Sunday, April 30, 2017

LEBIH BAIK MENJADI ORANG BODOH

Saya menulis ini sambil makan kopimix. Iya makan, tidak salah tuls, kopi ini saya makan tidak saya minum, alias membuka plastiknya dan ditenggak langsung ke mulut sambil megangkat muka dan hampir tersedak.

Oh tadi saya membuka blog sebenarnya mau menulis ini, masalah Raditya Dika.

Kenapa Raditya Dika?

Sebenarnya ini hanya pendalaman saja sih. Ketika saya suka dengan karya seseorang, maka saya suka penasaran dengan karya lainnya bahkan sampai kepada pribadi orang itu.

Dulu saya suka dengan La Tahzan, karya Aidh Al Qarni, maka apa pun tentang dia ingin saya baca. Karya apa pun keluar daari dia saya suka penasaran, selalu berusaha membeli dan membacanya. Ketika suka dengan Aa Gym, kaset dia, buku dia, saya beli dan baca. Ada acaranya di TV berusaha saya tonton. Dan sekarang, sedang tertarik dengan Raditya Dika, apa pun dari dia, buku, video, film, bahkan video keseharian dia yang menurutnya sendiri gak penting, saya senang sekali menontonnnya, sambil bertanya-tanya, kenapa saya nyaman ya nonton dia, dan kenapa orang lain pun banyak yang suka kepadanya.

Itulah latar belakang saya menulis tentang dia.

======

Aduh kalimat awalnya jadi lupa, padahal tadi sudah menemukan kalimat bagus. Apa ya? Benar-benar lupa. 

Pelajaran: kalau menemukan hal luar biasa ingin ditulis, langsung saja tulis. Menundanya dan malah menulis hal lain, ide penting utama malah bisa hilang.

Begini, saya awali saja:

Saya temukan orang lain tidak seperti dia. Saat mendapatkan komentator menyerang, yang lain berusaha membela diri. Berusaha membuat dirinyah kelihatan benar dan menyalahkan komentator. Seperti kemarin, saya melihat yang posting video dia baru saja mempunyai rumah, kemudian banyak komentator bilang dia itu pamer, norak, sombong, dia membela diri dengan mengatakan komentator itu HANYA BISA MELIHAT NEGATIFNYA TIDAK BISA MELIHAT SISI POSITIFNYA.

Kemudia saya bayangkan Raditya Dika jika mendapatkan komentar seperti itu, apa yang dia lakukan?

Karena sibuk dengan berkarya, dia tidak sempat menjawab. Dia biarkan saja komentar itu datang, tidak memblokirnya tidak punya menyerangnya, dia biarkan dia ada, dia memberi ruang, dan itu membuat orang, siapa pun itu, tetap betah mengunjungi videonya dengan tetap merasa nyaman menjadi pelanggan.

Beda dengan saya yang dulu pernah membuat grup facebook, Fiksimini Bahasa Indonesia. Pertama kali dibuka grup itu ramai. Orang banyak tertarik datang buat belajar dan membangun sillaturrahmi. Tapi kemudian, ketika datang orang menyerang saya dengan kata-katanya yang tidak menyenangkan melalui sindiran, saya menyerang balik dia dengan kata-kata menyakitkan, dan ini membuat suasana jadi panas yang akibatnya, bukan hanya orang itu yang pergi meninggalkan grup, tapi member lainnya pun ikut merasa tidak nyaman.

Bagaimana akhirnya grup itu sekarang?

Sepi

Dan itu saya lakukan di grup lainnya yang saya buat. Saya berusaha menjadi orang yang tidak bisa dibantah, anti kritik, dan setiap kali orang mendebat, saya menyerang dia balik. Akibatnya bagaimana? Di grup yang saya buat, saya sendiri tidak punya harga diri, hanya sedikit orang yang respek, hanya beberapa orang saja yang akrab. Mereka hanya akrab dengan member lain dan sepertinya sungkan ketika harus berinteraksi dengan saya.

Sungguh ini pelajaran berharga tentang menyedihkannya nasib orang yang MENJADI ORANG YANG MAU TERUS DIBENARKAN DAN TIDAK MAU  DISALAHKAN.

Itulah yang semakin meyakinkan saya bahwa bergaul dengan orang lain lebih baik menjadi orang bodoh, yang tidak merasa diri memegang kebenaran yang paling benar, yang tidak mudah menyalahkan orang, menjadi orang yang bisa menerima nasihat, bisa menerima kritik, dan menerima siapa saja untuk berdekatan dengan kita.

Saturday, April 29, 2017

KALAU NULIS TUH JUJUR AJA

Dulu saya pernah berniat menjadi penulis kisah nyata. Jika bercerita maka cerita yang kutuliskan benar-benar dari kisah nyata. Bukan kisah rekaan, mengingat berbohong itu gak dibolehkan.

Dan beberapa cerpen saya pun dengan begitu mudahnya terbit di koran karena saya tulis dari kisah nyata. Kisah-kisah yang saya alami dari keseharian.

Eh kemudian saya terpengaruh pendapat yang membolehkan membuat cerpen, novel, sekalipun ceritanya khayalan. Kemudian saya ikuti pendapat itu dan sampai sekarang senang berbohong dengan membuat cerita khayalan.

Dan ternyata sekarang menemukan lagi, yang lebih baik justru kisah nyata, kisah jujur, apa adanya, tidak berusaha menutupi diri dari apa yang dirasakan


Dari Raditya Dika saya belajar. Waktu dia membagikan 5 Quote yang Mengubah Hidupnya, salah satunya dia berkata mengutip kata-kata Neil Geiman, "Komedi adalah segala hal tentang kejujuran."

"Jadi yang penting Lo jujur aja! Jadi kalau kita jujur biasanya jadinya lucu." kata Raditya Dika.

Dan pagi ini saya membaca lagi artikel tentang komedi yang ditulis Radar Panca Dahana, dia apun menulis, orang normal menghafalkan komedi untuk melucu, sedang komedian sejati mentransformasikan pengalaman hidupnya menjadi lelucon.

Saya sering mengulang stand up komedi Fico, dia itu lucu sekali. Selain didukung penampilannya yang gendut, dia pun cerdas. Komedianya dibuat dari fakta. Membicarakn kecap. Dia bisa sulap. Nasi dimasak pake kecap, jadi nasi goreng. Kecap itu hitam, tapi enak. Tidak semua yang hitam itu enak, contohnya oli bekas.

Yang sederhana-sederhana aja. Dari fakta-fakta yang ada. Dari kebenaran-kebenaran yang ada, yang orang lain pun melihatnya, dan dia sebutkan lagi. Dan lucu banget jadinya.

Seringkali saya pergi meninggalkan jalan yang Allah sediakan, Meninggalkan ayat-Nya meninggalkan ajaran-Nya, kemudian pergi jauh mencari jalan lain, dan terus pindah dari satu jalan ke jalan lainnya, sampai akhirnya saya menemukan petunjuk yang mengarahkan saya kembali ke jalan yang Allah berikan, dan meyakinkan justru dari semua jalan, jalan itulah yang lebih benar dan menguntungkan.

Dulu Allah menunjuki saya, untuk mempunyai tekad hanya menulis dari kisah nyata, menulis secara jujur tanpa bumbu kebohongan. Menulis dari kehidupan apa adanya tanpa harus main fiksi-fiksian. Eh tapi kemudian saya tergoda untuk membuat, dan tertulislah banyak kisah khayalan saya, cerpen, novel, dan semuanya belum ada yang benar-benar menghasilkan uang buat mencukupi hidup saya. Dan sekarang menemukan lagi, ternyata, menulis dengan penuh kejujuran, menulis apa adanya dari hidup kita, sejujurnya dari apa yang kita rasakan, jutsur tulisan semacam itu akan menjadi karya luar biasa, original, karena itu berarti melahirkan keunikan yang telah diberikan Allah kepada kita.

Ah tapi sekarang saya sedang menyusun novel komedi yang fiksi, gimana ya. Membaca hadits ini, jadi khawatir juga:

Nabi pernah bersabda, celakalah orang yang berdusta untuk mengundang orang lain tertawa.

Friday, April 28, 2017

SANGAT MENYAKITKAN

Mas Lili adalah teman saya sesama karyawan. Sehari-hari mendapatan tugas cleaning servis dan terkadang pengepakan. Setiap haris dia terbang mengepakkan sayapnya? Bukan, tapi mengepak barang buat dikirimkan kepada pemesan.

Pagi ini dia naik ke lantai dua, tiduran pada kursi yang berbaris di depan meja rapat. Trus dia bilang, "Hari ulang tahun kota Depok. Walikota mengumumkan ada pesta kuliner, siapa saja bisa makan gratis di sana."

Mendengar ada makan gratis, usus saya kontan menyalak, "Guk! Guk!!"

"Syaratnya bawa KTP." dia melanjutkan.

"Bawa KTP?"

"Iya."

"Berarti itu harus orang Depok asli dong."

"Iya,"

"Kenapa sih Mas Lili pake bilang segala? Itu kan kabar buruk buat saya."

"Kabar buruk?"

"Iya Mas, saya kan bukan orang Depok."

"Eh ini beritanya beneran," dia bangkit dari tidurannya, lalu berjalan dan mendekat, "Nih, lihat, ada gambarnya malah."

Sepertinya Mas Lili tidak mengerti perasaan saya. Sudah jelas mendengarnya saja sudah sakit hati, eh malah sengaja dia perlihatkan gambar masakan-masakan enak pada banner, seperti bakar ayam berhias sayuran.

"Aduh Mas Lili ini. Sudah! Mas! Cukup Mas Lili! Cukup!!"

"Bisa kok siapa pun datang ke sana, terbuka untuk umum."

"Tapi orang luar Depok kan harus bayar."

"Iya."

"Nah itu dia Mas! Itu yang menyakitkan buat saya. Orang lain makan gratis, saya sendirian harus bayar. Itu sangat menyakitkan Mas, sangat menyakitkan!"

CERITA YANG BAIK

Terkadang saya berpendapat cerita bagus itu cerita yang seperti ini:

Sejak awal cerita itu sudah menyajikan ketegangan dan ketegangan itu tak pernah selesai sampai tulisan tamat. Cerita itu merupakan rangkaian dari ketegangan demi ketegangan, masalah demi masalah, kecemasan demi kecemasan, kegelisahan demi kegelisahan, kesepian demi kesepian, kegalauan demi kegalauan, kecelakaan demi kecelakaan, perkhianatan demi pengkhianatan, penipuan demi penipuan, pembodohan demi pembodohan, pembunuhan demi pembunuhan, dan masalah itu tak pernah selesai sebelum cerita tamat.

Cerita semacam itulah yang biasa dengan antusias bisa saya baca dari awal sampai tuntas.

Nafsu menggebu tak jua terpuaskan, syahwat meluap tak jua tertuntaskan, dendam membara tak juga terbalaskan, juga bisa menjadi bahan ketegangan. 

Waktu sekolah pernah mendengar kata suspens, kalau tak salah suspens itu berarti ketegangan. Ketegangan dalam sebuah cerita sehingga pembaca benar-benar merasakan seperti apa yang tokohnya rasakan. Tidak tahu sih arti sebenarnya dari suspens itu apa. Benar dan tidaknya silakan cari sendiri, biar ingatan Anda terhadap kata itu lebih kuat.

Intinya, ketegangan sangat dibutuhkan dalam sebuah cerita.

Selama cerita berjalan pembaca, harus dibuat bertanya dan bertanya, harus membuat hati mereka berkata,  siapa, kenapa, bagaimana....

Siapa sebenarnya pelaku pembunuhannnya. Kenapa melakukan pembunuhan itu. Bagaimana cara melakukannya.

Ketegangan dan pertanyaan itu saya rasakan saat membaca karya-karya S. Mara Gd. Bisa sekali dia merangkaikan bahasa yang membuat pembaca merasakan penasaran. Karena kisah yang disajikannya kisah kriminal, maka sepanjang membaca bukunya saya terus bertanya, bagaimana pembuhunan itu akan terjadi, siapa yang akan melakukannya, dan bagaimana melakukannya.

Begitu pula saat membaca cerpen-cerpen karya Ahmad Bakri. Pengarang berkebangsaan Sunda ini cukup banyak diminati karya-karyanya. Caranya bercerita pandai sekali membuat pembaca penasaran. Sebagian besar cerita-ceritanya menegangkan, menyajikan kasus mengerikan yang bisa terjadi dalam kehidupan masyarakat. Misalnya pembunuhan. Saya masih ingat kisah "Dina Kalangkang Panjara." menceritakan seorang wanita yang dicintai seorang pria di kampungnya, kemudian datang ke kampung itu seorang china yang tampan dan mencoba mendatangi wanita itu untuk meminang. 

JUMAT, 28 APRIL 2017

Menemukan kembali facebook teman lama, suka penasaran, ingin stalking facebooknya, ingin melihat-lihat fotonya, sudahkah menikah. Jika sudah, secantik apa istrinya. Menemukan satu foto, ah ini kurang jelas, terus menscroll ke bawah mau melihat yang lainnya, mau melihat lebih jelas. Parah, itu yang saya lakukan selama ini, dan itu membuang-buang waktu saja.

Dari sebagian ciri bagusnya keislaman seseorang adalah dia meninggalkan apa yang tidak penting baginya.

Berarti keislaman saya masih bermasalah, masih belum bisa dikatakan baik, dengan kata lain, keislaman saya masih buruk.

Waktu yang saya gunakan buat melihat foto-foto teman itu menjadi waktu terbuang yang sebenarnya jika saya gunakan buat menulis dan menyusun karya mungkin karya itu sudah sangat banyak.

Tadi setelah shalat Jumat saya melihat lewat di beranda facebook foto teman sedang mencium perut hamil istrinya, yang membuat saya tertarik untuk klik profil akun dia dan membuka-buka fotonya, ternyata dia sudah menikah, dan istrinya tengah hamil, tapi seperti apakah istrinya, saya buka foto-foto dia. Oh berjilbab, dan saat itulah saya sadara, "Saya ini sedang melakukan apa?"

