Wednesday, November 25, 2015

BERSEMEDI

Gedung tempat para pemuja api melakukan ritual, retak. Nyaris roboh diguncang malu atas kesesatan di bawah naungannya. Nyala api sembahan dalam ruang, padam. Bumi menanggalkan compang-campingnya, pepohonan ruku, gurun pasir mempercantik diri, dan wajah unta yang tambatannya baru saja dilepas, memerah semangat cerah. Jika ingin digambarkan secara berlebihan, begitulah gembira mayapada menyambut Nabi. Kehadirannya, sangat berarti.

Seperti juga kamu bagi ibumu, adalah kecipak ikan di kolam bagi seorang petani. Setelah lelah seharian menggarap sawah, di sanalah bintang matanya tertambat. Menuai butir-butir kebahagiaan dari mujair dan gurami gemuk, sambil di pematang mengeringkan keringat. Sedangkan bagi Bapak, bayangan renyah tawamu selalu membuat getar kerinduan di hati ini berresonansi.

Adapun bapak bagi Kota Depok, dengan ungkapan hiperbolis sekalipun, arti diri ini tak pernah ada. Air sungai tepian pasar tidak menjadi bening, gedung hotel tidak menjadi lebih megah, terminal tidak menjadi lebih tertib, keramik yang melekat pada dinding kamar mandi masih dengan lumut-lumutnya. Kehadiran ini tidak memberi nilai apapun. Begitu pula bagi perusahaan tempat Bapak kerja, kehadiran ini hanya menambah beban.

Rasa diri berarti itu bagian dari kebahagiaan. Dan ketika itu tidak ada, kebahagiaan pun akan sirna. Tapi sekuat daya, Bapak akan berusaha. Berjalan ke dalam, tempat kesadaran tertinggi bersemayam, duduk sila bersemedi, mencari titik-titik cahaya yang bisa dijadikan pedoman. Takkan mengambil hal besar, cukup hal sesederhana plastik kemasan bekas minuman yang tergeletak di atas meja. Andai saja plastik itu bernyawa, rasa tidak berarti mungkin menumbuatnya berduka cita. Akan tetapi saat dia membandingkan diri dengan kulit pisang dan kebusukannya di tempat sambah, keberuntungan gelas ini lebih besar, dan kerenanya dia layak untuk bahagia.

Hanyalah sebuah perbandingan, sesederhana itu saja kebahagiaan jika ingin didefinisikan secara asal. Karenanya, mengukir bahagia dalam dada ini akan Bapak lakukan dengan perbandingan. Dengan membandingkan kehidupan sekarang dengan kehidupan sebelumnya. Sebagaimana pernah dipertanyakan kepada Muhammad, bukankah Dia menemukanmu melarat kemudian menjadikanmu kaya? Pertanyaan itu akan Bapak tujukan pula kepada diri sendiri, bukankah Dia menemukanmu melarat kemudian menjadikanmu kaya?

Ya benar, sejujurnya, hidup ini telah diliputi kekayaan. Fasilitas kerja megah, dalam gedung bertingkat, meja kerja nyaman, kursi putar bergoyang, dalam dekap hawa segar yang ditiupkan penyejuk ruangan. Meski sarung bolong yang dipakai saat menulis ini akan tertawa habis-habisan, Bapak akan tetap berkata, kehidupan sekarang ini bergelimang kekayaan dan kebahagiaan.

Ini karena kehidupan Bapak sebelumnya melarat. Sangat melarat. Rela melakukan apa saja usaha asalkan bisa menghidupi keluarga. Masih ingat waktu itu ribuah pipit menyerang, hinggap ke tangkai-tangkai padi, mencuri sekaligus mengugurkan butirannya. Jika dibiarkan panen bisa gagal. 

Maka sepanjang siang harus menahan diri panas-panasan, lari timur barat, utara selatan, dari tangga sawah tertinggi ke tangga terrendah, sambil "has hus" mengusir burung, menarik-narik tali yang menjuntai ke tengah sawah, mengguncang orang-orangan, memukul-mukul kaleng, gombrang-gombreng, saling sahut dengan suara pukulan kaleng dari sawah lain. 

