Kamu di rumah sedang apa? Sore begini biasanya masih sibuk, pekerjaanmu tiada habisnya. Mengangkat jemuran, melicinnya, melipat, merapikan ke lemari, memandikan anak, menyuapinya makan. Ada pun saya, jauh darimu di sini, di depan Cibubur Plaza, sedang berdiri menunggu hujan reda. Jarum-jarum bening itu sibuk menebar basah, seorang anak berjalan sana-sini membawa payung menawarkan jasa. Anak perempuan gemuk, hati saya memuji ketekunannya berusaha mencari uang. Maka belajar darinya, saya pun harus berusaha mencari rumah impian, meski belum tahu di mana, meski belum tahu seperti apa.
Tersemat di buku "Cinta Laki-Laki Biasa" sepotong syair saya tentang jarak dan kesepian. Bahwa, jauh dari anak istri itu sepi, renggang dari keluarga itu hampa. Maka angan bergetar, menulis lamunan, andai saja, kepulanganku padamu dekat. Semisal punya rumah di pinggiran kota, tempat di mana pepohonan masih rindang dan hawa masih alam, sepertinya menyenangkan. Jadi hari-hari tak lagi seperti ini, hidup mirip lajang, melainkan bisa pulang padamu, lalu melewatkan malam selayaknya sebuah keluarga.
Tapi seperti kau baca di buku itu, semua cuma khayalan, segalanya serba lamunan. Laut kelewat luas, rentang teramat padang, suara ketidakmungkinan lebih riuh daripada kemungkinan. Dari mana punya uang buat beli rumah, terlebih di daerah kota semacam ini, tempat di mana harga tanah dan rumah serba jutek alias jual mahal. Jangankan beli rumah kita, beli rumah burung saja belum tentu sanggup.
Dulu sering kita dengar peribahasa "Pungguk Merindukan Rembulan". Perihal seorang yang sangat menginginkan sesuatu yang tinggi tanpa menyadari kerendahan dirinya. Biasanya kita dengar dari cerita, dari dongeng-dongeng lama, atau dalam sebuah kisah si miskin yang jatuh cinta kepada orang kaya. Akan tetapi sekarang, ternyata, peribahasa itu mengenai kita. Merindukan rumah di pinggiran kota dalam kondisi tidak berdaya, maka tepat nian kita sebut diri kita "Pungguk Merindukan Bulan."
Tapi lihatlah sore ini, impian itu seperti mendekat.
Selepas hujan reda, saya berjalan menuju rumah impian.
Jalan menuju ke sana disegarkan pepohonan rindang. Dahan dan rantingnya luruh menaungi jalan, seakan mereka para sahaya, yang hormat penuh takdzim mengucapkan selamat datang kepada setiap orang lewat. Rimbun di belakang pepohonan itu, adalah bambu-bambu hias tinggi berdesakan padat semakin menghijaukan suasana. Dan tahukah rumah yang kutuju rumah seperti apa?
Minimalis. Dan lagi-lagi ini seperti yang saya mimpikan. Dulu kita pernah melewati sebuah jembatan berbentuk lorong panjang yang menghubungkan kabupaten kita Ciamis dan Tasikmalaya. Cirahong nama jembatan itu sudah sangat terkenal, dan kita menerobosnya demi melihat sebuah rumah indah. Rumah minimali di tepi sebuah tikungan jalan, dengan halaman dihampari rerumputan rendah. Masih ingat bukan? Dan saat itu kita mengkhayal, seandainya, seandainya, seandainya. Sekarang apa yang kita andaikan itu sebentar lagi menjadi nyata.
Maha Suci Allah yang meskipun kita berlimpahan dosa namun rahmat dan kasih sayang-Nya tidak pernah patah. Dia beri apa yang saya ingini, sekalipun perintah-Nya jarang saya peduli. Lihatlah rumahnya, bukankah dulu pernah kita perbincangkan di rumah, dalam obrolan-obrolan kita. Sehingga kau tak perlu kelelahan mengepel teras depan karena sudah khas rumah minimalis teras depannya tak luas. Sehingga mobil kita bisa terparkir nyaman karena lahan telah tersedia. Oh ya, naungannya tinggal kita pasang saja, kanopi dengan rangkaian baja sebagai rangkanya.
Kamu jangan tertawa dan berkata dengan jiwa pesimis itu "Mobil dari Hongkong!!". Dengan keyakinan Allah pemilik segalanya, mari hanya kita bicarakan harapan-harapan, bukan keputusasaan-keputusasaan. Kita tidak punya apa-apa, tapi Allah Maha Kaya. Memangnya apa yang sekarang merupakan punya kita benar-benar punya kita? Tidak ada bukan?
Tidak mustahil suatu saat di hari esok kita akan kedatangan banyak uang dan kita bingung mau membeli apa, karena itu mari sebanyak-banyaknya kita bicarakan mau beli apa saja, barang-barang yang sekiranya manfaat buat dunia akhirat kita. Misalnya saat di rumah kemarin, kamu minta saya mencarikan Al-Qur'an kecil biar saat menunggui anak kita sekolah di PAUD, kamu bisa menunggunya sambil tadarus. Ini sudah saya beli, sampul dan tergeletak di meja. Covernya hijau tua, dan bagian dalam, tepian berhias gambar ukiran hijau muda, membingkai barisan ayat sangat jelas dan enak dibaca.
Al-Qur'an kecil misalnya, yang saat di rumah selepas shalat kamu minta. Terima kasih kamu sudah menginginkannya, istriku. Sugguh meskipun di seluruh dunia ada seratus milyar wanita yang meminta Al-Qur'an kepada suaminya, tapi bagiku hanya kamu yang paling berharga. Kenapa? Ah, terlalu kelihatan bodoh jika alasannya harus kujelaskan.
Mari kita menjadi orang bahagia yang di dalam hatinya hanya menyimpan kebahagiaan-kebahagiaan dan harapan-harapan akan mendapatkan kebaikan, karena nyatanya Allah itu sangat Pemurah kepada kita. Dia memberikan kepada kita apa yang kita butuhkan dari arah yang kita sendiri tidak sanggup jika diri kita sendiri harus mengadakannya.
Mari kita tersenyum, dan senyum itu menjadi cara kita mengekspresikan kebahagiaan, bukan senyuman palsu sebagai cara kita menipu orang. Atau mari kita menangis, dengan tangisan sebagai ungkapan kebahagiaan, bahagia begitu banyak nikmat Allah berikan sekalipun kepada-Nya kita bukanlah orang-orang yang pandai bersyukur, sekalipun kepada-Nya kita bukanlah orang-orang yang pandai beribadah.