"Apa gunanya?"

"Bukankah sedang menulis buku dan ingin segera dipublikasikan?"

"Kenapa malah buang-buang waktu untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kamu?"

Dan setelah memikirkan itu, saya berhenti.

=======

Cerita apa lagi ya?

Oh tadi ke warteg mau duduk makan, kelihatan di meja ada koran terlipat dengan tulisan, "Perang suku ..."

Bagi saya ini mengagetkan. Persatuan dan kesatuan negeri ini kian rusak. Kenapa sih antar suku harus berperang. Apa yang disisakan perang selain luka-luka dan penderitaan. Kenapa tidak hidup bersama saja, dengan damai, tenteram, bersama-sama membangun negeri ini biar bisa segera melunasi hutang.

Sambil mulai menyendok nasi dan memasukkan ke mulut, saya masukkan pula huruf-huruf artikel koran, dan saat itu baru ngeh, ternyata ini bukan berita perang suku, seperti perang suku yang dulu pernah terjadi di sebuah pulau, ternyata ini hanya berita perang suku bunga antar bank. Tadi koran terlipat, jadi saya hanya membaca judul sepotong saja.

Banyak sekali hal keseharian saya lewatkan yang padahal jika ditulis bisa diambil pelajaran dan hikmahnya.

Saya baca buku Raditya Dika juga ternyata dibuat dengan ringan dan sederhana, ditulis berdasarkan kisah nyata kesehariannya, dengan jujur, terbuka tanpa berusaha menutup-nutupi biar terkesan baik oleh orang, namun dengan itu jutru tulisannya jadi lucu, dan saya bisa membaca untuk mengambil pelajaran dan hikmahnya.

Seperti buku Koala Kumal yang sedang saya baca sekarang. Dari bab ke bab tidak ada nyambung-nyambungnya. Saya membaca sudah hampir ke bagian tengah dan semuanya merupakan cerita terpisah. Pertama cerita tentang petasan berbeda dengan cerita yang sekarang sedang saya baca, cerita tentang kucing. Tapi tetap cerita itu bisa saya nikmati dengan asyik dan setiap kali selesai bab, saya penasaran buat membaca dan membuka bab berikutnya.

Kira-kira kenapa tulisannya bisa asyik buat dibaca:

Pertama, karena saya suka dengan orangnya, banyak hal yang bisa saya pelajari dari kepribadiannya. Kedua, karena dia seorang penulis dan saya banyak berbagi kisah keseharian sehingga sebagai orang yang ingin jadi penulis, saya pun suatu saat ingin mempunyai budaya keseharian seperti dia. Ketiga, tulisannya menjadi sangat nyaman saya baca karena, dia menuliskannya dengan lancar dan sepenuh hati karena sesuai dengan apa yang dirasakan hatinya.

====

Datang ke meja saya undangan nonton premiere film CRITICAL ELEVEN. Mengingat Mbak Asma dan Pak Isa sedang ke Malaysia, hati langsung berkata, jangan-jangan nanti saya kebagian tugas pergi menghadiri undangan ini, diam-diam saya berharap menggantikan mereka menghadiri undangan nonton film yang biasanya banyak artisnya itu. Kalau iya, betapa menyenangkan saya akan jalan-jalan.

Pak Arief yang menyerahkan undangan itu berkata, "Foto dan masukkan ke whatsapp, bilang ada undangan. Tapi karena belum dibuka jadi belum tahu tanggal acaranya kapan."

Dan saya membuka buat memfotonya kemudian masukkan ke whatsapp sambil menulis, "Pak, ada undangan premiere, tapi belum tahu kapan, belum dibuka."

"Buka saja ya, dan lihat tanggalnya," kata Kamal.

Saya buka dan melihat tanggal, yang terbaca di sana langsung nama hari: Jumat. Jumat itu kan hari ini. Hah, jangan-jangan nanti malam. Pak Isa dan Mbak Asma sedang di Malaysia, wah sepertinya bakal saya nih yang menggantikan mereka datang ke sana.

Namun lalu melanjutkan membaca, tertera tanggal 5 Mei 2017, yah itu kan bukan Jumat sekarang, tapi minggu depan, dan saat itu Pak Isa dan Mbak Asma sudah datang kembali ke tanah air, kalau begini sih pasti mereka.

Ah lagi pula sebenarnya saya tidak pantas berharap. Mengingat pengalaman sebelumnya setiap kali ada acara premiere film dari penerbit tempat saya kerja pun, saya termasuk orang yang tidak diajak, langsung memupus harapan. Mungkin saya termasuk karyawan yang penampilannya cukup memalukan buat diajak ke tempat ramai, dan orang yang kurang nyaman buat diajak jalan. Jadi saya tidak mau terlalu berharap. Sepertinya.

Sakit banget curhat saya kali ini, tapi sepertinya ini mendekati fakta.

====

Thursday, April 27, 2017

ILMU BERHARGA DARI RADITYA DIKA

Setelah shalat maghrib , saya turun dari lantai tiga,  masuk ruangan kantor, hendak duduk menghadapi meja kerja, Wiro hilir mudik sambil menggendong tas, "Wah kita belum ngobrol, ini malah sudah saatnya pulang,"

Ngobrol sama siapa ya Wiro, apa dengan saya?

"Ya tinggal ngobrol aja," kata Wulan.

Oh mungkin iya, karena setelah mendengar Wulan mengucapkan itu, Wiro mengambil kursi buat duduk di samping saya.

Seperti malam-malam sebelumnya, sepertinya dia mau ngobrol seputar kepenulisan.

Oke Wir, memang banyak yang ingin saya obrolkan, terutama mengenai apa yang telah saya pelajari hari ini dari membaca buku Raditya Dika.

Sebenarnya saya ingin merahasiakan ini dan tidak mau membagikannya, karena menganggap ilmu ini sangat berharga dan bikin hidup jadin murah. Tapi teringat menyembunyikan ilmu dilarang dan biasanya malah membuat saya sendiri tidak berhasil jadi saya share aja.

Beberapa inspirasi darinya yang menurut saya emas,

1. Gue menulis di mana saja.

2. Untuk penulisan awal, gak lucu gak papa. Nanti kamu bisa main dulu sama teman, santai dulu, nanti kalau terpikir ada hal lucu bisa dimasukkan tinggal masukkan.

3. Gue cuma nulis dan nulis.

Tadinya saya merasa ilmu itu sangat berharga dan karena berharga saya merasa harus merahasiakannya. Tapi ah merasahasiakan buat apa? Jika pun ini ilmu yang sangat mahal yang memudahkan menggapai kesuksesan, bukankah lebih bahagia jika kita sukses bersama-sama?

Jadi apa yang saya pelajari dari Raditya Dika saya sampaikan saja ke dia, semoga share ini membuat ilmu yang ada pada saya menjadi manfaat dan berkah.

=====

Obrolan menjadi semakin panjang ketika di luar terdengar hujan.

Beberapa kali Wiro menahan mulutnya saat menguap, mungkin kalau mulutnya dia bebaskan terbuka lebar takut menyinggung saya yang sedang ngobrol. Padahal saya sendiri sadar, cara saya membawakan obrolan memang bikin ngantuk. Suara  terlalu lemah.

"Pulang yuk sayang!" kata Wiro kepada Wulan setelah hujan mulai reda.

Mendengar itu, saya jadi panas.  "Wiro bisa sayang-sayangan sama Wulan. Saya juga bisa,"

Kemudian pergi ke kolong meja, ada CPU di sana, "Mmmuaaachh."


Wednesday, April 26, 2017

HAPE KETINGGALAN

Siang pergi makan membawa hape bukan karena suka berkomunikasi dan telfon telfonan dengan siapa-siapa, tapi karena khawatir di jalan atau sedang makan nanti ide datang, kalau ada hape bisa langsung saya tuliskan. Kebiasaan ini telah berlangsung sejak lama, bedanya kalau dulu, saya pergi ke mana-mana dengan buku tulis dan balpoin. Sekarang adanya hape membawa hape, bisa mengetik.

Tapi sampai ke warung, tidak punya ide emas buat ditulis, sambil makan malah membaca buku Koala Kumal. Lucu pas Dika cerita perangb petasan, sambil melempar petasan cabe dia teriak, RASAIN, MAMPUS LO!! petasan cabe dilempar, dan terdengar PLETUK!!, terikannya sangat tidak matching dengan suara petasan. Saya tersenyum sendiri.

Sampai beres makan ide bagus tidak juga datang. Hanya membuka hape sebentar, setelah itu pamitan ke ibu warung. Setelah makan, orang lain biasanya membayar, saya tidak, langsung pergi begitu saja. Saya suka membayar duluan sebelum nasi dimakan.

Sudah makan dengan kikil dan toge masih juga belum kenyang. Dari sana menuju tukang gorengan, membeli dua potong pisang, habis itu ke warung roda, membeli dua buah roti kacang lima ratusan. Rakus banget kamu Dana! Rakus!!

Pisang berbungkus kertas saya lipat-lipat dan masukkan ke dalam saku celana. Terasa panas, dan saat itu saya kaget, "Waduh, ini pisang panas, bersentuhan dengan hape, jangan-jangan bisa merusak." maka dengan panik segera saya rongohkan tangan ke saku celana berusaha mengambil hape. Tapi beberapa kali meraba, kok hape tidak ada. Saya pastikan lagi dengan tangan lainnya, sama juga tidak ada. Iya di saku tidak ada. Di saku celana sebelah lagi tidak ada. Di saku belakang tidak ada. Di saku baju, kaos saya tidak ada sakunya.

Ah yakin ketinggalan.

Saya paling benci dengan diri sendiri kalau sesuatu sudah ketinggalan. Parah sekali rasanya. Padahal kalau pergi dari suatu tempat saya suka sangat hati-hati supaya tidak ada barang tertinggal. Tapi ada saja saat di mana saya ketinggalan barang. Mana ini barangnya sangat penting! Hape.

Bagaimana kalau ke warung itu ada yang mengambil? bagaimana kalau sekarang sudah hilang? harus berapa saya mengganti kerugian karena hape itu milik perusahaan. Berarti harus segera, sebelum hape itu ditemukan orang dan dia ambil.

Belok kanan, tapi saya rasakan buku lebih tebal dari aslinya. Melihat melalui celah bagian samping, ternyata hape terselip di sana.

========


KAKEK SAYA

Banyak orang menyesalkan saya, kenapa pas kakek meninggal saya tidak ada, tidak takziah, dan tidak ikut shalat jenazah.

Iya memang saya pun merasa itu keterlaluan dan sudah lupa waktu itu saya sedang berada di mana.

Padahal kakek saya adalah seorang yang sangat sayang. Mengasuh saya telaten sejak kecil, karena pulang sekolah dan mengaji lebih dekat ke rumahnya daripada rumah saya sendiri. Dia sangat rajin menyuruh ke masjid, memotivasi supaya mengaji, dan apa pun permainan sehari-hari dia berusaha mengabulkan sekalipun berat.

Sekarang berkelebatan kembali segala kebaikannya itu. Misal suatu hari saya memintanya membuatkan sumur-sumuran di belakang rumah. Susah payah dia mengabulkan dan setelah dalam, dia serahkan ke saya, dan saat itu saya teringat dengan jebakan yang biasa saya lihat film televisi, dengan cara menutupnya dengan daun, biar nanti kalau ada ayam lewat di sana terjebak dan jatuh. Kemudian saya main hal lain sampai lupa lewat ke atas sumur-sumuran itu, sebelah kaki terperosok ke dalam, karena kaget saya menangis. Memalukan dan konyol sekali itu, saya sendiri yang membuat jebakan, saya sendiri yang terperosok di sana.

Dia pun pernah membuat pedang-pedangan, dia membuatkan saya telfon telfonan dengan tumbuhan merambat.

Dia mengajak saya jalan-jalan ke Kota Bandung untuk melihat kebun binatang yang mana itu pertama kali dan satu-satunya main saya ke kebun binatang dan belum pernah lagi sampai sekarang.

Dia pecahkan lampu patromak kesayangannya karena sesuatu pada bagian dalam patromak itu untuk main semacam petasan. Dia memecahkannya dengan marah karena saya memintanya dengan memaksa dan terus menangis padahal itu lampu patromak satu-satunya yang suka dia gunakan jika listrik mati.

Dia keluarkan uang simpanannya padahal masih sangat memerlukan, untuk membelikan saya mobil-mobilan.

Dia keluarkan uang simpanannya untuk membelikan saya bola plastik yang kemudian saya bawa main bersama teman sekomplek sampai pecah.

Dia sisakan uang seratu dua ratus rupiah di palang kamar karena setiap kali berangkat sekolah saya suka singgah ke rumahnya minta bekal jajan.

Dia rela duduk terkantuk-kantuk mendengarkan pidato membosankan saja di rumah setiap sore, setiap malam, kadang bakda shubuh, supaya saya bisa berpidato seperti para ustadz.

Jika di tempatnya kerja ada makanan dia bawa ke rumah karena ingat ada cucunya yang selalu datang ke rumah mencari makanan. Jika di mesjid ada pengajian dan disugugi kue, tidak dia makan tapi masukkan ke saku jasnya dan bawa ke rumah karena ingat sama saya.


BAU TAI KUCING

"Emh, suka tercium lagi bau tai kucing ya?"

"Emhh." saya mikir dulu.

"Eh enggak ya?"

"Kadang-kadang."

"Oh iya sih, tidak selamanya tercium."

"Iya kadang terngiang-ngiang."

"Haha, terngiang-ngiang."

Buat bau memang tepatnya apa? Kalau buat suara kan terngiang-ngiang.

Mendengar Pak Agung bilang begitu, sebenarnya saya khawatir bau itu berasal dari ketek saya. Memang selama ini jarang dibersihkan. Jika mandi hanya membersihkan badan, terburu-buru, bahkan membersihkan kaki pun tidak. Apalagi pake deodoran.

Saya jadi teringat Raditya Dika  menceritakan sopirnya yang bau ketek di film Manusia Setengah Salmon, dia sampai megap-megap sesak nafas gara-gara bau itu, malah sempat berniat menyuruh si sopir berhenti untuk sementara, tapi tidak tega setelah mendengar si sopir berbicara mesra kepada anak istrinya. Saya khawatir bau ketek saya separah itu juga, dan sepertinya iya karena saya rasakan ketiak ini terasa lengket, mungkin karena saking sudah banyaknya asam yang mengendap di sana.

Maka secepatnya ke kamar mandi, membuka baju, mengambil selembar tisu di rak sabun, menyabuninya dengan sabun mahal punya Pak Isa, dan saya gosokkan dengan keras ke ketiak sampai beberapa bulunya berjatuhan. Saya harap dengan ini bisa bersih, kemudian membilasnya. Tapi setelah keluar dan kembali duduk di meja, hidung saya ingus sana ingus sini, masih saja terngiang-ngiang bau asep tai kucing.

Apa mungkin karena baju saya belum diganti sudah dua hari? Cepat naik ke atas, ganti baju dengan kaos lain, turun lagi, tapi masih juga bau asem itu tercium.

======

Kemarin Pak Isa pas mau berangkat curhat dulu, "Kemarin gue pake setelan kayak gini, tahu nggak Fachri Hamzah bilang apa?"

Saya tengok, Pak Isa memakai setelan jas hitam, celana hitam dengan bagian dalam kaos hitam.

Melihat itu, saya mikir, Pak Agung mikir, dan tidak ada di antara kami yang bisa menebak,

"Apa?" tanya Mas Agung.

"Itu pasti celana dalamnya pasti warna hitam juga."

Saya tertawa, "Harusnya Pak Isa bilang ke dia, PERTANYAAN LO MENUNJUKKAN KUALITAS LO!!"

Mendengar itu, yang lain tertawa, terutama Wiro yang ingat dulu, dia pernah mencandai Pak Isa entah dengan masalah apa, tapi kemudian saat itu Pak Isa berkata ke Wiro, "Pertanyaan lo menunjukkan kualitas lo."

Dan sekarang saya colback lagi.

"Tapi gak apa-apa Pak disebut begitu," kata saya, "karena kan ada pepatah, di balik pria sukses, ada celana dalam yang selalu terpelihara."

"Ah, gue gak pernah dengar papatah kayak gitu, pernah juga dengar, "DI BALIK PRIA SUKSES ADA SEORANG WANITA. DI BALIK PRIA TIDAK SUKSES, ADA DUA ORANG  WANITA,"

MENGAPA KITA HARUS MEMBERI KABAR KEPADA ORANG TERDEKAT?

Tadi ada telfon dari istri,

Sebelum dia bicara, saya kaget, ada apa ini, jangan-jangan, jangan-jangan. Perasaan langsung khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu yang mengagetkan di kampung.

"A sedang apa?"

"Sedang kerja."

"Kenapa sih kalau ditelfon suka.. nut nut nut nut..."

Dia menutup telfon, kayaknya jengkel, hehe. Biarin aja, yang penting tidak terjadi hal-hal mencemasakan di sana.

Tidak lama kemudian, hape lain bunyi, nomor tak dikenal,

"Assalamualaikum." sapa saya, "Halo!"

"Halo, waalaikum salam."

Suara Emak ternyata.


"Ya Mak!" ternyata Emak. Memang parah saya ini, nomor ibu sendiri tidak dicatet di buku telfon. Padahal dia sudah sering menghubungi.

"Sehat?" tanya Emak dengan bahasa Sunda, tentu saja.

"Sehat Ma."

"Oh ya, syukurlah."

"Emak sendiri bagaimana?"

"Alhamdulillah sehat. Mau menanyakan kabar saja, sudah lama tidak menghubungi."

"Iya Mak."

Ketika orang lain suka kangen-kangenan dengan orang tuanya, saya sangat jarang. Bahkan dengan istri pun jarang.

"Bapak suka bertanya pada Emak, dia bilang, Si Pulung suka menelfon? Emak jawab, tidak. Bapak bilang, kenapa jarang menelfon ya, kita kan ingin tahu kabarnya bagaimana. Kemudian Bapak bertanya lagi pada Emak, kamu sendiri suka telfon? Emak jawab, tidak. Eh bapakmu bilang, emang kamu tidak ingat ya sama anak?"

"Hahaha" saya tertawa.

"Emak jawab aja, ya pasti ingat, cuma mau telfon kan nanti mengganggu kesibukan kerja. Semoga baik-baik saja di sana. Begitu kata Emak ke Bapak."

"Haha."

Saya tidak tahu apa makna di balik rajin memberi kabar kepada orang-orang terdekat. Dulu sewaktu kuliah, ada seorang dosen yang kalau kesorean, dia terus-terusan telfonan dengan istrinya. "Bapak lagi,

Tuesday, April 25, 2017

MENULIS ITU BAGUSNYA JUJUR AJA

Saya menjadi kaku, menjadi susah mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan, karena masih memikirkan penghormatan dan penghargaan.

Jika hati sudah bebas dari semua itu, tidak peduli orang lain mau menghargai atau tidak, maka kita akan lebih bebas berekspresi, bebas mengungkapkan diri apa adanya, bebas mengungkapkan isi hati tanpa terhalangi segala macam ketakutan.

Kita masih berurusan dengan pujian orang, rasa kagum dari orang dan masih peduli dengan hinaan dan ledekan mereka. Sehingga akibat merasa takut dengan semua itu, ekspresi diri jadi terhambat. 

Kita terlalu mudah tersinggung.

Kalau saya baca karya Raditya Dika, misalnya Koala Kumal, sudah tidak memikirkan itu. Dia menulis apa adanya, apa saja yang terpikir saat itu, dia tuliskan.

Dalam buku ini bahkan menceritakan proses pembuatan bukunya sendiri. Proses pembuatan judulnya diceritakan menjadi bab terakhir. 

Kalau penulis lain mungkin mikir-mikir, ini pantes nggak sih dimasukkan ke dalam buku? Kalau Radith seperti tidak memikirkan itu. Dia berkata apa adanya, menulis apa adanya.

Sesuai dengan prinsipnya berkarta selama ini, JUJUR, DENGAN JUJUR MAKA BISA JADI LUCU.

Raditya Dika menceritkan hidup dia seadanya, tidak perlu memikirkan hal-hal jauh yang tidak terjangkau akal. Ini sangat inspiratis, karena setiap orang mengalami kejadian keseharian.

Saya pun mau begitu ah, bercerita apa adanya, setiap hari setiap saat, tanpa henti dari pagi sampai sore.

Misalnya, saya akan menulis kejadian yang barusan saya alami.

"Dana!"
"Ya Pak"

"Mau soto nggak?" tanya Pak Aeron adiknya mbak Asma Nadia.

"Mau Pak," saya kalau ada orang menawari makanan jarang ditolak. Sebenarnya ini bahaya, kalau-kalau yang menawari orang jail. Tapi saya yakin Pak Eron tidak, maka saya terima dan saat itu terdengar dia bicara, "Sisain sedikit aja buat saya."

Pas saya buka, isinya nasi, suiran daging ayam, mie, sepotong telur, sekantong kuah. kerupuk, dan keripik kentang, dan masih utuh belum dimakan.

"Pak, ini kan masih utuh?"

"Iya buat kamu saja! Saya sudah kenyang. Tadin makan ketupat sayur." 

Tapi pas saya mau makan saya ragu, apa buat saya semuanya atau harus menyisakan sebagian buat dia. Kalau saya makan semuanya, nanti bagaimana kalau dia bertanya. Maka makanan itu saya simpan saja di rak piring, tidak saya makan, sampai tiba shalat dzuhur, tengah shalat teringat, aduh ini sudah tiba waktu Dzuhur, bagaimana kalau Pak Aeron sudah mau makan sedang nasinya malah saya simpan di rak, tapi bener nggak sih dia minta menyisakan sedikit nasinya.

Maka setelah shalat masuk ruang kerja, saya dekati dia buat memastikan, sambil membawa nasinya, "Pak buat Pak Aeron setengahnya?"

"Buat kamu aja semuanya!"

"Oh terima kasih Pak."

Dengan lahap dan bahagia saya makan, jadi hari ini tidak usah pergi jauh membeli nasi. Hemat uang, hemat waktu, hemat tenaga. 

===

Pas mau shalat Pak Aeron lewat di belakang saya, dan menyenggol kursi, "Eh!" kata saya.

"Dana!" panggilnya lagi.

"Ya Pak."

"Tadi makanan isinya apa saja?"

"Suir ayam, mie, nasi, telor, keripik kentang, keruk."

"Sambalnya ada nggak?"

"Oh ya ada."

"Enak nggak?" 

"Enak banget! Sudah saatnya Mbak Marin membuka restorant."

Eh Richie nyeletuk, "Biar dibawain lagi ya?"

Orang-orang tertawa, lebih tepatnya mentertawakan untuk menghina. Melihat ke belakang, Wasi juga nyengir.

"Eh saya kan mau mengucapkan terima kasih. Dan saya tidak bisa berterima kasih kecuali dengan kata-kata."

"Jadi kamu mengata-ngatain masakannya Marin?" tanya Mas Agung.

Wah serba salah nih orang-orang. Tapi saya tahu semua berkata dengan niat humor, jadi untuk menghargai mereka, saya tertawa. Hahahaha.

MEMANDIKAN ANAK

Seharian mengasuh anak, tidak terasa waktu sudah sore, belum dimandikan. Ibunya di warung kalau nanti pulang pasti akan menyalahkan saya. 

"Nai, mandi dulu!"

"Mau sama Bapak."

"Ayo."

Mendengar itu dia sangat gembira. Saya harus berterima kasih kepada istri yang telah rajin memandikan Si Nai sejak bayi, nyaris setiap hari sehingga sekarang dia sudah terbiasa, sebab kalaulah tidak, mungkin sekarang saya ajak mandi bukannya gembira tapi sungkan.

"Jangan sama bapak, biar Nai aja!" larangnya saat saya mau menyiramkan air ke badan dia. Mungkin dia suka kaget kalau orang lain menyiram. Maka dia sendiri yang menyiramkan air, dia sendiri yang membilaskan sabun. Cuma bagian punggung dia minta saya yang menyabuni. Tangan dia sendiri tidak sampai.

Teringat kaki saya yang pecah-pecah karena sering lalai menyikatnya, saya berpikir Si Nai jangan sampai mengalami seperti saya. Maka saya ambil sikat cuci, saya pegang kaki dia, mengangkatnya, dan menyikat bagian telapak.

"Hahaha .... hahaha ... aku geli Bapak, aku geli!"

"Harus disikat biar bersih, nanti pecah-pecah kayak punya Bapak." kembali saya sikat.

"Hahaha ... hahaha ... haha ..."

"Satu kaki lagi."

"Hahaha, ... hahaha ... hahaha .... "


Monday, April 24, 2017

AKU ORANG PANDAI

Air beriak tanda tak dalam, tong kosong bunyinya nyaring. Orang yang tidak punya pengetahuan biasanya banyak bicara. Sedang orang berilmu, seperti air tenang tapi menghanyutkan. Dia tenang, tapi sekali orang meloncat masuk, langsung tenggelam. Dia tidak banyak bicara tapi sekali bicara, orang tertarik sama apa yang dikatakannya dan terpengaruh.

Seperti itulah saya sewaktu sekolah. Termasuk siswa yang tidak banyak bicara. Teringat hari itu jadwal test lisan pelajaran komputer. Siswa dipanggil satu per satu ke dalam kelas, dan tiba giliran saya, si guru bertanya, "Apa yang dimaksud dengan hardware?"

Mendapat pertanyaan itu saya tidak menjawab sepatah kata pun, hanya bengong, diam, tidak menjawab apa-apa, tidak banyak bicara, dan ini sangat membanggakan, berarti saya seorang berilmu, dan lihatlah apa yang terjadi kemudian. Setelah saya diam tidak menjawab apa-apa, justru si guru yang menjawab, "Hardware adalah perangkat keras." tuh kan, tidak harus lelah memikirkan jawaban, dengan sendirinya jawaban itu keluar dari si penanya sendiri.

Selanjutnya guru itu bertanya lagi, "Apa yang disebut dengan software?"

Tapi kali ini saya mencoba menjawab dengan merujuk kepada jawaban pertama dari si guru: "Software perangkat yang tidak keras."

Mendengar itu si guru tersenyum, dan itu pertanda saya sudah melakukan hal luar biasa, membahagiakan seorang guru.

"Software itu perangkat lunak." pungkasnya,.

Meski itu bagus, orang berilmu tidak selamanya harus diam. Jika memang perlu dan dibutuhkan, dia harus bicara dan menjawab dengan ilmu yang dia punya.

Begitulah ketika dalam sebuah sesi pelajaran Bahasa Inggris, saat itu gurunya seorang gadis, belum menikah, dia mengawali pelajarannya dengan pertanyaan-pertanyan bahasa Inggris. Ketika siswa lain hanya diam, saya menjawab dengan ilmu yang saya bisa.

Dia bertanya, saya jawab, YES.

Dia bertanya lagi, saya jawab, NO.

Dia bertanya lagi, saya jawab, YES.

Dia bertanya lagi saya jawab, NO.

Mendengar itu dia berhenti bertanya, kemudian sambil menatap tajam bicara, "Dana, kalau  kamu tidak suka sama saya silakan keluar!!"

Dengan panik dan gelagapan saya menjawab, "Saya suka sama ibu!"

"Tapi saya tidak suka sama kamu."

Itulah kali pertama ucapan jujur perasaan suka saya ditolak seorang wanita. Dan dari kejadian itu saya mendapatkan pelajaran, jangan pernah mengatakan suka kepada seorang guru Bahasa Inggris.

DUNIAKU YANG TIDAK SEMPURNA: CATATAN TENTANG RADITYA DIKA

Berani tampil dengan ketidaksempurnaan.
Berani tetap nyaman dalem ketidaksempurnaan
Berani berkarya meski jauh dari kesempurnaan
Berani menikmati ketidaksempurnaan
Berani menghargai ketidaksempurnaan


Itulah yang saya pelajari dari Raditya Dika


Saya belajar dengan kebiasaan menulisnya. Dia bilang, untuk menulis orang berpikir dia harus mempunyai suasana tenang, dalam kamar wangi dan musik romantis. Menurut Raditya Dika, tidak harus. Dia menulis di mana saja, kapan saja Di bioskop, di mobil, di pesawat, di mana saja sempatnya menulis, dia menulis.

=====

Banyak orang menyarankan gue membuat kolam renang di halaman samping, di sana ada lahan luas gitu. Tapi gue mendengar dari temen kalau air itu biasa dipake nongkrong makhluk halus. Ya sudah daripada repot bikin, trus malah jadi masalah, lebih baik gak usah. Trus juga di air itu biasa banyak kodok, yang suaranya bisa mengganggu kalau malam. Gue gak mau, tidur terganggu.

==

Kali ini gue mau mandi, tapi maaf, buat om-om yang baca buku ini, gue gak bisa menggambarkan detail mandinya seperti apa.

Nah, sekarang gue udah beres mandi. Sama aja sih, gak ada bendanya sama sebelum mandi.


Saya suka ketawa pas mau ngopi, taglinenya itu lho, "Ngopi dulu, kalau gak ngopi, nggak uuuhh..." apa sih itu maksudnya, gak ngerti. Uuh itu bahasa apa. Tapi karena segala sesuatu di alam semesta ini ada maknanya, kemungkinan, "Uuuh" yang Radit maksud adalah ungkapan rasa nikmat.

*   *   *

Berusaha tidak menyakiti orang lain.

Berusaha untuk tidak mempunyai musuh.

Hal lain yang saya pelajari dari Raditya Dika dia berusaha untuk tidak mempunyai musuh. Ketika Ernest bilang Raditya Dika orangnya mudah sekali berbelok, hari ini benci sama orang, eh besoknya jadi suka. Seperti pernah ada seorang yang sedang dibicarakan buruk di media, tapi kemudian memfollow Radit, tiba-tiba bilang, "Eh ternyata oke-oke aja."  Radit menjawab, "Gue mencoba netral. Jika ada orang memfollow gue, berarti dia menyukai sesuatu dari hidup gue."

"Berarti lo ada kesamaan dan karena itu lo sama dia sehati."

"Nah, betul!"

Ringan, apa adanya, tidak banyak mikir, tidak membela diri dengan argumentasi yangb aneh-aneh. Menurut saya ini pelajaran luar biasa.

*   *   *

Pagi ini untuk kedua kalinya saya mendengarkan Raditya Dika menceritakan 5 Quote yang mengubah hidupnya:

Pertama, dari Salman Aristo. Ketika dia bertanya, bagaimana bisa menulis di tengah kesibukan. Mas Salman menjawab, jadi penulis itu jangan cengeng. Kalau memang sibuk, ya cari cara supaya bisa tetap menulis di tengah kesibukan. Maka setelah itu, Radit menulis di mana saja dan kepan saja. Dia pernah nulis di Imac, bioskop di Singapura, pernah menulis di mobil, di pesawat. Kesibukan justru harus dijadikan tantangan buat kita untuk tetap produktif.

Kedua, dari Ayahnya sendiri. Kamu tidak perlu memikirkan uang yang akan datang sama kamu, lakukan saja yang terbaik, dengan sendirinya nanti uang datang sama kamu.

Ketiga, Komedi adalah tentang menceritakan kejujuran. Dengan jujur kamu menjadi lucu.

Keempat, Draft pertama akan selalu menjadi kotoran. "Jadi kalau kamu nulis, tulis, tulis, tulis aja terus dan tidak perlu memikirkan buruk tidaknya, karena draft pertama memang biasanya jelek. Jadi kalau kalian sekarang sedang mendevelove sebuah cerita atau skenario film atau buku, kalau tulisanmu jelek, gak papa. Kalau tulisan gue jelek gak papa, karena gue bisa memperbaiki di draft-draft berikutnya, itu yang membuat gue cukup produktif, karena kerjanya cuma nulis terus, gak peduli jelek, gak peduli bagus. Kalau jelek ya udah nanti gue perbaiki, kalau bagus alhamdulillah. Itu yang membuat gue produktif sampai saat ini."

Kelima. Neil Geiman adalah penulis favorit gue dan dia sempat ngasih pidato untuk orang yang baru lulus kuliah. Pidatonya namanya "Make Good Art". Jadi dia bilang, kalau elo sedang berada dalam kesusahan, lo gak tahu mau ngapain, lo baru patah hati, pokoknya "Make Good Art. Udah, berkarya aja. Bikin sesuatu dari apa yang lagi lo rasain. Dan quote itu ngubah diri gue banget. Salah satu petikannya adalah gini: Go and make interestingb mistakes, make amazing mistakes, make glorious and fantastik mistakes. Break rules. Leave the world more interesting for your being here." Dia bilang, udah lo bikin seni aja, lo berkarya aja. Terus kalau memang elo melakukan kesalahan dalam proses berkarya Lo, bebaskan diri lo dari rasa bersalah. Dia bilang, bikin kesalahan semenarik mungkin, bikin kesalahan yang seamazing mungkin, bikin kesalahan yang fantastik dan benar-benar istimewa. Jadikanlah kehadiran lo di dunia ini untuk menjadi lebih menarik dan berwarna. Asyik banget kan? Nah gara-gara quote itu gue jadi merasa harus bereksperimen. Gue merasa gak bisa diem aja dan gitu-gitu doang. Gue harus bereksperimen dan kalau eksperimen gue itu gagal atau gue melakukan kesalahan gara-gara eksperimen itu, maka gak papa yang penting kesalahan itu harus keren, kesalahan itu harus menarik, dan gue melakukan sesuatu di luar hal yang gue nyamankan.

===


Raditya Dika itu saking lucunya, bahkan saat dia makan pun saya tertawa. Pas lagi di bangkok pesan Subway, biasanya dia makan dengan lahap, gigitan demi gigitan besar seperti orang lapar, dan parahnya lagi dia senang menskipnya sehingga makan itu menjadi sangat cepat, jadi semakin kelihatan orang lapar belum makan lima hari. Tapi kali ini, dia tidak bisa makan cepat seperti tadi, entah di gigitan ke berapa, lidahnya mengecap rasa lain, rasa yang selama ini menjadi musuhnya, yaitu pedas. Trus setelah itu, dia tidak bisa lagi makan dengan lahap, dan harus memilih-milih mana cabe, mana bukan cabe, jadi seperti makan ikan mujair, harus memilih mana daging mana duri. Dan setelah beres makan, cabe itu terkumpul numpuk di depannya. Hahaha. Saya nonton ini di video sewaktu dia di Bangkok.

====

Oh ya, saya mah kalau ketahuan takut pedas kan malu. Ketika ada orang lain merendahkan, "Ah cemen kamu, laki-laki takut pedas." saya suka gengsi dan berusaha berani makan pedas. Pernah saya memberanikan diri makan pedas, eh setelahnya panas dalam parah. Sakit gigi gak ketulungan. Akhirnya saya simpulkan, pedas memang musuh saya. Tapi tetap saya memandang diri sendiri takut pedas sebagai hal yang memalukan.

Raditya Dika tidak. Dia bahkan merasa tidak apa-apa di video-videonya menunjukkan jika dia tidak tahan dengan pedas.


BERJUANG DI KAMPUNG

Mesjid sunyi itu saya masuki tanpa khawatir dicurigai orang. Mengapa harus khawatir, saya bukan pencuri dan masjid itu umum untuk orang-orang mencari kedamaian hati, sedangkan saya ingin mencari tambahan ilmu dengan membaca buku yang terdapat di raknya.

Buku agama ini saya ambil dari lemari penuh debu. Buku agama tulisan para cendikia muslim dunia. Pergi ke manapun saya harus mendapatkan tambahan ilmu, atau setidaknya ada buku yang dapat saya buka dan baca. Dan mulailah buk itu saya buka dan baca sambil tengkurap melepas leah badan karena jauh perjalanan menuruni gunung untuk belanja ini. Namun tak lama, kelelahan itu memberatkan bibir mata, saya baringkan badan di sajadah masjid, terlelap, dan ketika tersadar matahari di luar telah panas menyengat. Sepertinya telah dekat ke tengah hari. Kepala terasa sakit untuk bangun. Ingin sebenarnya lebih lama lagi tiduran di masjid ini. Tapi saya kemudian teringat suatu tekad igin menjadi jaya di desa.  Dan tiduran seperti ini sangat tidak pantas dilakukan oleh orang yang mempunyai impian besar. Kini ngantuk sudah hilang, kupaksakan diri keluar masjid setelah sebelumnya merapikan buku ke lemari. Dingin udara kering musim kemarau segera terasa saat turun ke halaman masjid namun itu suatu kenikmatan sebab akhirnya sinar matahari menghangatkan badan di sepanjang jalan.

Sampai ke toko tempat belanja, barang telah dikemas rapi. Selembar uang seratus ribuan saya serahan kepada pemilik toko. Ternyata kurang. Untunglah pemilik toko ini baik, dia tulis di bukunya sisa kekurangan uang saya untuk dibayar pada belanja berikutnya.

Kardus besar penuh belanjaan saya angkat dan pikul di atas bahu dan bawa memulai perjalanan pulang mendaki gunung.

Sinar matahari yang menerpa wajah berusaha saya halangi dengan kardus. Takut juga jika panasnya menghitamkan wajah. Bahu mulai pegal saat jalan aspal naik itu saya daki.

Jalan tedu ke tengah rumah penduduk saya pilih daripada terus melalui jalan aspa. Orang-orang dengan apik menata jalan naik itu. Mereka lapisi dengan pecahan-pecahan batu kecil penghindar licin bila ada hujan. Lelah hati ini bila membayangkan masih panjangnya perjalanan pulang saya. Terlebih ini naik, setiap kali berakhir satu jalan mendaki, di depannya telah menanti jalan mendaki berikutnya.

Di sebuah ujung jalan naik bahuku tak kuat lagi menahan pegal kardus saya turunkan dan santai saya duduk menikmat semilir angin di bawah keteduhan pohon. Berbeda dengan tadi saat kulitku merasa sengsara kedinginan, kini tiupan angin itu terasa menyejukkan, tak lain jalan naik dan beban berat ini menjadi suatu pertolongan dari Alla untuk menikmatinya.

Saya duduk menatap pemandangan indah di depan. Tampak indah percampuran warna hamparan rumah orang-orang dengan rimbun daun pepohonan dna jauh di kota kecamatan terlihat tower-tower berdiri merajai.

Dekat di depan dan belakangku rumah orang-orang sederhana berdiri. Kukuh percaya diri tanpa rasa takut longsornya tebing. Namun pemandangan paling menggoda mata adalah sebuah layangan yang tersangkut di ranting pohon albasi. Itu mengingatkanku pada kebandelan di masa keci. Di musim layangan hampir tak pernah habis luka tangan dan kakiku karena seringnya berlari ke hutan dan kali mengejar layangan putus lalu naik pohon jika layangan itu tersangkut, dan layangan dalam tatapan saya sekarang terlihat aman-aman saja tersangkut di sana. Setiap anak mungkin melihat pohon itu terlalu tinggi.

Lama saya menatapnya dengan teliti kini objek itu menjadi keasyukan tersendiri. Seoerti di masa dulu, bila ada yang tersangkut di pohon pertama saya teliti pohongan talinya, mengingat ketika layangan itu putus tentu membawa sisa tali. Jika ada tali itu bisa saya tarik dan kemungkinan nanti layangan yang di atas sana pun bisa tertarik juga dan jatuh, lumayan, eh tapi buat apa? Setua ini masih mau main layangan? Cari duit Dana cari duit!!! Lihat dirimu sengsara begini!

Untunglah talit itu tidak terlihat. Jika terlihat mungkin aku penasaran dan mencoba menariknya. Gagal ditarik, makin penasaran, ingin mengambilnya langsung ke atas, kemudian naik, dan setelah berhasil mengambil malah tertarik untuk mencoba main layangan, panas panasan, siang sampai sore. Sadar Dana sadar!!!

Perjalanan saya teruskan. Beberapa jalan mendaki saya lalui tanpa henti, masuk ke sebuah lapangan depan sekolah, kemudian naik lagi jalan kampung sangat jauh dan panjang sampai tiba ke areal pemakaman, bertemu dengan seorang tetangga sedang berdiri di sisi pohon aprika. Setelah saling sapa dengan sya dia berkata,

"Suruh Bapak mertuamu datang ke sini, banyak daun Aprika."

"Emangnya mau ditebang?"

"Ya," jawabnya dengan wajah datar.

Kulanjutkan lagi perjalanan memikul kardus belanjaan, tapi kemudian langkah terhenti, masih ada hal lain yang ingin saya tanyakan,

"Kapan nebangnya?"

"Sebentar lagi. Nanti juga terdengar deru mesinnya ke sana."

Setelah tadi perjalanan naik mendaki sekarang berubah menjadi turun, tapi lelah tidak pernah berubah, sama saja, dan pikulan rasanya semakin berat, bahu semakin pegel, sebab selama berjalan turun ini badan harus menahan berat tekanannya.

Sebentar lagi perjalanan akan sampai dan pikiran berputar pada pesan penebang pohon tadi. Dia menitipkan pesan supaya saya menyuruh bapak mertua mengambil daun pohon aprika untuk makanan kambing. Tapi bapak kan di sawah. Terlalu repot bagi saya untuk pergi ke sawah memberitahunya. Belum lagi kalau dianya sedang sibuk kerja, paling dia nyuruh saya buat mengambil daun itu. Daripada pergi ke sawah tidak ada gunanya, lebih baik saya sendiri saja yang mengambil.

Keringat bercucuran di dahi, tampak istriku berdiri memegang tiang menyambut kedatangan saya. Gigi rapinya dia buka memperlihatkan cerah hati dan kebahagiaannya. Sampai di dekat dia barang masih saya pikul dan baru diturunkan di dalam warung. Saya biarkan dia membuka dan membereskannya ke etalase. Lalu saya ceritakan padanya, di sana ada orang mau menebang pohon Aprika dan dia menyuruh saya supaya memberitahu bapak,

"Tapi biar saya saja yang membawanya ke sana, nanti setelah terdengar deru mesin."

Tak lama kemudian raung gergaji mesin terdengar. Saya berdiri mau pergi, "Ke rumah duku mau ngambil golok."

"Di sini juga ada." kata istri.

"Punya siapa?"

"Nini." istri lari ke dapur, kemudian muncul di pintu menyodorkan sebilah golok. Saya ambil, teliti, dan kembalikan lagi padanya.

"Saya ambil golok saya saja."

Berlari saya pulang ke rumah membawa golok tanpa sarung itu di dapur.

Kesempatan yang saya nantikan itu sekarang tiba. Akan saya buktikan golok keropos hasil temuan saya itu, yang saya kikir dan asah denga tekun, yang gagangnya saya buat sendiri dari kayu nangka itu, bisa digunakan buat kerja. Sebelumnya orang-orang mencibir saya dan mengatakan pekerjaan saya tidak ada gunanya ketika membuat gagang golok dari kayu nangka dan kata mereka, kerja saya akan susah dan sia-sia karena tekstur kayu nangka itu kacau. Tapi saat itu saya tetap melakukannya dengan keyakinan, golok terbuag ini bisa kembali berguna, dan dengan ini saya ingin membuktikan jika saya bisa menjadikan hal tidak berguna menjadi berguna.

Dan sekaranglah saatnya saya berbangga diri dengan membuktikan golok yang sudah terbuang itu bisa kembali berguna. Begitulah kata hati saat pergi ke tempat penebangan kayu aprika. Penuh semangat saya daki jalan menuju ke dekat daerah lapang dan tiba di sana saat matahari telah sangat tinggi panas menyorot. Pohon telah bergelimpangan jatuh. Tetangga saya menunjukan cara mengumpulkannya, pekerjaan ini memang baru bagi saya, dan karenanya itu suatu ilmu baru, biar pun sebenarnya kesel sama orang ini, pake ngajarin segala, mengumpulkan daun dan ranting pohon itu perkara mudah.

Daun-daun itu terus saya tumpuk tanpa menyadari berapa kemampuan pikulan saya, hingga ketika sekitar daun-daun dua pohon beres saya kumpulkan, barulah bersiap mengikatnya, masalahnya ke mana saya mesti mencari tali. Tidak mungkin mengambil tali dari pohon milik orang.

Maka mencari ke daerah lapangan dengan mata awas, siapa tahu di sana ada, dan saya dapati di sisi lapang ada pohon pisang kering, dan coba saya ambil untuk mengukat namun rapuh, dan coba mencari lagi tali lain di sisi lain lapangan.

Di satu sudut tergeletak tali bambu dengan tali itulah ranting dan daun aprika saya ikat menjadi dua ikatan besar. Sebatang bambu saya tajamkan dengan golok asal jadi tadi. Ternyata ampuh, dua ikat besar daun aprika berhasil saya pikul meski kemudian terasa berat dan lepas lagi. Saya rasakan salah satu tali pengikatnya akan lepas.

Secara asal-asalan saya ikat lagi dan coba pikul. Alangkah sakitnya punggung tertekan pemikul bambu itu. Dan seluruh badan terasa pegal menahan pikulan saat menuruni kalan terjal.

Ketika mulai tampak di kejauhan istri menyambut, saya bersikap konyol dengan berjalan terseok-seok seakan pikulan itu begitu berat, dan kuharap dia tertawa ngakak namun dia tertawa biasa saja.

Di depan warung pikulan daun dijatuhkan. Bahu terasa saki bekas tekanan bambu, padahal perjalanan membawa daun ini masih jauh. Saya harus mengantarkannya ke sawah, naik melalui gang rumah-rumah dan pinggian kaki gunung.

Lelah saya lepas di bangku warung. Istri mendekat menawarkan air gula asam gelas kemasan, dan saya tolak, dan kemudian dia menyodorkan air putih. Saya minum.

Penat reda. Perjalanan siap saya mulai lagi. Namun beda dengantadi pikulan daun akan coba saya satukan.

"Baguslah begitu," kata istri "Dahan-dahannya pangkas dulu, biar agak ringan."

Saya biarkan dia mengambol daun-daun masih berdahan dan memangkasnya hingga tuntas.

Daun siap diikat, tidak sulit lagi, kini tali dapat saya ambil dari warung, tapi rapia.

Dua ikat daun itu kini telah menyatu menjadi ikatan besar, tanpa menunda lama saya segera pikul dan bawa ke wawah meninggalkan sirti yang sibuk membereskan sisa dedaunan gugur yang berserakan di depan warung.

Mulailah perjalanan saya melewati rumah-rumah. Entah bagaimana keadaan diri saya saat itu di mata orang-orang saat mereka menyapa. Kepalaku hampir hilang dimakan banyaknya dedaunan yang saya pikul.

Hampir tiba di sawah saya agak angkat pikulan hendak melihat ke rumah orang yang dulu menghina saya habis-habisan, untuk sekedarnya saya dan dia saling menyapa agak akrab  setelahnya saya diam kembaloi.

Barangkali melihat kehidupan saya sangat sengsara dengan pikulan berat dan banyak ini, tapi bagi saya sendiri, ini sebuah kebanggan, harga diri dan identitas asli seorang desa, beginilah seorang yang hidupnya dekat dengan alam, akrab dengan alam dan bersentuhan dengan alam.

Jauh perjalanan ternyata hanya jika dipikirkan saja. Setelah dijalani, terasa semuanya singkat dan sebentar saja. Pematang-pematang panjang, jalan kecil tepi seloka yang naik dan jauh, kaki gunung terasa pendek setelah sampai ke sawah bapak mertua.

Ditakdirkan dia ada di tengah berdiri dekat gubuk, baru saja beres ngobrol dengan seseorang, dan wajahnya cerah tertawa lebar. Semua kulihat dari bawah tumpukan daun yang sedikit diangkat.

Daun dijatuhkan di depan kandang domba. Dan saya menuju bapak melewati rumah kayu kecil gudang padi. Dari jendela dapur, asap mengepul. Tercium aroma air hasil sadapan aren buat bahan gulan merah.

Bapak teriak pada Emak, "Dinginkan lahang!"

Dan tak butuh waktu lama, secangkir lahang Emak sodorkan ke samping saya.

Bapak tampak sibuk memotong kayu-kayu kering di atas jerami. Saya menontonnya sambil menikmati gula, lalu merasa kasihan setelah melihatnya tak mampu memotong sebuah dahan.

"Tangan Bapak sakit," ujarnya, "kayunya keras."

"Biar saya yang potong." saya menawarkan bantuan.

"Kalau mau ya silakan."

Dan benar saya, kayu itu sangat keras. Gergaji seringkali terselip dan macet. Tapi saya menggergaji dengan cara mengelilingi kayu, dan cara itu membuat proses pemotongan menjadi sangat lama.

Adzan Dzuhur belum terdengar padahal hari teras melebihi tengahnya. Sorot matahari terasa sangat panas. Saya coba berdirikan jari tangan di atas tanah dan tampak bayangan memanjang ke timur, dan ini pertanda waktu sudah dzuhur. Matahari sudah tergelincir ke sebelah barat.

Saya pulang tanpa pamit pada siapa-siapa. Ema dan Bapak mertua saat itu tidak ada entah ke mana. Harus pamit pada domba saya tidak mau.




Saturday, April 22, 2017

NOVEL KOMEDO

Kayaknya saya harus menulis novel komedi saja, dibuat dari keseharian dan catatan catatan masa lalu yang belum sempat saya pindahkan dari buku ke komputer. Kemudian saya bisa menambah-nambahkan biar ada kelucuan di sana.

Inilah saatnya saya menerapkan teori humor yang sekarang sedang saya pelajari

1. Sesuatu menjadi lucu jika tidak terduga
2. Sesuatu menjadi lucu karena ironi. Cara membuat ironi, membuat konsep tapi faktanya beda. Kamu itu ganteng banget, wajahmu penuh dengan korengan. Orang mengusahakan sesuatu tapi yang terjadi sebaliknya, misalnya orang berusaha mendapatkan banyak uang tapi hidupnya semakin susah. Orang berusaha menyadarkan orang lain supaya menjadi penyabar dengan marah-marah.
3. RULE OF THE THREE, jadi menyebutkan tiga hal yang prinsipnya sama, tapi yang ketiga, sesuatu yang tidak terduga. Contohnya:

TENTUKAN KARAKTERNYA: SAYA
TUJUANNYA: MENGHIDUPI KELUARGA, ISTRI
RINTANGANNYA: SUSAH, PERGI KE BANJAR, DAGANG SAYURAN, GAGAL, MALAH KE PERPUSTAKAAN, BANYAK MEMBACA
TENTUKAN JALAN KELUARNYA: SAKIT

Tidak boleh mengeluh dalam hidup ini, karena suatu saat kepedihanmu sekarang akan menjadi kisah yang sangat menarik.

Thursday, April 20, 2017

PIPIS BERSUARA

Padahal tidak seharusnya, tapi entah kenapa jika saya shalat dalam keadaan di ada Pak Isa di kantor saya suka ketakutan

Beres shalat ada panggilan, segera masuk ruangan kantor, ternyata mau rapat. Lausng duduk ke sana padahal saya kebelet pipis. Mau ke kamar mandi dulu khawatir menghambat rapat, maka langsung saja saya duduk, saya harap rapat ini pendek dan singkat.

Pak Isa membicarakan bisnis percetakan buku dari para penulis pemula, untuk menawarkan fasilitas kepada mereka. Jika naskah mereka ingin mendapatkan pengeditan ketat maka ada biaya editing, dan jika ingin mendapatkan layout menarik menambah lagi lauout. Ini sebuah pelayanan untuk membantu orang-orang, akan tetapi kita pun harus mendapatkan uang darinya.

Selesai hal itu dia sampaikan, saya kira sudah. Ternyata salah seorang peserta rapat ada yang menyampaikan rencananya melakukan pengiriman barang ke Malaysia dan ini cukup pelik karena buku yang akan dikirimkan cukup banyak. Tidak bisa dikirim hanya buku saja, tapi harus ada orang ikut ke sana. Makin panjang saja rapat. Kebelet pipis semakin mendesak-desak.

Sedang begitu, hape Pak Isa berdering, saya bahagia, berarti ada kesempatan mencuri waktu ka toilet, tapi Pak Isa terus bicara, dan hanya menoleh saja ke hapenya. Saya terus menunggu dia mengangkat hape itu dan menyebut halo, saat itulah saya akan beranjak dari kursi dan menyelesaikan desakan kebutuhan paling penting di dunia ini, dan ketika akhirnya diangkat, saya pergi, masuk toilet dan tanpa menutup pintu, saya puaskan diri dengan meluncurkan air seni ke tengah kloset, menyiram bagian airnya dan terdengar "Currrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr......."

Di luar terdengar orang tertawa-tawa. Bukannya GR tapi saya yakin sepertinya mereka membicarakan saya, dan benar saja saat keluar, semua pasang mata menatap, dan saya tersenyum saja kepada mereka, kemudian Pak Isa bicara, "Hai, kalau kencing jangan menyiram ke bagian airnya, itu  suaranya terdengar jelas ke mana-mana. Masa kamu pipis orang sekantor tahu." Disebut begitu saya hanya tersenyum, dan baru sadar ternyata itu tindakan yang sangat memalukan, namun supaya saya tidak dianggap terlalu buruk saya berkata, "Oh ya ada yang kencingnya biar tidak bersuara, itu disemperotkan ke dinding." biar mereka mikir apa yang saya lakukan masih lebih baik, tapi tidak seorang pun menanggapi.

Wednesday, April 19, 2017

SETIAP PAGI TERBANGUN

Setiap pagi terbangun sambil berkata dalam hati, HARI INI SAYA HARUS BISA MENYELESAIKAN SEBUAH BUKU.

Atau kalau tidak, HARI INI SAYA HARUS KHUSYUK MENGGARAP BUKU.

Novel ang sedang saya garap harus saya teruskan dan menulisnya dengan indah, dengan senang hati, seharian ini.

Akan tetapi biasanya apa yang terjadi?

Siangnya tidak mengerjakan apa pun, pikiran kacau, malah melakukan hal lain, dan akhirnya, saya tidak menghasilkan seperti apa yang direncanakan.

Lebih banyak nonton video tidak berguna, membaca hal-hal lain yang tidak berhubungan, banyak makan, ngantuk, dan penjualan sepeser pun tidak menghasilkan.

Facebookan, posting sana posting sini, komen sana komen sini, tidak terasa siang, kemudian sore, kemudian malam, tengah malam, dan tidak terasa sampai lagi ke waktunya tidur dan belum menghasilkan apa pun yang berarti.

Seperti pagi ini, terbangun karena mau pipis, dan ketika membuka mata, maka yang teringat adalah menulis. Kemudian turun, membuka laptop, membuka facebook, menulis beberapa kalimat di blog yaitu tulisan ini, tanpa saya tahu akan menjadi karya atau tidak.

Saya menulis sudah lama sekali dan sudah menghasilkan banyak tulisan, tapi entahlah, saya tidak tahu tulisan tersebut tidak menjadi apa-apa. Tidak menjadi sebuah buku yang layak dijual. Saya tidak tahu apa sebabnya.

Lama-lama bingung mau meneruskan dengan tulisan, apa, terasa perut menjadi mulas, badan diruntuhkan ke kursi sebelah, agak lama merasakan kepala berat, kemudian saya pikir, ini mungkin perut yang mau mengeluarkan isina. Ke toilet, membuang, dan saat itu, terpikir segala macam yang membuat kepala pening rasnya. Terpikir saya yang banyak mengalami kegagalan dan belum juga menghasilkan karya, tapi pikiran itu segera saya singkirkan dan kembali mengingat untuk menikmati saja apa yang ada sekarang, tidak mengingat apa pun yang memusingkan, tapi menikmati saja ketenangan sekarang. Sekarang sedang berada di kamar mandi, tidak perlu memikirkan hal lain karena itu sangat memberatkan kepala.

Waktu shubuh datang tidak segera bersuci dan shalat, tapi terus saja main lap top, menulis blog, membuka facebook, malah sempay-sempatnya melihat artis Seng Lotta, hanya untuk memastikan mirip tidaknya dia dengan salah seorang teman saya di Tasikmalaya.

Karena handuk di lantai tiga, saya naik dulu ke sana, ke luar ke ruangan torn di bawah kanopi tempat di mana saya memasang jemuran untuk mengeringkan handuk. Mengambilnya dan turun kembali ke lantai satu untuk mandi di sana. 

Saya selalu meniatkan kepada diri sendiri untuk melakukan mandi dan wudlu dengan segera, tapi tidak. Sebelum mandi malah bercermin dulu melihat rambut yang mengembang dan acak-acakan. Ada sehelai uban di sebelah belakang, kemudian tangan tergoda untuk mencabutnya, tapi susah, dan kubatalkan, dan itu menghabiskan waktu saja. Mencabut uban itu tidak ada gunanya.

Setelah mandi, kembali naik tangga, dan selalu saya jarang naik tangga dengan tenang, selalu dengan setengah berlari, atau berjalan cepat dengan melewati beberapa anak tangga, biar segera sampai ke atas, memakai baju, dan sarung kemudian mengambil sajadah dan melaksankaan shalat shubuh. Dimulai dengan shalat sunnat, namun anehnya ingat shalat itu di awalnya saja, seterusnya, pikiran entah terbangb ke mana, tahu-tahu shalat sudah sampai ke salam dan selesai.

Wudlu seperti biasanya, dengan was-was, tidak bisa memulainya dengan lancar. Padahal tinggal membasuh muka dengan sengaja, tapi entah kenapa di bagian itu saya suka merasa berat, dan pikiran suka tiba tiba menjadi kacau. Padahal saya ingin segala sesuatunya saya lakukan dengan lancar dan penuh keyakinan.


==== 


Rutinitas saya setiap pagi adalah keluar mencari jajanan. Terkadang nasi uduk, terkadang bubur ayam. Tapi karena penjual nasi uduk menaburkan irisan telur langsung dengan tangan tanpa sendok, saya jadi tidak suka melihatnya. Itu tangan kan habis megang apa belum dicuci.

Tukang bubur ayam juga begitu, mengambil suiran ayam dan kerupuknya langsung dengan tangan tanpa alat, saya jadi sungkan. Kenapa ya mereka tidak punya rasa empati kepada pembeli? Apa tidak berpikir ya kami itu merasa jijik kerupuk dan suiran ayam itu dipegang langsung. 

Makanya sekarang saya tidak mau lagi beli, lebih baik ke warung sebelah, membeli dua buah roti dua ribuan dan satu buah biskuit seribuan. Paket hemat lima ribu rupiah langsung kenyang, ngantuk, dan pagi bisa kembali terhiasi dengan badan lelah dan ketiduran. Selamat bobo.


====

Bangun tidur saya langsung membuat video, meniru para artis itu yang merekam kesehariannya sendiri untuk diposting di youtube. Sangat tidak penting, tapi saya khawatir suatu saat ini sangat penting.


MENULIS BUKU HARUS MULAI DARI SEKARANG

Tangan ini menjamah pahanya kemudian kuangkat, dan kulemparkan. Itu paha manekin di gudang. Tadi saya memindahkannnya karena menghalangi jalan. Jadi teringat istri di rumah, tapi kamu tidak perlu menanyakan apa hubungannya.

Pokoknya aku jadi teringat istri di rumah. Apa jika aku hidup bersama dia setiap hari akan mendapatkan kecukupan uang dan makan seperti yang kurasakan sekarang?

Jika aku tinggal di rumah, sanggupkah aku menghidup istri dan anak?

Sanggupkah aku menghidupi istri dan anak dengan hasil dari menjual tulisan?

Aku sudah mendapatkan rumus membuat cerita yaitu, MEMBUAT KARAKTER, BERIKAN TUJUAN, KASIH RINTANGAN, KEMUDIAN BERI PENYELESAIAN, itu rumus cerita, tinggal mempraktikkannya.

Aku juga punya modal yaitu keluarga yang darinya aku bisa menuliskan kisah selama aku di rumah. Kisahku bersama istriku, berbagai drama bersamanya, berbagai percakapan bersama si nai, dan banyak hal untuk melukiskan keindahan di rumah. Semua itu bisa menjadi bahan tulisan yang bisa dibukukan yang jika ditawarkan kepada orang mungkin mereka akan penasaran, karena selama ini mereka telah mengenal tulisan saya.

Tentu saja supaya mereka percaya dengan kualitas tulisan saya, harus saya edit dulu buku yang ingin saya jual itu dengan editan keras sehingga saya sendiri sangat suka dengan tulisan saya. Istri saya suka dengan tulisan saya, dan orang lain pun suka dengan tulisan saya.

Kapankah aku akan memulainya?

Sekarang juga.

Sekarang juga saya harus mulai menggarap buku, sehingga nanti dari hasil penjualan buku ini saya sudah mempunyai modal untuk bekal saat menulis di rumah, biar sambil menulis di rumah saya sambil menerima orderan buku dari orang-orang.

Tapi buku apa yang bisa saya garap sekarang.

Saya bisa menulis tentang segala hal di sini, segala yang saya lakukan dalam keseharian dengan gaya saya sendiri tentu saja, memakai sastra. Tentang saya yang merindukan keluarga, tentang saya dan barang barang yang ada di kantor saya, tentang saya yang sehari-hari ngopi, tentang makan, tentang meja yang berantakan, apa lagi ya, tentang saya dan buku-buku, tentang kecemasan, tentang ketakutan, banyak hal bisa saya bicarakan dalam buku yang ingin saya garap.



Sesederhana apa pun moment kebersamaan dengan anak saya berusaha menuliskannya, karena itu sangat berharga. Bersama dengan dia hanya 3 hari dalam sebulan, itu pun dipotong dengan jam sekolah karena saya tidak mungkin membersamainya di kelas. Dulu pernah membersamai anak di kelas, tapi kemudian istri membahasnya di rumah karena saat di kelas saya ngobrol banyak hal dengan seorang ibu guru yang masih muda, dan si ibu guru muda itu menyampaikan apa yang saya obrolkan dengan dia kepada istri saya. Sialan!

Moment-moment sederhana di rumah langsung saya catat di iPod punya Mbak Asma Nadia yang bisa saya bawa-bawa. Saya tulis dengan singkat saja, garis besarnya, kemudian tulisan itu saya bawa ke kota dan setelah ada kesempatan, saya buka kembali dan garap menjadi cerita yang lebih panjang, sambil menghiasinya dengan candaan-candaan.



Tapi sekarang setelah sehari semalam di kantor, jauh dari keluarga, saya merasa tidak ada lagi yang bisa saya tuliskan. Tidak ada lagi kebersamaan dengan si nai dan percakapan dengannya yang menarik buat saya tuliskan, tidak ada lagi kebersamaan dengan istri, jauh dari rumah dan kasurnya yang nyaman, jauh darin makanan enak masakan istri saya, jauh dari wanginya baju yang istri cuci dan setrika. Rasanya tidak ada yang bisa saya ceritakan.

Padahal sebenarnya masih ada, bahkan banyak, saya bisa menceritakan banyak hal. Din meja kerja saja banyak hal bisa saya ceritakan.

Saya bisa merenngkan botol teh yang isinya baru saja saya habiskan kemudian menuliskannya,. Siapa tahu hasil perenungan itu memberikan kesimpulan jika botol itu sebenarnya mengandung pesan perdamaian, botol itu memberikan pesan cinta, atau mungkin nasihat tentang kebahagiaan. Potongan-potongan kertas berserakan itu sebenarnya bisa diceritakan, meja kerja, gelas plastik bekas minuman, minyak wangi yang kubeli, buku harian, colokan, listrik, jika direnungkan, sebenarnya itu bisa menjadi cerita menarik yang layak dibagikan kepada orang-orang, dan supaya tulisan itu berharga saya harus bisa merenungkan filosofisnya, membahas sejarahnya, merenungkan pesan moralnya, dan cerita cerita seputar benda itu yang pernah terjadi di dunia.


Tuesday, April 18, 2017

PENGALAMAN PAS KERJA DI PLN

Kamu masih ingat bukan waktu itu, saat kita rasakan hidup penuh kekurangan, diam di rumah tidak menghasilkan uang, kamu meminta saya pergi. Ya sudah, saya berangkat dalam keadaan tidak tahu mau mencari kerja apa dan ke mana. Singgah ke rumah orang tua, saya curhat kepada mereka, kemudian Bapak menyarankan supaya pergi saja ke Banjar. Beberapa waktu lalu, Teh Enah, kakak sepupu saya, menceritakan di sana banyak peluang jualan sayuran. Tinggal menyediakan lapak berupa hamparan, nanti bakal ada pemasok sayur datang dan kita tinggal menunggui dan menjual. Itu laris sekali.

Saya tertarik, maka berangkatah ke sana.

=====

Buku tulis lusuh ini saya bawa ke mana-mana, ke meja kerja, ke warteg saat makan, ke tempat tidur. Sudutnya udah rampung-rampung dimakan kecoa. Di dalamnya banyak sekali gambar karya anak kecil. Gambar ayam sedang mematuk makanan, gambar jari dipasang cincin, gambar kupu-kupu, gambar ular hijau. Ini memang buku tulis bekas keponakan saya. Sebagian halamannya masih tersisa, kemudian saya manfaatkan buat menuliskan apa saja yang ingin saya tuliskan saat itu, saat masih kerja sebagai petugas tukang tagih di Perusahaan Listrik Negara.

26 Februari 2009

Catatan ini saya buat ketika masih kerja sebagai kerka PLN freelance alias tidak resmi alias bebas alias gajinya tidak menentu. Kerja di sini saya mendapatkan tugas menagih ke rumah orang-orang yang telat bayar, dan jika berhasil, saya mendapatkan komisi empat ribu rupiah dari setiap tagihan.

Teras rumah sederhana ini hanya semen tanpa keramik. TV disetel dengan volume keras, maka salam saya teriakkan dengan lebih keras.

Melihat nama, sepertinya pemilik rumah ini orang tua. Tapi setelah saya mencatat nomor Kwh listrik, seorang pemuda muncul Mungkin ini anak pemilik rumah ini, pikir saya.

Sangat kaget ketika saya menyebutkan nama yang tertera di kwitansi tagihan, dia mengaku itu adalah namanya. "Kapan mau bayar?"

"Biasa, tanggal satu." jawabnya ketus.

Tanggal satu lewat sebulan, umpat saya dalam hati. Tidak tahu malu banget orang ini, di depan pegutas PLN dia biarkan televisi menyala keras, sedang listriknya tidak mau dian bayar segera!

Saya serahkan kertas kwitansi kepadanya,

"JEBRUG!!!' suara pintu dibanting terdengar saat saya pergi meninggalkan rumah itu. Batin jadi tertekan. Kok pekerjaan saya seperti ini, menagih listrik kepada orangb yangb tidak mau bayar.

Dan lebih tertekan lagi saat menuju rumah berikutnya, naik bukit, dan karena pagi hari ini ngantuk, badan terasa lemas.

Rumah sederhana lagi yang saya datangi. Rumah seperti ini mudah ditebak, pasti pemiliknya akan susah bayar. Dan benar saja, "Uangnya kurang, hanya sepuluh ribu rupiah." katanya beralasan, sedangkan di kertas kwitansi tertulis delapan belas ribu rupiah.

Seterusnya dari rumah ke rumah saya berjalan tanpa hasil. Kertas masih banyak, dan jarak dari rumah ke rumah sangat jauh, jalannya terjal-terjal, tinggi-tinggi. Seorang ibu yang ditanya menunjuk rumah Pak Dahuri di belakang madrasah.

Saya berjalan ke sana tanpa harapan, tanpa semangat. Berjalan hanya sebatas menunaikan kewajiban seorang suami yang mempunyai kewajiban menghidupi istrinya di rumah. Ketika sampai, tampak seorang kakek jompo ditemani istrinya yang juga sudah tua tengah duduk di bangku kayu. Orang-orang semacam ini selain susah bayar, pasti akan susah ditanya karena pendengarannya sudah mulai berkurang. Setelah dekat, benar saja tampak telinga si kakek tinggal dua.

Maka saya datang ke sana tanpa permisi dan langsung saja melihat kwh listrik, mencatat nomor.

"Berapa yang harus dibayar semuanya?" tanpa diduga si nenek bertanya.

Saya sebutkan sejumlah uang, dan si nenek masuk rumah mengambil uang dan saat keluar, sambil menyerahkan uang dia berkata, "Tuh, rambutan metik!"

Tadi saat datang ke sini tidak kelihatan pohon rambutannya berbuah. Sekarang setelah diberitahu saya teliti, ternyata di ujung ranting-ranting banyak buah bergelayutan. Setahu saya buah dari rambutan dengan pohon tinggi begini rasanya kecut, selain dagingnya pun susah lepas dari biji, jenis rambutan yang bahkan kampret pun sungkan mencurinya. Sebenarnya enggan memetiknya, tapi lumayan buat hiburan mulut.

"Enak?" tanya saya dengan kurang ajarnya. Saya itu mau diberi bukan harus membeli, pake nanya enak dan tidaknya segala.

"Enak, tuh metik aja!" suruh Si Kakek, "Pake bambu metiknya. Tuh." dia menunjuk ke samping rumah.

Dan rambutan itu sangat mudah dipetik. Cukup ujung bambu dijepitkan, diputar sekali, rantingnya langsung patah. Baru sekali petik, penasaran langsung saya coba pencet sebiji, keluar biah putih lonjong dari dalamnya. Disantap ternyata manis dan tidak lengket dengan bijinya. Bisa dipisah.

Maka segala pikiran buruk tadi berubah total. Perjalanan hidup selalu tak terduga. Kakek nenek ini ternyata masih normal, pendengarannya masih baik, dan berbeda dari yang lain, dia dengan sangat mudah membayar dan juga baik hati sekali, membolehkan memetik rambutannya.

Ketika saya duduk di teras menelan satu persatu buah, si kakek menyuruh memetik lagi. Tidak saya sia-siakan, langsung memetika lagi, merasa terlalu banyak, memetik saya hentikan, tapi si kakek masih menyuruh,. Si Nenek ambil keresek besar, dan kini Eno teman kerja saya meneruskan memetik, sampai sekeresek besar itu penuh sekali rambutan.

Dalam sekali terima kasih saya ucapkan.

"Kalau punya cucu, mungkin cucunya pun diberikan." ucap saya ceplas ceplos pada Eno.

Si Nenek ternyata menderngar, "Oh memang ada, dia sering manggung."

Kemudian dengan bangga si nenek menceritakan cucunya. Dalam kepala saya terbayang lenggak-lenggok seorang gadis berjoget sambil menyanyi dangdut. Saya hanya tertawa dalam hati. Seberapa banyak sih laki-laki yang benar-benar berselera pada perempuan pedandut.

Sekeresek besar rambutan berhasil saya gondol dari pasangan orang tua ini.

"Ada juga ya orang yang sudah mah dia mau bayar, mau pula dia memberi."

Tiba-tiba rute perjalanan di depan ini menjadi sangat menyenangkan. Jalan kamung turun memanjang, mengitari perkebunan karet. Pemandangan baru bagi saya di hari-hari ini. Allah Maha tahu pada sifat cepat bosan manusia, menjadikan dari hari ke hari kehidupan saya tidak sama, terus unik dan berbeda. Jalan kampung yang berbeda dari kampung saya. Di sini jalan kampung bahkan dihotmik seperti jalan kota, dan di suatu cabang jalan, dua ekor anjing hampir tertabrak motor kami.

*  *  *

Apa yang kulakukan malam harinya di sana?

Tidak seperti di rumah yang malas shalat ke masjid, di Kota Banjar ini pergi ke masjid terus, karena shalat di rumah suasananya kurang mendukung. TV menyala nyaris sepanjang hari sampai malam.

Malam jumat ini anak-anak ramai berdatangan. Seorang kakek datang ke masjid sebelum isya. Berkali-kali dia tanyakan berapa menit lagi ke waktu Isya. Sengaja dia datang ke sini sebab malam ini di mesjid ini akan ada pengajian. Tampaknya dia sudah tak sabar ingin segera waktu isya.

Sama dengan saya yang juga tidak sabar, ingin segera masuk waktu isya. Bahan peledak sudah sangat berdesakan di dalam pantat, telah agak lama kentut ini ditahan. Malas wudlu lagi. Tibanya waktu isya terasa begitu lama.

Waktu Isya datang setelah shalat. Rasanya ingin pulang saja. Ngantuk, tadi siang makan kangkung Tapi kabarnya, pengajian di sini biasa bagi-bagi snack, jadis ayang bila saya tak mendapatkanna. Parah, selera rendah.

Di samping itu ada penasaran lainnya, kalau penceramahnya menyenangkan, lumayan ilmu saya bertambah. Maka saat pengajian saya antusias, "Tapi bagaimana dengan sumbangan ke Palestina, lalu dijadikan iklan di TV untuk kampanye partai?"

"Oh, itu sedekah disalahgunakan, tidak boleh."

Dan interaksi tanya jawab itu membuat kepala ini kembali segar, saya pandang sekali lagi memastikan bahwa, nggak mungkin ikut memikirkan pertanyaan saya. Karena jelas-jelas di TV di muskim kampanye ini, kebaikan-kebaikan dikamera dan disiarkan untuk menarik simpati rakyat.

*   *   *

Rumah Teh Enah sangat ribut. Malam di kamar mau tidur tidak bisa tenang. Suara sinetron terdengar memenuhi rumah. Sekarang saya sedang terbaring tidur di kamar, di atas kasur keras saya mencari-cari sisi nikmat tinggal di sini. Mencari sisi nikmat dari terganggunnya tidur oleh suara TV di depan kamar.

Sineteron sedang berlangsung.

Sambil memandang pulau pada dinding kamar yang terbentuk dari kelupasan-kelupasan tembok, saya dengarkan baik-baik dialog dalam sinetron itu. Dibayangkan seolah-olah itu sandiwara radio yang dulu sering saya tunggu dan setia saya nikmati dari radio bapak mertua. Ternyata menyenangkan, Dari ucapan ke ucapan tokohnya, sambung menyambung, imajinasi saya bermain, membayangkan orang dengan raut wajahnya saat mengucapkan sebuah kata. Sangat menyenangkan.

Ribut suara TV malah menjadi sebuah kesenangan, membawaku kepada kenangan indah, yang hasilnya, kasur keras terasa menjadi sangat empuk.

*   *   *

Di rumah Teteh ini lantai kotor, tumpukan cucian dibiarkan. Sampah di halaman ditolelir, tidak ada paksaan pada anak-anak untuk bersih-bersih. Tapi orang tua berbuat yang terpenting, memenuhi kebutuhan mereka.

Ini membuat saya merasa betah dan merdeka tinggal di sini. Berbuat berbuat berdasarkan inisiatif dan kebebasan memilih. Kerja cara ini lebih bersemangat daripada disuruh-suduh.




HUMOR ADALAH

Tadi mas jalan mencari makan dapat inspirasi untuk membuat cerita.

Ceritanya

Suatu malam saya dirampok seorang penjahat. Gila, dia menodongkan pistol "Berikan semua barangmu! Kalau tidak, lihat ini."

Tapi saya tidak takut, paling itu pistol bohongan, maka dengan tenang saya bertanya, "Itu ada pelurunya nggak?"

Dia jawab, "Eh pake nanya! Ya ada lah, lihat ini."  dia arahkan moncong pistol itu ke kepalanya, menarik pelatuk, dan "DORRRRR!!!" dia jatuh dan mati.

Buset!! Ternyata benar ada pelurunya! Saya jadi takut, maka semua barang dalam tas saya serahkan sama dia.

=====

Humor adalah melanggar logika, menghancurkan ekspektasi, dan memberikan sebuah kejutan


Monday, April 17, 2017

BUNGA CENTE MANIS

Meski kata-kata ini sangat kuno dan menyebalkan, saya akan tatap menuliskannya: SAYA SANGAT MENCINTAIMU

Baru beberapa hari meninggalkan rumah, kerinduan di dada berdesakan lagi. Tapi saya laki-laki, harus tegar. Ini perjalanan saya menuju cita-cita.

Gambaran masa depan di kepala saya, hidup di kampung, di rumah menghidupimu, tak mau seperti orang lain, tak mau sama dengan tetangga-tetangga kita, saya hanya ingin di rumah, diam di kamar manghadapi laptop menulis karangan. Diam di kamar bersenang-senang dengan buku-buku, membaca-baca, namun tetap bisa menghidupimu dengan honor tulisan-tulisan saya.

Kamu tahu mpian saya impian yang selalu membuatmu tertawa dan benci. Karena kegemara saya yang satu ini tak kunjung pula menghidupi. Memang salah saya, tak pernah mengirimkannya, karena tak pernah mengetiknya, karena komputernya tak punya. Namun itulah impian yang tak mungkin saya lepaskan sampai kapan pun.

Dan saya gembira cita-cita itu masih terpegang erat sampai hari ini, sejak memproklamasikannya dulu delapan tahun lalu di depan kelas, disaksikan guru, kawan-kawan dan gemuruh deras air selokan di sebelah belakang: SAYA INGIN MENJADI PENGARANG.

Biarlah keterpisahan ini menjadi proses. Saya ingin kerja di Banjar dan tinggal di Teteh sebab di rumahnya ada komputer. Dengan komputer itu saya bisa mengarang, dan bila nanti karangan itu laku dijual dan uangnya cukup untuk membeli laptop, insya Allah saya akan pulang.

Sungguh saya sangat tak tega membayangkanmu malam-malam begini di rumah mematikan lampu-lampu rumah sendirian di kamar. Karena itu ingatlah pesan saya sebelum berangkat beberapa hari lalu: "Rawatlah bunga CENTE MANIS itu. Jangan lupa menyiramkanya bila hari tidak turun hujan. Beri lagi pupuk bila tampak pohonnya menjadi kurus dan jagalah bunga bunganya dari gangguan ulat."

Barangkali dengan cara itu kamu akan terus merasa dekat dengan saya, sebab hanya saya yang mau merawat bunga dari semak belukar itu, sedangkan orang lain meski bunga ini kelihatan sangat indah, di kampung kita tidak seorang pun di kampung kita tidak ada yang mau merawartnya.

STAND UP

Mengerjakan sesuatu itu harus dengan perlahan dan penuh ketertiban. Jangan tergesa-gesa sebab tergesa itu bisa menyebabkan kesalahan. Kecuali kalau Anda mempunyai kelihaian seperti saya. Contoh sederhananya saja memakai celana. Tadi saya memakai celana dengan lincah. Hanya dengan beberapa gerakan, celana sudah terpasang. Siap jalan ke meja kerja, terraba oleh tangan, kenapa sakunya menggantung di luar gini ya. Saya lihat, ternyata kebalik.

--------------------------

Saya ini orangnya tidak suka biasa-biasa. Tidak mau seperti orang kebanyakan. Dari dulu ingin menjadi orang luar biasa. Mau lebih hebat dari mereka. Misalnya waktu sekolah, orang lain pulang, saya ikut olah raga beladiri karate, silat, biar jadi jagoan seperti Power Ranger. 

Hari itu mau ujian praktek silat, mau dinilai. Orang lain diam, santai, saya aksi-aksian di kebun samping sekolah, biar kelihatan hebat. 

Kebun itu baru saja dibabat, dibersihkan dari semak belukar dan rerumputan. Tumbuhan-tumbuhan merambat masih berserakan. Saya buat tumbuhan itu jadi tali, trus diikatkan dari pohon kelapa ke pohon jambu mete. Untuk melakukan loncat tinggi. Saya akan melakukan aksi loncat tinggi pake tongkat melawan seorang teman.

Si teman ini badannya pendek. Dengan sebuah tongkat, dia mengambil ancang-ancang, lari, dan meloncat. 

Sempurna! Dia bisa melewati tali dengan baik. 

Hah!!! Badan saya lebih tinggi. SAYA BISA MELONCAT DENGAN LEBIH HEBAT.

Bersiap, mengambil ancang-ancang, lari, dan meloncat dengan sebuah tongkat, dan loncatan saya lebih hebat. Jadi saat melalui tali, kaki saya tersangkut. Terjerat, maka badan jatuh ke bawah tali dan kepala duluan menuju tanah. Itulah hebatnya saya. Teman saya tidak melakukan itu. Dia mah biasa-biasa. 

Malah itu masih kurang hebat. Karena pas mau jatuh ke tanah itu, tangan kiri saya berusaha menahan kepala sampai sikut patah, sendi tulang nyaris lepas. 

Kurang luar biasa apa coba saya? Teman saya tidak mungkin bisa melakukan itu. Anda juga yang membaca ini saya yakin tidak ada yang berani melakukannya.

Saya? Hmmmh, tidak mau meloncat biasa-biasa!

Karena patah, dibawa ke tukang urut. Besoknya, datang lagi ke sekolah dengan penampilan luar biasa! Tangan kiri dibalut kerudung emak dan digantungkan ke leher. Teman sekolah tidak ada yang pake begituan. Saya doang. Saya memang orang hebat luar biasa.


=====


Biar kelihatan gagah dan laki banget, saya mau nulis tentang politik ah.

Kekacauan perekonomian negeri ini diakibatkan pemerintah yang kurang bijak menangani permasalahan. Coba kalau saya yang jadi presiden, dijamin deh lebih amburadul. 

Korupsi masih membudaya dan susah dibuang. Masih banyak pejabat senang mengambil uang yang bukan haknya. Kayaknya menyelesaikan masalah korupsi itu susah banget. Coba kalau saya jadi pejabat? Korupsi itu urusan gampang! Pasti bisa saya selesaikan. Jadi setiap kali saya mendapatkan kesempatan memegang uang, akan saya lakukan kegiatan korupsi sampai selesai. 

Bagaimana mungkin saya tidak korupsi, lihat saja sekarang, jadi rakyat jelata saja suka bicara seenaknya sama orang lain, bagaimana kalau jadi pemerintah, yang merasa punya wewenang dan kekuasaan, pasti akan lebih seenaknya lagi berbicara dan bertindak pada orang lain.

Gimana, sudah bagus belum tulisan berbau politik punya saya?

Kayaknya belum ya. Belum dilengkapi istilah-istilah keren gitu. Saya coba deh.

Penyelesaian ekonomi di negeri ini semakin terdistorsi dengan reboisasi di tingkat milisi dengan musisi. Infrastruktur yang kurang memadai itu diakibatkan oleh sanitasi yang semakin membudaya di kalangan otonomi daerah. Itulah sebabnya fluktuasi keuangan negara yang kurang signifikan mengakibatkan lemahnya daya beli di tingkat marginal.

Kok makin puyeng ya?

Ada yang punya obat cacing?

SI NAI SUDAH PINTAR

Sejak SMA saya sudah mempelajari pengasuhan anak. Ini kegenitan, saat itu sudah ingin menjadi bapak. Sayangnya belum ada yang mau jadi ibu buat anak saya.

Dan butuh waktu lama untuk mencari orang yang mau. Sampai akhirnya ada seorang wanita kampung dari daerah gunung. Dia mau.

Saya menikahinya dalam keadaan tidak saling mengenal. Karena kalau dia sudah kenal saya, bahaya, bisa-bisa menolak, tidak mau menikah dengan saya. Soalnya saya dengan dia punya perbedaan yang sangat prinsipil. Dia suka pria, saya suka wanita.

Diberikan anak cerdas itu kebahagiaan.

Semakin besar, semakin pintar bicara, sudah bisa membaca buku, sudah bisa membaca Al-Qur'an, sudah bisa menasihati orang tua.

Kami makan bersama, dia langsung ngeh saya lupa berdoa, "Bapak kok tidak Allahumma bariklana?"

"Oh iya ya." 

Setelah kencing, dia teriak dari dalam rumah, "Pak, setelahnya siram lagi ya!"dia mendekat, kemudian menceduk air, dan memberi contoh menyiramkan ke kloset, "Begini nih!!"

Dia menguap, tidak menutup mulut, dinasihati ibunya, "Nai, kalau nguap itu tutup, kalau tidak, setan bisa masuk ke mulutmu."

"Setan tuh banyaknya di mulut mamah. Suka marah-marah melulu sama Nai."

Sunday, April 16, 2017

MAIN PLANT SAMA SI NAI

Menjadi orang tua harus dewasa dan bijak. Harus pandai memilihkan permainan buat anak. Jangan terseret arus zaman dengan membiarkan anak main game di handphone, sebaliknya kenalkanlah mereka dengan permainan di alam. Contohnya saya, pulang ke rumah, mengajak anak saya yang baru berusaha 5 tahun itu bermain permainan yang bernuansa alam, yaitu "Plant and Zombie".

"Wah Pak ini lebih besar!" katanya mengagumi iPod yang saya bawa, yang sebelumnya dia main pake hape iPhone kecil.

"Dengan ini kita bisa main bareng. Bapak mengurus tanaman, Nai yang mengumpulkan mataharinya,"

"Ayo!! Asiiiiikkk!"

Sebenarnya itu cuma modus  biar saya tetap bisa main game seru itu.

Saya tengkurap di lantai, dia duduk di samping. Sementara telunjuk saya sibuk bercocok tanam, telunjuk Si Nai menunggu matahari dan jika muncul langsung dia sentuh. "Krulung!!!" terdengar suara bersama tambahnya point.

Tapi mungkin karena bosan, lama-lama jari Si Nai tak hanya menyentuh matahari, tapi juga ikut-ikutan menanam. Saya jadi sebel.

"Heh!! Nai mengumpulkan matahari saja, biar Bapak yang menanam."

"Oh iya."

Zombie semakin banyak, suasana makin sibuk, akibatnya sekarang saya yang lupa. Melihat matahari banyak bermunculan, saya sentuh dengan telunjuk, dan "Krulung!!!" point bertambah.

"Matahari kan bagian Nai! Jangan sama Bapak!!"

"Itu karena Nai malah membiarkan saja tidak mengumpulkannya, jadi Bapak kumpulkan." saya mencari-cari alasan. Padahal sebenarnya lupa.

Lama-lama jadi kacau. Pembagian tugas sudah tidak jelas lagi. Tangan anak usia lima tahun, dan bapak-bapak usia kelapa tiga berlalu-lalang tak karuan. Yang menjengkelkan, kalau tangan Si Nai menyentuh sekop, lalu menyentuh tumbuhan penembak dan akibatnya jadi hilang.

Sudah cape-cape menanam sekarangb malah dihapus. Mana Zombinya sudah banyak lagi. Kalau pohon penembaknya kurang, Si Zombie bisa menyerang otak.

Dan benar saja, otak saya kena Zombie .....

"Aduh!!! Nai mah gak seru! Sudah ah Bapak mah. Silakan Nai bermain sendirian!!"

Dengan jengkel saya tinggalkan, dan membiarkannya main sendirian. Begitulah saat di rumah. Sekarang saya sudah kembali menginap di tempat kerja. Kalau ingat lagi kejadian itu sekarang, tiba-tiba menyesal. Kok saya begitu ya. Kasihan Si Nai tidak punya Bapak dewasa.

CARA MENGEMBANGKAN MATERI KOMEDI

MEMBUBUHKAN ANALISA GEMBEL

Cara mengembangkan materi stand up komedi yang berupa story telling adalah dengan menambahkan kepadanya analisa gembel.

Orang stand up komedi mengistilahkanya dengan  SET UP.

Untuk menulis komedi, Raditya Dika menyarankan supaya tulis aja set upnya dulu sebanyak-banyaknya. Urusan menambahkan komedi nanti saja belakangan.

Setiap fakta bisa sambil ditambahkan candaan-candaan.

Saya mau mencoba menulis setupnya, dan nanti mungkin akan ditambahkan candaan-candaannya di belakang.

Mengawali pagi dengan menyisir rambut. Di depan wastafel, menghadap cermin, saya menyisir rambut. Sewaktu awal menikah, inilah gaya tata rambut kesukaan istri saya, belah tengah. Tapi itu dulu, pas awal-awal menikah. Sekarang, belah rambut sisi, atas, belakang, tengah, atau campuran semuanya, istri saya tak pernah peduli, soalnya dia jauh, di kampung sana.

Gaya rambut menandakan keperibadian seseorang.

Yang selalu memakai peci, mungkin ada masalah dengan rambutnya. Orang belah tengah, itu menandakan orang yang mencintai keseimbangan, belah kiri, orangnya dominan otak kanan karena rambutnya sebagian besar ada di sebelah kanan, orang semacam ini mencintai seni dan kreativitas. Orang yang sisirannya belah kanan, ini dominan otak kiri, menyukain matematika, perhitungan akurat, dan detail. Orang dengan sisiran ke belakang, mempunyai kecenderungan senang mengingat-ingat masa lalu. Yang sisirannya ke depan, sangat ambisius untuk menggapai kesuksesan di masa depan. Pria dengan sisiran acak-acakan, menandakan senang mempunyai hubungan rumit dengan banyak orang. Pria dengan sisiran bentuk tintin, dia punya bakat kerja di pertambangan, rambutnya bisa dipake mesin pengeruk.

Godaan terbesar saya bukan baju, bukan sepatu, bukan akhwat berkerudung biru meskipun dia rela dimadu. Godaan terbesar saya sekarang adalah buku. Sepulang membeli Al-Qur'an dan buku KISAH 1001 MALAM, melewati pasar kaget, menghentikan sepeda di dekat obralan buku. Sudah tua, lusuh dan terlihat lama buku-bukunya, tapi itu yang membuat saya tertarik siapa tahu harganya murah. Terus melihat-lihat sampai saya temukan sebuah buku berjudul "SITI NURBAYA", saya tanya harganya berapa? dia jawab, 7000 rupiah. Wah sangat murah, padahal di toko saya yakin sudah tak bisa lagi dibeli dengan harga 50.000 rupiah.

Lewat ke tukang sandal, saya lihat cantik-cantik sekali. Sebagai ayah, saya teringat kepada anak. Sebagai suami, saya teringat kepada istri. Keduanya sangat senang berganti-ganti sandal. Kalau saya belikan pasti mereka bahagia. Dan ketika melihat harganya, sangat murah 15 ribu dapat dua pasang. Wah, bisa sekaligus membeli buat istri dan anak. Maka saya berhenti, membeli 2 pasang, dan sampai ke kantor diposting di instagram, Rp. 25000, dan kalau terjual berarti saya dapat keuntungan Rp. 10.000. Mungkin Anda protes, "Katanya tadi buat istri dan anak!"

Gak peduli, ini urusan saya. Kamu tidak perlu ikut campur ya!! Sekali lagi ini urusan saya, kamu tidak perlu ikut campur!! Kalau terjual lumayan.

Dan ternyata ada orang komentar, dua orang. Dari Sidoarjo dan dari Jakarta, kedua-duanya mau pesan. Saya jawab, "Baik Mbak" kemudian saya kasih tahu total yang harus mereka transfer.

Kamu pasti masih protes, "Gimana sih, katanya tadi buat istri dan anak!!

Gak peduli!! Ini urusan saya. Yang beli sandal saya, dengan uang saya. Apa kamu ikut menyumbang? Tidak bukan? Nah, jadi tidak perlu ikut campur! Ya!!! Terserah saya!!

Karena merasa laku, akhirnya saya pergi lagi pake sepeda mencari tukang sandal tadi, membeli 2 pasang lagi. Buat dijual.

Kamu mungkin bertanya, "Terus buat istri dan anak gimana?"

Saya sarankan, sebaiknya kamu diam!! Sekali lagi, TIDAK PERLU IKUT CAMPUR URUSAN SAYA!!!



====

PRIA IDAMAN

Seorang pria idaman yang digandrungi kaum hawa biasanya mempunyai kehidupan menarik, dan penuh petualangan. Pemberani dan senang dengan tantangan. Saya bukan, saya seorang pria rumahan yang lebih senang hidup aman dan menghindari bahaya. Hari-hari saya banyak habis di depan meja, menghadapi laptop, pegang hape, tiduran, cari warteg buat makan, dan pulang kembali ke kantor kembali menghadapi laptop.



AKU ORANGNYA PERAGU

Setelah shalat Maghrib, membuka pakaian, buat disalin dengan yang lain, tapi ah dekat ke waktu isya, tak perlu disalin, tapi setelah memakai lagi baju shalat, ingat lagi buat dibuka aja, maka pake sarung kotor

Mau berangkat, ragu khawatir ada yang jatuh balik lagi, sepeda belok lagi,

====


Saya tadi menulis seingatnya saja. Nanti tulisan itu bisa dibaca ulang dan bisa ditambah-tambahkan candaan-candaan buat humornya.







Friday, April 14, 2017

DANAA!!!!

Malam ini istri saya memecahkan telur ke dalam wadah, membubuhkan ke sana gula dan pengembang. Memasang mesin, memijit tombol "on" dan "nguiiiinngg!!"pengocokan dimulai. Kami mau mencoba membuat bolu kukus.

Hampir setengah jam dan pasti menghabiskan energi listrik sangat banyak. Tiba waktunya memasukkan adonan ke dalam cetakan Si Nai datang menyerang, ikut mengocek-ngocek dan itu sangat mengganggu. Kami khawatir. Kalau sampai tumpah, lantai kotor dan semua bahan serta hasil kerja keras tadi bakal terbuang. 

"Nai, jangan main itu!" ibunya menegur.

"Nai, jangan!" saya ikut-ikutan, "Kok dilarang diam saja ya?"sambil tersenyum karena merasa lucu dengan sikap cueknya, seakan tidak mendengar.

"Si Nai mungkin tidak punya telinga," ibunya mulai bicara macam-macam. Saya jadi kasihan, padahal ini cara mendidik yang salah. 

Teringat sedikit ilmu dari buku pendidikan, anak-anak itu dunianya bermain. Usia begini masa-masanya aktif, dan selagi bangun, mereka akan terus mencari permainan menyenangkan. Si Nai ngotak-ngatik adonan karena baginya itu permainan seru. Berarti saya harus mencari ide.

"Nai, ayo kita membuat menara dari cetakan bolu."

"Ayo," dengan sangat mudah dia tinggalkan adonan. Ibunya tertawa terbahak-bahak saat melihat dengan mudahnya dia pergi meninggalkan adonan itu. 

Bosan membuat menara saya ajak lomba meniup. Cetakan disimpan di lantai, kemudian sambil merangkak seperti komodo, saya tiup cetakan itu supaya bergeser maju. "Kita mulai. Nai di sana, Bapak di sini."

"Yuk!!" dia makin gembira.

Dan kami pun bersiap mengambil ancang-ancang seperti pelari. Dua buah cetakan bolu kukus di depan hidung. Seorang bapak-bapak dengan badan besar dan mulut besar akan bertanding melawan anak usia 5 tahun dengan daya tiup mulutnya yang masih lemah. 

"Satu ... dua ... tiga ..."

Karena tiupan saya lebih keras, jadi cetakan itu terlempar jauh. Si Nai teriak-teriak mengeluh karena kalah.

"Balik lagi, balik lagi. Pak, balik lagi. Niupnya jangan keras-keras!!" protesnya.

"Ok!"

Kembali mengambil ancang-ancang, "Satu ... dua ... tiga ... "

Dan kembali saya menang, tentu saja dengan yang lebih kencang, tapi efeknya Si Nai jadi marah, "Jangan terlalu kencang niupnya DANA!!!"

"Hus! Jangan Nai!" ibunya yang sejak tadi santai membuat kue tiba-tiba marah, "Itu kurang ajar! Itu tidak sopan!"

Si Nai yang stress karena kalah, sekarang makin galau kareha dibentak. Duduk termenung, bengong, dan mulai terisak-isak. Haduh, ada-ada saja! Ini salah saya sendiri yang memposisikan diri seperti teman, jadi mungkin dia merasa bebas saja menyebut nama. Sebelum sempat tangisannya pecah, segera saya alihkan, "Ayo kita mulai lagi Nai! Nih, sudah siap. Ayo kita tiup." Dan saya berhasil menggagalkan nangisnya.

Ya begitulah sekarang, Si Nai semakin besar, semakin dibutuhkan banyak kreativitas buat mengasuhnya. Dan orang tua akan selalu menemukan ide jika mau mencari, karena jenis permainan itu sangat banyak. 

Dengan sangat mudah kita suka mencap anak itu nakal, hanya karena mereka senang melakukan apa yang tidak kita suka. 

Anak melakukan sesuatu yang kita anggap kenakalan, sebenarnya bukan karena mereka. Anak hanya ingin melakukan sesuatu yang asyik dia kerjakan. Maka menemukan apa saja, jika bisa dia mainkan, maka dia akan memainkannya. Tugas orang tua adalah, mencari ide sebanyak-banyaknya hal positif mengasyikkan buat anak. Nah, di sinilah pentingnya banyak membaca buku-buku yang di dalamnya berbagi ide dan tips permainan mendidik untuk anak.

Mau Betulin Hape