Sesekali jongkok merayapi pematang menyabit rumput dan memasukkannya ke dalam karung, sampai penuh sepenuh-penuhnya, kemudian sore hari, menjelang maghrib, karung itu Bapak peluk di depan, menerobos guyuran hujan, membawa motor menyusuri jalan provinsi, membelah tiga kecamatan, menuju sebuah sekolah asrama, karena di sana Bapak punya domba dan bekerja mengajar anak-anak.

Nai, sebanarnya Bapak punya cerita tentang domba, tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Kita cukupkan dulu sekian. Mau tidur dulu, sudah larut malam, sudah jam satu lebih. Bapak mau istirahat.

Tuesday, November 17, 2015

Bahan Buku Yang Ingin Saya Tulis

DALAM NUANSA MERAH MUDA

Dalam ruang serba merah muda, di tengah nuansa romantis itulah bapak ibumu sekarang. Dua manusia jenis berlainan, duduk dalam kesunyian ruang, setelah anaknya pulas, apa kira-kira yang mereka lakukan? 

Jangan sembarang bertanya, karena sebagian besar jawaban tabu. Kecuali jawaban bapak, mungkin sedikit layak kau baca.

Di seberang meja, ibumu mengangkat kaki, ke kursi, melipat dan memeluknya, menepis cubitan dingin. Sementara bapak di sini, pada kursi panjang duduk tak nyaman. Jemari meremas gemas, mengapa harus terpisah.

Padahal cukup dengan satu langkah, secuil hasrat purba makhluk melata akan terlepas. Namun tidak. Jarak tertahan. Kesungkanan wudlu batal, mencegah kami saling mendekat.

Dengan jarak beberapa jengkal cukuplah. Terlibat obrolan panjang, tapi satu hal paling mengesankan hanyalah, saat sekeping lafal terlontar, "Kamu cantik sekali?"

Tapi ibumu radio. Tidak peduli. Terus saja berkicau. Meneruskan bicara.

Dikiranya Bapak dusta. Padahal hujan dari awan, ucapan itu, tercurah dari hati sesungguhnya.

Mata melirik jam. Isya belum juga datang. Heran, kenapa begitu telat?

Kehabisan obrolan, kami terjebak diam.

Setelah tarikan nafas, mengalir satu renungan. Angan terbang ke belakang, ke tempat kami berawal. Sebagaimana Hawa bagi Adam, ibumu bukan dicari, melainkan diberikan. Lalu kehidupan mengikat kami, sebagaimana tali mengikat bayam. Nasib seterusnya berkutub ke mana kami berserah.

Bulan-bulan pergi, tahun-tahun minggat. Sejak akad, tak terasa delapan masa. Masuk tahun ke enam Nai, kamu datang. Dua hal berbeda melahirkan hal berbeda lain, sungguh ini keajaiban.

Kamu hadiah. Jika Bapak ibaratnya malam dan ibumu pegunungan, maka kamu adalah apa yang lahir disebabkan malam mendekap pegunungan: tidur nyenyak dan selimut hangat.

Kisah ini terlalu berlambat-lambat Nai, memang sengaja dibuat demikian. Ingin menuliskan semua, andai saja bisa. Sebab bagi Bapak, setiap inci takdir, bukan semata angin lalu, melainkan batu safir. 

Seandainya Janitra Menulis Buku


Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan-karangannya indah, banyak mengungkapkan kerinduan, dengan metafora-metafora alam nan kaya. Tidak membosankan, dia bisa menciptakan kalimat-kalimat dengan melibatkan apa saja, dari pepohonan hingga nama jalan, dari hujan hingga makanan. Bukti penting tulisannya indah sampai ada orang berani mencuri dan mencopas ke blog tanpa mencantumkan siapa nama penulisnya.


Menurut pengakuannya, dia tinggal di Borneo, bagian dari Pulau Kalimantan, tidak tahu tepatnya di provinsi mana. Saat saat cek di data JNE, nama Borneo tidak terdapat di sana. Kalau itu nama kecamatan dan kabupaten pasti ada. Tapi ini tidak. Dari situ saya terus terkesan dengan apapun cerita orang-orang seberang.

Saya pernah bertanya, apakah sudah menyusun buku? Dia jawab, belum. Pekerjaan asli dia sendiri sangat bertolak belakang dengan kepenulisan. Entah apa, dia tidak menjelaskan. Saya sarankan kepadanya, tulisannya itu dibuat buku saja. Dia jawab, belum ada rencana. Untuk sekarang, menurutnya lebih suka dibagikan lewat facebook. Lagi pula, bukankah orang lebih suka gratisan? 

Sendainya saja Janitra Menulis buku, pastilah banyak orang terpikat. Akan sangat banyak orang membeli bukunya. Dan saya berharap suatu saat dia mau. Ingin sekali membaca. Untuk sementara dahaga membaca ini saya penuhi dengan membaca catatan-catatannya di facebook, dan blog-blognya, dan status-status terbarunya.

Beneran, saya sangat terpikat dengan gaya menulis dia. Anda mungkin berkata, saya sudah jatuh cinta pada orangnya. Tidak, saya tegaskan, pada tulisannya. Sebagai penulis, saya selalu belajar jujur adan apa adanya. Baca saja sendiri, tulisanya sangat indah. Dia lihai merangkai. Saking tertariknya pada tulisan dia, sampai-sampai setiap kali pergi ke toko buku saya berharap menemukan novel dengan gaya seindah tulisannya. Tapi susah, dari pengarang luar atau lokal, tidak ada. Sampai akhirnya saya temukan buku berjudul "Bangkitlah Tamban Salai", berkisah tentang orang-orang seberang, Pulau Sumatera, dan menyebut kata Salai mengingatkan saya pada makanan yang pernah Janitra hiaskan pada tulisannya yaitu Wadai... Salai... Wadai, sama sama berakhiran Ai.

Ragu antara membelinya atau tidak. Membeli khawatir akhirnya menyesal karena ternyata isinya mengecewakan tidak seindah tulisan Janitra. Tidak membeli pun khawatir ternyata sebenarnya novel itu indah, karena pernah sebelumnya saya melihat novel Pesan Dari Sambo, tapi saya tidak membelinya karena menganggap buku itu tidak menarik, masalahnya sang penulis bukan penulis terkenal, dan kalau tidak salah, buku itu pun tidak termasuk buku laris. Eh ternyata kemudian salah seorang teman facebook membelinya dan ternyata isinya sangat indah. Saya mencoba cari, ternyata sudah tidak ada. Menyesal sekali, maka mengingat kejadian itu, khawatir buku Bangkitlah Tamban Salai ini pun bagus, dan suatu saat orang menceritakannya, saya menyesal tidak sempat membeli padahal sekarang sedang bazar murah.

Karena itu, secepatkan saya naik ke lantai tiga mall, ke bazar buku, dan langsung, buku itu saya embat! Dan tidak mengecewakan, meski tidak seindah tulisan Janitra, buku ini pun memesona, menceritakan sebuah sekolah di perkampungan di negeri seberang.

Sunday, November 15, 2015

Bahan Buku Yang Akan Saya Susun

TAWA MATAHARIMU TERTUNDA

Bus merayap meninggalkan terminal, meninggalkan Depok dengan segala ramai. Dari dekap kehidupan kota, dibawanya badan ini cerai. Menuju kabut pegunungan, merdu kokok ayam, tetes bening air jatuh dari ujung dedaunan, rumah kedamaian, dan tawa mataharimu di muka pintu.

Panas kembali ke api, bening pulang ke air, hijau pulang ke daun. Akhirnya tiba juga saat pulang. Lepas dari benar salah Bapak akan bermadah, pulang ini matematika. Sebuah kepastian. Siapa berangkat, dia harus pulang. Lagu indah kita dengar, itu karena sang nada pulang. Dengan nada apa sebaris lirik berangkat, kepadanya pula dia harus pulang.

Masihkah rindumu api, seperti diriwayatkan ibumu?

Bapak sendiri, duduk ini berlumur kangen. Lihatlah tas motif loreng tentara ini, kembung besar, bahkan tak sanggup menampung wujud-wujud kangen itu? Sepasang sandal untukmu, buku cerita bergambar, benda yang kemarin kita dongengkan panjang: jas hujan, dan oleh-oleh Pak Isa dari Belanda: karet penepuk lalat dan gantungan kunci miniatur sepatu mungil, sampai berdesakan, sehingga, sekeresek apel merah pesananmu tak sanggup masuk. Terasing di luar, duduk pada jok kendaraan, tak henti-hentinya si apel mengeluh,

"Celaka! Celaka! Celaka!" rutuk sebutir.

"Kenapa?" tanya Bapak.

"Dipisahkan begini pasti ketinggalan. Pasti ketinggalan!"

"Pasti?"

"Ya, Kamu kan pelupa."

Jengkel susah ditahan, jadi maafkan Bapak Nai, satu apel paling cerewet terpaksa dimakan.


Betapa jauhnya jarak, hingga safar butuh seharian. Dicecap hati tak sabar, panjangnya makin berlipat. Beribu kilo meter bagaikan. Pada kaca mobil tanganmu membayang, merentang dengan wajah tengadah minta dipangku. Wajahmu nanar penuh harap. Kuraih. Rasanya badan ini telah erat merengkuhmu.

Ciamis sampai, pejalanan belum usai. Ke arah utara, aspal masih mengular. Turun naik, lika-liku, menjamah empat kecamatan. Hujan mengguyur lebat, atap bus bocor, air bercucuran ke dalam. Tangah meraih tas, naik dalam pelukan, menyelamatkan isinya. Tandas baju basah, badan kedinginan, tak mengapa asalkan tas aman. Buku bacaan bergambar, nasib buku bacaan bergambar, tentangnya cemas ini bertema.

Pada sebuah tikungan tajam bus menepi. Mulut pintunya memuntahkah Bapak. Kaki menjejak rumput, gerimis masih riuh. Berlari mencari mesjid untuk menjama' shalat. Dzuhur Ashar belum tunai.

Ini kaki gunung dan sisa jalan masih jauh. Ojek sedia buat mendaki, tapi memilih jalan kaki. Olah raga dan menikmati alam mungkin alasan, tapi alibi terpenting sesungguhnya hemat uang. Lumayan buatmu jajan Nai.

Sebenarnya ini melawan perasaan. Sebab senyatanya hasrat ini tak sabar ingin cepat sampai. Ingin lekas melihat kepala mungilmu muncul di tirai. Dahaga tatap jingkrak-jingkrakmu menyambut. Lapar memangku, haus memeluk, lalu melihat tanganmu mengorek-ngorek tas, membongkar oleh-oleh, sambil terus cerewet bertanya. Ditemani lelehan keringat, begitulah drama batin sepanjang langkah.

Tiba ke halaman suasana sepi. Sandal manismu termenung di tepi teras. Tirai cerah merona, diterangi lampu menyala. Petang tergelar di bumi, kumandang adzan maghrib senyap sejak tadi. Mengucap salam, wajah ibumu menyambut. Bergelora hasrat mendekapnya, sayangnya pikiran membatas. Maghrib begini pasti punya wudlu, tak tega membuatnya berhadats.

Masuk ruang tengah, menengok pintu kamar, kamu terbaring menyamping. Cipta bayang sepanjang jalan mendadak sirna. Hanya mampu sadrah, tawa matahari harus tertunda. Oleh-oleh dalam tas, teronggok ke sudut rumah. Tiada tangan mungil menjamah.


"Sejak sore dia menunggu hingga ngantuk. 'Nai mau tidur dulu, nanti kalau Bapak datang, bangunkan ya Mah!' ucapnya. 'Ya', jawabku." Ibumu berkisah.

Haru.

"Sebentar-sebentar suaranya terdengar, 'Mah, sudah datang?' 'Belum', sebentar kemudian 'Bapak datang?' 'Belum', keludian, 'Mah, datang?'... hingga akhirnya lelap."

Sambil tersenyum iba, tak lepas mata menatap. Piamamu putih motif bunga biru toska, mata terpejam pulas. Berjalan mendekat, menghampiri ke peraduan merapatkan wajah. Terdengar hembusan nafas. Teratur meniupkan wangi anak. Mengecupmu pelan dengan bibir menua, halus pipimu sutra.

----------------------
Catatan:

Kata "Panas kembali ke air, hijau kembali ke daun" saya serap dari cerpen Kunowijoyo berjudul, "ADA API DI ATAS ATAP"

Wednesday, November 11, 2015

Buku-Buku S. Mara Gd.


Saya mah jatuh cinta sama tulisannya S. Mara Gd. Cara pengungkapannya itulah, tertib, runut, dan enak. Tulisan-tulisannya membuat penasaran. Apa yang orang jaman sekarang sebut "Show Not Tell" dia sudah lakukan. Tidak banyak bercerita, sebagian besar menunjukkan. Membuat pembaca mudah membayangkan. Penulis bisa melakukan penokohan yang membuat pembaca dengan sangat mudah merasakan seperti apa yang tokoh utamanya rasakan.


Dalam melakukan opening juga. Saya membaca, Misteri Dua Wajah Anastasia, sejak awal sudah dibuat terpikat. Dan saat buku itu dibawa ke rumah, sekilas istri membaca, dia langsung suka, "Jangan dibawa. Biarkan di rumah. Saya mau membaca. Kata-katanya runut. Saya suka."

Ternyata, sampai seterlatih itu membuat novel misteri, karena sering nya dia mengalihbahasakan novel Agatha Christie. Dia banyak baca, tahu susunan cerita, jeli alur novel menarik itu bagaimana, tahu bagaimana cara mengecoh pembaca, mengundang rasa penasaran mereka, dan lihai menggoda orang supaya mau membaca kisah sampai tuntas.

Tak ada catatan sastra menyebutkan S. Mara Gd. ini bagian dari sastrawan Indonesia, tapi saya temukan, novelnya banyak menafaskan kebaikan. Dalam uraian kisahnya, sana-sini banyak berbagi nasihat, dengan kata kata indah tentu saja. Tapi apalah artinya sebutan sastrawan. Terpenting adalah kenyataan tulisan. 

Beberapa kali saya mendatangi bazar buku, tapi masih ragu antara membeli atau tidak. Buku-buku S. Mara Gd ada di sana. Misteri Sebutir Safir, Misteri Dilema Seorang Menantu, dan Misteri Asmara di Pondok Songka. Semakin lama semakin kehabisan, dan entahlah, sekarang, masih ada atau tidak. Saya penasaran, ingin membeli.

Hanya saja, yang menjadi pertimbangan saya--menurut catatan beberapa blog--novel ini masuk novel dewasa. Beberapa adegan kurang layak dibaca sembarang usia. Khawatirnya, jika nanti saya beli dan simpan, anak dibawah umur ikut membaca. Wah, dia bisa dewasa sebelum waktunya.

Tuesday, November 10, 2015

Totalitas Pak Isa Menulis Buku

Apa yang dibutuhkan saat menggarap buku?

Totalitas.

Apa yang dibutuhkan saat memasarkannya?

Totalitas juga.

Itu saya perhatikan dari dari Pak Isa. Baik saat penggarapan, persiapan cetak hingga pemasaran, dia lakukan dengan totalitas.

Sebelum dicetak, buku ini adalah bahan materinya saat mengkritik tulisan di social media, pada sebuah grup yang dibangunnya: Komunitas Bisa Menulis. Tulisan-tulisan yang datang, dia kritisi cermat. Menyebutkan bagian kurang,  menyebutkan dosa-dosa.

Tanpa ragu, apa yang dirasanya kurang menarik dia bantai. Secara gamblang, secara terus terang. Dengan satu tujuan, orang punya karya terbaik. Pak Isa punya prinsip, jangan sampai orang tidak tahu kekeliruan dirinya. Sekecil apapun itu. Jangan sampai orang cape menulis banyak, tapi tulisannya tidak berguna, hanya karena dia tidak tahu kekeliruan tulisannya. Itu sia-sia.

Bagaimanapun, menyusun tulisan buat memikat pembaca. Bagaimana orang tahu apa yang kita sampaikan, sementara membaca saja tidak minat. Dan salah satu cara menarik minat adalah, dengan semaksimal mungkin memperbaiki tulisan.

Memperbaiki, berarti mengurangi kesalahan. Bahasa lain dari kesalahan adalah dosa, dan dosa-dosa itulah yang Pak Isa data secara total, kemudian dia kumpulkan pada bukunya, 101 Dosa Penulis Pemula.

Itu saat penggarapan.

Bagaimana pemasaran?

Sama, Pak Isa lakukan dengan totalitas. Mengambil keuntungan memang mutlak. Perusahaan butuh uang buat bertahan. Surfive. Supaya terjadi berkesinambungan berkarya, dan tetap hidup dan menghidupi banyak orang. Tapi motivasi Pak Isa lebih dari keuntungan material. Beliau, ingin memberi lebih banyak manfaat. Itulah motivasi pentingnya pemasaran. Semakin banyak orang membaca, semakin tersebar manfaat.

Itulah sebabnya, beliau tidak mau main rahasia. Tidak pernah pelit berbagi ilmu, di mana saja, kapan saja. Di mana ada kesempatan, di sana dia berbagi. Saya masih ingat dalam perjalanan menuju Kemping Kepenulisan. Nyaris sebagian besar obrolan berkisar tentang tulisan. Beberapa lembar karya peserta dia cetak, kemudian baca. Dia kritisi bagian salah, dia beri komentar. Saya dan Wiro, tentu saja suka. Mendengar penuh perhatian. Itu adalah pengetahuan penting dari buku yang ditulisnya: 101 Dosa Penulis Pemula.

Begitu juga saat sampai. Diperhatikan peserta kemping, sejak sore hingga jam dua belas malam, hingga menjelang pulang, Pak Isa tak lelah berbagi. Dingin pegunungan tak menggigilkan badannya. Saat kami semua gemetaran padahal pakai jaket, dia hanya pake kaos, sangat menikmati dingin, terus menyampaikan ilmu kepenulisan.

Cinta Buku: RBA Karangampel

Segala puji bagi Allah, Banner RBA sudah terpasang. Berkibar-kibar tertiup angin Karangampel. Sebuah desa di pinggiran Kabupan Ciamis Jawa Barat. 

Menurut cerita Emak, seorang anak kecil gemuk terus bolak-balik meminjam buku. Yang diambilnya komik Upin Ipin. 

Alhamdulillah, antiasme anak-anak datang ke Rumah Baca Asma Nadia Karangampel cukup besar. Dari mulai siswa sekolah sampai anak-anak tetangga.

Diawali dari anak lingkungan terdekat. Semula saya menerapkan aturan kepada mereka supaya baca di tempat, jangan bawa pulang, mengingat pengalaman sebelumnya, buku dibawa pulang sering hilang. 

Akan tetapi anak-anak, tetap ingin meminjam ke rumah. Ya sudah, diterapkanlah aturan, buku dibawa ke rumah harus bayar dua ribu untuk maksimal lima hari pinjaman. Beberapa anak sudah mengembalikan. Di bawah rak, sebuah kaleng tersimpan. Saya buka, terdapat lembar-lembar dua ribu rupiah. Baiklah, itu uang buat nanti beli buku tambahan, biar rumah baca ini berkembang. 

IDE AWAL

Ide awal pengadaan rumah baca di rumah saya ini, bermula setelah memperhatikan adik saya senang membuat kue dan kerajinan tangan. Dia biasa menjual hasil karyanya dengan menumpang di warung orang, dan makanan biasa dia titipkan kepada pedagang asong keliling kampung. Dari situ saya bertanya, bagaimana kalau diramaikan saja rumah dengan mengadakan perpustakaan. Kebetulan Mbak Asma Nadia punya rencana membangun seribu rumah baca, dan di sini kita adakan. Nanti tempat ini ramai, tentunya bisa lebih mudah berjualan di tempat. Maukah kamu menjaganya? Dia menjawab "Ya". 

Saat cek sekalian pulang, saya melihat keseriusan. Adik membuat pembukuan sederhana, mencatat nama-nama peminjam beserta tanggal peminjamannya. Asalnya rumah tidak ada lemari es, sekarang sudah ada. Adik menjual emas ditambah sedikit tabungan. Biar pengunjung bisa langsung jajan minuman segar.
Bukan hanya anak kecil, tapi juga ibu-ibu. Meminjam buku "Salon Kepribadian" karya mbak Asma Nadia. Berdasarkan data pinjaman, dalam beberapa hari ini, buku yang terbanyak dipinjam adalah terbitan ANPH. Alhamdulillah, semoga ini jalan dari Allah untuk semakin meluasnya manfaat ilmu yang dibagikan oleh penerbit ANPH. Terima kasih Mas Kamal, Pak Isa, mbak Asma, dan semua kru yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan pengadaan rumah baca ini.

Tuesday, November 3, 2015

Tips Super Gampang Menulis Buku

MENULIS ITU PEKERJAAN TANGAN

Sementara ini banyak orang berpendapat
Menulis itu pekerjaan pikiran
Rumit
Memangnya dia bisa melihat pikiran?
Mata saya sendiri, ampun, tidak bisa melihatnya
Lebih memusingkan lagi, ada yang berkata menulis itu dengan perasaan
Gimana caranya heh?
Saya pusing, beneran pusing, pusing berguling-guling!!
Gimana caranya sih menulis dengan perasaan, memangnya ada anggota badan yang bernama perasaan. Saya lihat dari atas ke bawah, tidak ada organ yang bernama perasaan.
Makanya, kalau ada orang yang bisa menulis dengan mulut, itu mungkin. Kalau ada orang menulis dengan kaki, itu juga mungkin. Kalau ada orang menulis dengan ketiak, itu juga mungkin, kalau ada orang menulis dengan dagu dijepitkan ke dada, itu juga mungkin. Semua anggota badan itu ada dan terlihat.

Tapi ada orang mengatakan menulis itu harus dengan perasaan, harus dengan hati, harus dengan pikiran.

Saya pusing! Bagaimana caranya.

MENULIS ITU PEKERJAAN TANGAN
Makanya jika mau punya banyak tulisan, itu tangan harus rajin menulis. Pasti Anda produktif dan tulisan Anda banyak.

Kenapa tulisan Anda sedikit dan tersendat-sendat.
Antara lain sebabnya karena ajaran tadi, yaitu menulis dengan pikiran, menulis dengan perasaan, padahal selama ini, dia sendiri menulis dengan tangan.

Akhirnya, dikarenakan fakta dirinya sendiri yang bertentangan--yaitu sementara dia berpendapat menulis dengan perasaan dan pikiran, padahal nyatanya dia menulis dengan tangan--akibatnya, dia menulis tidak lancar, tersendat-sendat, seperti tersendatnya perkembangan dan ekonomi negara yang di dalamnya banyak konflik dan peperangan.

Tulisannya tersendat-sendat, karena alih-alih ditulis dengan tangan, ini malah terus dipikirkan. Tulisannya tersendat-sendat, karena alih-alih dituliskan dengan tangan, ini malah terus saja dirasa-rasa.

Menulis itu pekerjaan tangan.  Karena itu, menulislah dengan tangan!

(Maaf, sekali lagi ini hanya menasihati diri sendiri. Judul diambil dari ungkapan Andrias Harefa, di bukunya HAPPY WRITING)

Mau Betulin Hape