Gedung tempat para pemuja api melakukan ritual, retak. Nyaris roboh diguncang malu atas kesesatan di bawah naungannya. Nyala api sembahan dalam ruang, padam. Bumi menanggalkan compang-campingnya, pepohonan ruku, gurun pasir mempercantik diri, dan wajah unta yang tambatannya baru saja dilepas, memerah semangat cerah. Jika ingin digambarkan secara berlebihan, begitulah gembira mayapada menyambut Nabi. Kehadirannya, sangat berarti.
Seperti juga kamu bagi ibumu, adalah kecipak ikan di kolam bagi seorang petani. Setelah lelah seharian menggarap sawah, di sanalah bintang matanya tertambat. Menuai butir-butir kebahagiaan dari mujair dan gurami gemuk, sambil di pematang mengeringkan keringat. Sedangkan bagi Bapak, bayangan renyah tawamu selalu membuat getar kerinduan di hati ini berresonansi.
Adapun bapak bagi Kota Depok, dengan ungkapan hiperbolis sekalipun, arti diri ini tak pernah ada. Air sungai tepian pasar tidak menjadi bening, gedung hotel tidak menjadi lebih megah, terminal tidak menjadi lebih tertib, keramik yang melekat pada dinding kamar mandi masih dengan lumut-lumutnya. Kehadiran ini tidak memberi nilai apapun. Begitu pula bagi perusahaan tempat Bapak kerja, kehadiran ini hanya menambah beban.
Rasa diri berarti itu bagian dari kebahagiaan. Dan ketika itu tidak ada, kebahagiaan pun akan sirna. Tapi sekuat daya, Bapak akan berusaha. Berjalan ke dalam, tempat kesadaran tertinggi bersemayam, duduk sila bersemedi, mencari titik-titik cahaya yang bisa dijadikan pedoman. Takkan mengambil hal besar, cukup hal sesederhana plastik kemasan bekas minuman yang tergeletak di atas meja. Andai saja plastik itu bernyawa, rasa tidak berarti mungkin menumbuatnya berduka cita. Akan tetapi saat dia membandingkan diri dengan kulit pisang dan kebusukannya di tempat sambah, keberuntungan gelas ini lebih besar, dan kerenanya dia layak untuk bahagia.
Hanyalah sebuah perbandingan, sesederhana itu saja kebahagiaan jika ingin didefinisikan secara asal. Karenanya, mengukir bahagia dalam dada ini akan Bapak lakukan dengan perbandingan. Dengan membandingkan kehidupan sekarang dengan kehidupan sebelumnya. Sebagaimana pernah dipertanyakan kepada Muhammad, bukankah Dia menemukanmu melarat kemudian menjadikanmu kaya? Pertanyaan itu akan Bapak tujukan pula kepada diri sendiri, bukankah Dia menemukanmu melarat kemudian menjadikanmu kaya?
Ya benar, sejujurnya, hidup ini telah diliputi kekayaan. Fasilitas kerja megah, dalam gedung bertingkat, meja kerja nyaman, kursi putar bergoyang, dalam dekap hawa segar yang ditiupkan penyejuk ruangan. Meski sarung bolong yang dipakai saat menulis ini akan tertawa habis-habisan, Bapak akan tetap berkata, kehidupan sekarang ini bergelimang kekayaan dan kebahagiaan.
Ini karena kehidupan Bapak sebelumnya melarat. Sangat melarat. Rela melakukan apa saja usaha asalkan bisa menghidupi keluarga. Masih ingat waktu itu ribuah pipit menyerang, hinggap ke tangkai-tangkai padi, mencuri sekaligus mengugurkan butirannya. Jika dibiarkan panen bisa gagal.
Maka sepanjang siang harus menahan diri panas-panasan, lari timur barat, utara selatan, dari tangga sawah tertinggi ke tangga terrendah, sambil "has hus" mengusir burung, menarik-narik tali yang menjuntai ke tengah sawah, mengguncang orang-orangan, memukul-mukul kaleng, gombrang-gombreng, saling sahut dengan suara pukulan kaleng dari sawah lain.
Sesekali jongkok merayapi pematang menyabit rumput dan memasukkannya ke dalam karung, sampai penuh sepenuh-penuhnya, kemudian sore hari, menjelang maghrib, karung itu Bapak peluk di depan, menerobos guyuran hujan, membawa motor menyusuri jalan provinsi, membelah tiga kecamatan, menuju sebuah sekolah asrama, karena di sana Bapak punya domba dan bekerja mengajar anak-anak.
Nai, sebanarnya Bapak punya cerita tentang domba, tapi tulisan ini sudah terlalu panjang. Kita cukupkan dulu sekian. Mau tidur dulu, sudah larut malam, sudah jam satu lebih. Bapak mau istirahat.