingin saya catata semua detail kata-katanya. Namun susah. Jadi maafkan saya bila catatan ini tak sanggup merekam keluarbiasaan itu.
"Sudah lama ingin jadi penulis, sampai sekarang belum juga menghasilkan karya. Itu kenapa?" tanya saya saat sepulang berjamaan Shalat Isya mampir. Betul, beranda ini sangat nyaman. Angin meniup lembut keringat di leher, membawa wangi bunga sedap malam.
"Siapa?"
"Saya."
"Yang kamu rasakan, kenapa?"
"Apa ya?"
"Tanya diri kamu sendiri!"
"Kurang fokus, mungkin."
"Kalau begitu, fokuslah!"
"Bapak punya nasihat?" pertanyaan saya berjawab kesunyian. Dia terdiam. Menarik nafas, menghirup wangi angin dari bunga sedap malam. Tadi saya lihat di sudut halaman, bunga putih jelita itu memang sedang mekar.
"Kerahkan segala sumberdaya untuk mencapai pilihan yang sudah kamu tetapkan. Terserah kamu pilih mau jadi apa, untuk itu harusnya sumber daya kamu kerahkan. Kamu putuskan diri jadi pelukis, maka sumber daya, pikiran, tenaga, hanya buat menghasilkan lukisan. Kamu putuskan mau jadi penulis, buat menulis pula segala hal kamu fokuskan. Kamu ngobrol, kamu membaca, kamu berjalan, semuanya untuk menghasilkan tulisan. Masih belum spesifik, menjadi penulis itu luas, terserah kamu mau jadi penulis jenis apa. Penyair, cerpenis, novelis. Jika kau putuskan diri menjadi penyair, maka kepada syair itulah segala hal harus kamu fokuskan, jika keputusanmu menjadi cerpenis, kepada cerpen pula segala hal kamu fokuskan. Begitulah memutuskan jadi novelis, maka novel pula yang setiap saat harus kamu garap. Kamu tetapkan sebuah judul, dan mulailah garap sampai selesai. Berjalan ke mana saja, membaca apa saja, menulis di mana saja, kapan saja, untuk novel itu pikiran kamu fokuskan."
"Saya jadi teringat Arswendo."
"Bagaimana dia?"
"Menulis dalam bukunya "Mengarang Novel Itu Gampang."
"Bagaimana katanya?"
"Gunakan semua waktu yang ada untuk mengingatkan bahwa kamu ingin menjadi novelis. Kamu akan menjadi pengarang, siapkan itu dalam hatimu. Jadikanlah itu sebagai kesadaranmu."
"Ya, dia betul."
"Boleh intermezzo?"
"Intermezo apa?"
"Kalau saya memutuskan diri menjadi pendengki?"
"Ya buat kedengakian itu juga segala sumber daya kamu kerahkan. Pikiran kamu, tulisan kamu, cerpen, postingan-postingan social media kamu gunakan semuanya buat mendukung kedengkian yang kamu rasakan. Kamu pikirkan pilihan kata-kata yang menunjang kedengkian itu, pilihlah sebisa mungkin kata-kata paling menyakitkan."
"Apakah itu saran ustadz?"
"Jika keputusan hidupmu begitu, ya lakukanlah. Jangan tanggung-tanggung, jadilah pendengki sepenuhnya."
"Itu trik mencapai kesuksesan juga?"
"Boleh jadi, paling tidak, kamu akan sukses mencapai apa yang Rasulullah Saw. janjikan."
"Apa?"
"Musnahnya kebaikan sebagaimana musnahnya kayu bakar dimakan api. Kamu lakukan banyak kebaikan, tapi kebaikan itu tidak menjadikanmu lebih mulia. Kamu hafal banyak sekali pengetahuan, tapi pengetahuan itu tidak menjadikan keimananmu bertambah."
"Itu sih bukan janji, itu ancaman."
"Kamu mau?"
"Tentu saja tidak."
"Tapi di atas segala keputusan, keputusan terbaik adalah menjadi hamba Allah. Sehingga hanya untuk menghamba kepada Allah saja semuanya difokuskan. Tulisanmu, bicaramu, membacamu, berjalanmu, memegangmu, bangunmu, tidurmu, semuanya hanya untuk satu hal."
"Kamu mau?"
"Tentu saja tidak."
"Tapi di atas segala keputusan, keputusan terbaik adalah menjadi hamba Allah. Sehingga hanya untuk menghamba kepada Allah saja semuanya difokuskan. Tulisanmu, bicaramu, membacamu, berjalanmu, memegangmu, bangunmu, tidurmu, semuanya hanya untuk satu hal."
Saya mengangguk-ngangguk.
"Oh ya,"dia meneruskan "untuk fokus menulis, sekarang sudah banyak kemudahan. Kamu punya smartphone bukan?"
"Ya, ada."
"Sudah instal program pengolah kata?"
"Ya sudah."
"Nah, itu fasilitas luar biasa. Ke mana saja, di mana saja, di kendaraan, di bus, di kereta, di tepi jalan, di pinggir sungai, di mana saja inspirasi datang ke dalam kepala, bisa langsung kamu tuliskan. Jadi saat kamu ingin menghasilkan sebuah novel, misalnya, kamu bisa menghasilkannya lebih cepat."
Ya memang perbincangan ini tidak mengarah. Tapi bagi saya, luar biasa berharga.
======
(Fiksi)
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju k...
-
Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan...