Dia mulai mengenalku dengan kepercayaan, padahal aku memulai mengenalnya dengan kecurigaan. Dimulai dari postingan di grup kepenulisan, saat itu, terbaca tidak sengaja sebuah judul tulisan unik, "Karindangan" bukan Bahasa Indonesia biasa, baru kali ini saya menemukannya, bahkan mungkin bukan sebuah kata bagian dari kosa kata Bahasa Indonesia, entah bahasa apa, tapi dibacanya enak, dan tak terlupakan. Dari tertarik judulnya, mencoba membaca teks ke bawah, "Dia terbuat dari sekumpulan waktu, jarak, dan kesepian."
Indah sekali, pikirku, tapi membaca tidak kulanjutkan. Itu salah satu watak burukku, kurang tertarik membaca tulisan orang, kecuali tulisan dari orang yang sebelumnya sudah kupercayai bagus tulisan-tulisannya, dan karena nama akunnya baru kutemukan, kulewati sambil lalu saja. Akan tetapi, beberapa kali membuka grup, postingan itu terus naik, artinya banyak orang tertarik dan memberi komentar, dan kubaca komentar-komentar di bawahnya, rata-rata orang menyatakan suka.
Mengutip kata kata Pak Haji Rhoma Irama, "Sungguh mati aku jadi penasaran", sebagus apa tulisannya. Coba baca, memangbegitu lancar, tiada kejelimetan bahasa yang membuat mata harus bolak-balik membaca berulang-ulang. Indah, melukiskan hal sederhana dengan cara yang tidak sederhana, menceritakan hal sepele dengan cara yang tidak bisa dipandang sepele. Pikiran berkata, ini tulisan bukan sekedar coretan penulis pemula, ini coretan orang berpengalaman.
Tak cukup satu tulisan, aku cek juga tulisan lainnya dengan cara search di grup, dan kubaca, semuanya indah, banyak ungkapan memikat dan membacanya menghanyutkan perasaan. Misalnya saat ungkapan dia dalam tulisan berjudul "Bangku Taman dan Bumi Yang Lain" menceritakan suasana sederhana di suatu tempat sunyi dengan tokoh seorang wanita dengan khayalan sederhana, impian sederhana dan perasaan sederhana. Memikat, benar-benar memikat, jarang saya menemukan tulisan sebagus ini sebelumnya.
Akan tetapi mendapatkan penemuan mengagumkan itu bukannya jadi kagum kepada penulisnya dan ingin akrab, malah sebaliknya, aku justru jadi curiga. Kuperhatikan namanya, nama samaran. Jangan-jangan, ini hanya akun penmencari perhatian, memposting hanya untuk mengundang decak kagum dari orang-orang, dengan cara-cara kurang terhormat, misalnya tulisan hasil copy paste. Ya jangan-jangan tulisannya hasil copas.
Harus aku cek, jangan-jangan cerpen yang ditulisnya dia ambil dari tulisan orang lain yang bagus, atau bahkan mungkin dari penulis terkenal.
Maka sebagian paragraf dari tulisannya kucopy paste ke kolom search google. Enter, dan... wah wah wah, ternyata tulisannya terdapat pada sebuah situs. Sebuah blog, dan tulisan di facebook itu persis sama dengan blog ini. Ya persis sama. Tulisan berjudul "Bangku Taman dan Bumi Yang Lain" Wah, benar-benar nih orang. Harus kubongkar!
Eh, tapi tunggu dulu, jangan terburu-buru. Jangan asal tuduh. Salah-salah nanti, bukannya orang itu sukses kubuat malu, sebaliknya malah aku yang terpermalukan.
Harus kucari tahu dulu siapa pemilik blog ini, akan kutanyakan nama akun facebooknya. Nanti, akun facebook ini akan kuajukan pertemanan, dan setelah berteman, akan kuberitahu bahwa ada akun facebook lain yang telah berani mencuri dan memposting karya dia tanpa menyebutkan nama.
Maka dengan pura-pura ramah, kutinggalkan pertanyaan di kolom komentar,
"Tulisannya bagus Mbak, apakah Anda mempunyai akun facebook?":
Lewat semalam, sesiang, semalam lagi, sesiang lagi, kubuka blog jawaban tak kunjung kutemukan. Kubuka lagi, sambil menikmati tulisan-tulisan lainnya yang juga indah, jawaban belum juga ada.
Karena jawaban tak kunjung datang, akhirnya ku ADD akun facebook orang yang kuanggap melakukan pencurian itu, kemudian dengan pura-pura ramah, kutanyakan padanya di kolom komentar, "Apakah Anda punya blog?"
Dengan lancar sang tertuduh menjawab, "Ya punya," kemudian dia berikan link blognya, YANG TERNYATAA......SAMA PERSIS DENGAN BLOG YANG KUTEMUKAN.
Dari situ mulai percaya, berarti pemilik akun facebook dengan blog itu sebenarnya orang yang sama, dan dari situ pula aku percaya tulisan yang dia bagikan di facebook bukan hasil curian, tapi benar-benar hasil karyanya.
(Bersambung)
Wednesday, December 30, 2015
Saturday, December 26, 2015
Wiro! Kamu Kenapa?
Kantor senyap, orang-orang sudah pulang. Tinggal saya sendirian, duduk menghadap monitor, melalui facebook menerima pesasanan-pesanan barang dari pelanggan. Ini jam kerja malam, setelah Maghrib menunggu Isya.
Samar dari kamar suara. Tidak begitu saya gubris untuk pertama kalinya. Mungkin itu salah dengar, mungkin suara teriakan tukang parkir dari depan. Kantor ini menghadap area samping mall, dan nyaris setiap hari tukang parkir teriak-teriak di sana, mengatur posisi kendaraan.
Tapi suara itu berulang, parau memanggil nama saya. Ya, jelas memanggil nama saya. Saya buka lebar telinga, ternyata suara Wiro dari kamar.
Parau, untuk ketiga kalinya terdengar.
"Ya"
Tak ada sahutan.
"Kang Dana... "
"Ya Wir, kenapa?" tanya saya datar, karena jarak ruang kerja dengan kamar hanya dibatasi dinding asbes.
Wiro tidak menjawab.
"Wir, ada apa?" lebih keras.
Tidak ada jawaban.
Penasaran, beranjak dari meja sampai di pintu kamar, berdiri di sana, melongokkan kepala, tampak Wiro berbaring di atas kursi panjang. Mata terbelalak ke atas, badan kejang-kejang, bibir gemetaran, seperti orang sekarat. Wiro sedang bercanda, begitu lintasan pikiran awal, tapi muka itu pucat seperti kehabisan darah meyakinkan saya Wiro tidak sedang bercanda. Sampai beberapa detik saya terpaku di pintu kamar saya hanya terpana, terus memastikan Wiro tidak bercanda.
Dan sepertinya tidak bercanda, dia terus dengan mulut gemetaran dan matanya yang terbelalak ke atas. Badannya kejang-kejang.
Waduh, Wiro kamu kenapa. Punya penyakit apa?
Selama ini dia kelihatan baik-baik saja. Bahkan dibanding saya, dari segi kesuburan badan bisa dikatakan dia lebih sehat, malah karena makanannya bergizi sekarang lemak perutnya bertambah. Ini Wiro sebenarnya kenapa? Kalau keracunan, keracunan dari makanan apa? Tadi siang di kantin dia makan sama saya. Jika racun itu dari makanan, harusnya berreaksi sejak tadi sore, tapi mengapa baru sekarang?
Masih terpaku di pintu, saya bingung harus berbuat apa. Tentu harus mencari pertolongan, terus kepada siapa, jarang orang lingkungan sini saya kenal. Cemas datang, berbagai pikiran sudah macam-macam. Jika ini malam terakhirnya, pasti akan menjadi malam yang sangat menghebohkan. Semua karyawan akan kaget, karena Wiro di sini cukup dikenal, dengan tingkah polahnya yang sering mengundang tawa.
Kebiasaan orang membullinya dengan sebutan macam-macam, pasti akan membuat mereka menyesal, begitu cepat ditinggalkan Wiro sebelum sempat minta maaf.
Pemilik perusaan ini juga sedang pergi luar negeri, kasihan mungkin nanti tak sempat melihat Wiro untuk terkakhir kalinya.
Terus akan dikuburkan di mana? Kalau bapak ibunya tidak merelakan dikubur di Pulau Jawa, dan minta jenazahnya dipulangkan ke kampung mereka, tentu sangat merepotkan. Mungkinkah menggunakan pesawat terbang? Jika menggunakan kapal laut, berapa hari baru sampai? Jalan satu-satunya dikuburkan di sini.
Kalau pun maksa harus dipulangkan ke Sulawesi, cara terbaik menurut saya mungkin dengan melemparkan mayatnya ke laut, dibiarkan mengambang. Semoga selamat tidak dimakan ikan dan terdampar di Pantai Losari Makassar. Biar orang-orang menemukan dan memungutnya di sana, membuka kantong plastik yang diikatkan kuat pada lehernya. Biarkan KTP dalam kantong itu mereka temukan, untuk mendapatkan identitas Wiro lalu mengembalikannya ke Toraja.
Ah, terlalu jauh ini pikiran, dan sembarangan pula. Maafkan saya Wiro, kebiasaanmu bercanda membuat saya bahkan dalam kondisi segawat ini pun ingin mencandaimu juga.
Setelah beberapa detik terpaku di pintu, saya berjalan perlahan, masuk kamar, mendekat. Badan Wiro masih kejang-kejang, lurus telentang, tangan terkepal, bibir gemetaran, masih seperti tadi, mata terbeliak ke atas.
"Wir!! Wiro!!" panggil saya perlahan.
Saya terdiam, dan...
"Hahahaha.... " dia terbahak!
Sialan!
Ah Wiro bikin saya cemas saja. Sementara dia tertawa, saya masih dengan air muka datar, masih merasakan sisa-sisa kaget akibat ulahnya. Campur baur perasaan antara gembira dan heran. Gembira karena Wiro tidak jadi meninggal, dan heran kok wajahnya sangat meyakinkan.
"Itu wajahmu pake apa Wir?"
Wiro masih tertawa, merayakan kepuasannya, sukses membuat saya kaget dan cemas.
"Wir! Pake apa?"
"Pake bedak."
"Bedak?"
"Iya. Wardah."
Begitulah, sebelum tulisan ini saya pungkas, mohon maaf kepada pembaca yang mungkin tadi sempat merasa gembira, akhirnya jadi harus kecewa ternyata Wiro hanya bercanda, tidak benar-benar sekarat.
Samar dari kamar suara. Tidak begitu saya gubris untuk pertama kalinya. Mungkin itu salah dengar, mungkin suara teriakan tukang parkir dari depan. Kantor ini menghadap area samping mall, dan nyaris setiap hari tukang parkir teriak-teriak di sana, mengatur posisi kendaraan.
Tapi suara itu berulang, parau memanggil nama saya. Ya, jelas memanggil nama saya. Saya buka lebar telinga, ternyata suara Wiro dari kamar.
Parau, untuk ketiga kalinya terdengar.
"Ya"
Tak ada sahutan.
"Kang Dana... "
"Ya Wir, kenapa?" tanya saya datar, karena jarak ruang kerja dengan kamar hanya dibatasi dinding asbes.
Wiro tidak menjawab.
"Wir, ada apa?" lebih keras.
Tidak ada jawaban.
Penasaran, beranjak dari meja sampai di pintu kamar, berdiri di sana, melongokkan kepala, tampak Wiro berbaring di atas kursi panjang. Mata terbelalak ke atas, badan kejang-kejang, bibir gemetaran, seperti orang sekarat. Wiro sedang bercanda, begitu lintasan pikiran awal, tapi muka itu pucat seperti kehabisan darah meyakinkan saya Wiro tidak sedang bercanda. Sampai beberapa detik saya terpaku di pintu kamar saya hanya terpana, terus memastikan Wiro tidak bercanda.
Dan sepertinya tidak bercanda, dia terus dengan mulut gemetaran dan matanya yang terbelalak ke atas. Badannya kejang-kejang.
Waduh, Wiro kamu kenapa. Punya penyakit apa?
Selama ini dia kelihatan baik-baik saja. Bahkan dibanding saya, dari segi kesuburan badan bisa dikatakan dia lebih sehat, malah karena makanannya bergizi sekarang lemak perutnya bertambah. Ini Wiro sebenarnya kenapa? Kalau keracunan, keracunan dari makanan apa? Tadi siang di kantin dia makan sama saya. Jika racun itu dari makanan, harusnya berreaksi sejak tadi sore, tapi mengapa baru sekarang?
Masih terpaku di pintu, saya bingung harus berbuat apa. Tentu harus mencari pertolongan, terus kepada siapa, jarang orang lingkungan sini saya kenal. Cemas datang, berbagai pikiran sudah macam-macam. Jika ini malam terakhirnya, pasti akan menjadi malam yang sangat menghebohkan. Semua karyawan akan kaget, karena Wiro di sini cukup dikenal, dengan tingkah polahnya yang sering mengundang tawa.
Kebiasaan orang membullinya dengan sebutan macam-macam, pasti akan membuat mereka menyesal, begitu cepat ditinggalkan Wiro sebelum sempat minta maaf.
Pemilik perusaan ini juga sedang pergi luar negeri, kasihan mungkin nanti tak sempat melihat Wiro untuk terkakhir kalinya.
Terus akan dikuburkan di mana? Kalau bapak ibunya tidak merelakan dikubur di Pulau Jawa, dan minta jenazahnya dipulangkan ke kampung mereka, tentu sangat merepotkan. Mungkinkah menggunakan pesawat terbang? Jika menggunakan kapal laut, berapa hari baru sampai? Jalan satu-satunya dikuburkan di sini.
Kalau pun maksa harus dipulangkan ke Sulawesi, cara terbaik menurut saya mungkin dengan melemparkan mayatnya ke laut, dibiarkan mengambang. Semoga selamat tidak dimakan ikan dan terdampar di Pantai Losari Makassar. Biar orang-orang menemukan dan memungutnya di sana, membuka kantong plastik yang diikatkan kuat pada lehernya. Biarkan KTP dalam kantong itu mereka temukan, untuk mendapatkan identitas Wiro lalu mengembalikannya ke Toraja.
Ah, terlalu jauh ini pikiran, dan sembarangan pula. Maafkan saya Wiro, kebiasaanmu bercanda membuat saya bahkan dalam kondisi segawat ini pun ingin mencandaimu juga.
Setelah beberapa detik terpaku di pintu, saya berjalan perlahan, masuk kamar, mendekat. Badan Wiro masih kejang-kejang, lurus telentang, tangan terkepal, bibir gemetaran, masih seperti tadi, mata terbeliak ke atas.
"Wir!! Wiro!!" panggil saya perlahan.
Saya terdiam, dan...
"Hahahaha.... " dia terbahak!
Sialan!
Ah Wiro bikin saya cemas saja. Sementara dia tertawa, saya masih dengan air muka datar, masih merasakan sisa-sisa kaget akibat ulahnya. Campur baur perasaan antara gembira dan heran. Gembira karena Wiro tidak jadi meninggal, dan heran kok wajahnya sangat meyakinkan.
"Itu wajahmu pake apa Wir?"
Wiro masih tertawa, merayakan kepuasannya, sukses membuat saya kaget dan cemas.
"Wir! Pake apa?"
"Pake bedak."
"Bedak?"
"Iya. Wardah."
Begitulah, sebelum tulisan ini saya pungkas, mohon maaf kepada pembaca yang mungkin tadi sempat merasa gembira, akhirnya jadi harus kecewa ternyata Wiro hanya bercanda, tidak benar-benar sekarat.
Thursday, December 17, 2015
Buku GEMBEL SETENGAH BADUT
Bukan perkara mudah bertemu dengan orang yang tepat, tapi saya dipertemukan. Beruntung sekali rasanya. Menjadi teman kerja, dan jika saja bukan dengan orang berkarakter seperti dia, dari dulu pertemanan ini sudah banyak masalah.
Adalah Wiro dengan karakter humoris, tenang, dan sangat berjiwa sosial. Keseharian banyak dibulli orang, tidak jauh beda dengan social media, dia sangat pandai menghadapinya dengan santai-santai saja. Sangat jauh berbeda dengan saya yang mudah bapperan, goyang, dia lebih mengutamakan kerja dan berkarya daripada mengambil hati kata-kata orang. Di antara semua karyawan, Wiro yang paling banyak melakukan penjualan.
Adalah Wiro dengan karakter humoris, tenang, dan sangat berjiwa sosial. Keseharian banyak dibulli orang, tidak jauh beda dengan social media, dia sangat pandai menghadapinya dengan santai-santai saja. Sangat jauh berbeda dengan saya yang mudah bapperan, goyang, dia lebih mengutamakan kerja dan berkarya daripada mengambil hati kata-kata orang. Di antara semua karyawan, Wiro yang paling banyak melakukan penjualan.
Sangat social, begitulah karakter orangnya. Hasil pergaulan dengan berbagai jenis orang memberinya banyak pelajaran bagaimana cara bergaul seharusnya. Barangkali, itulah yang membuat siapapun kerja sama dengannnya merasa nyaman. Misalnya dalam kerja sama membuat buku dengan beberapa temannya di social media, sudah beberapa kali dia sukses melakukan. Sudah empat bukunya selesai cetak.
Kali ini, Wiro dan kawan-kawan kembali menelurkan karya.
Dibanding buku Wiro sebelumnya, Gembel Setengah Badut, bisa dikatakan jempolan, tampilan jilid lumayan enak dipandang, hitam putih. Menurut penulisnya sendiri itu terinspirasi dari sebuah buku fokus yang dibacanya. Memang jika direnungkan, kenapa harus terlalu banyak warna jika dengan sedikit warna saja sebuah cover itu bisa memikat?
Bukan hanya tampilan luar, layout isinya pun lumayan. Pemilihan jenis huruf terutama, jadi enak dipandang nikmat dibaca. Wiro berkata, bentuk huruf itu meniru bentuk huruf di novel Love Spark In Korea. Mendengar itu, serta-merta saya teriak, "Wah Plagiat!". Sebuah teriakan bodoh... tapi saya sedang bercanda, mentertawakan orang yang murah menuduh orang lain melakukan plagiat, jangan-jangan hanya karena kesamaan huruf pun bisa dia anggap plagiat.
Bagaimana dengan isinya?
Dalam buku setebal 292 halaman ini bertaburan cerita yang digarap bersama-sama, dengan fokus menceritakan sebuah perkampungan di mana penduduknya jomblo semua. Wiro sebagai ketua RT dengan keluguannya yang mudah ditipu dan diperas sampai bangkrut, Noey Holis sebagai Dukun dengan sifat bermacam seperti egois misalnya sakit tidak mau ke dokter, Azizul dengan perannya sebagai pedagang yang selalu menawarkan pisang goreng dengan modusnya, Liktasiya Nadhir sebagai dokter yang baik hati, dan Julian Toni sebagai konsultan jomblo dengan segalan fatwa dan analisa gembelnya, bercampuraduk dalam cerita ini beraksi, kadang lucu, kadang absurd, menjadi es campur kisah yang cukup menarik diikuti.
Oh ya, ada seorang ketinggalan, yaitu Fitri Rahayu, berperan sebagai tukang jamu, dengan kelihaian menjualnya ia bahkan sempat nyaris menjual Pak RT.
Selesai cetak dan sampai ke tangan Wiro tanggal 16 Desember 2015, buku ini langsung dibuka, dan langsung terjual. Hari berikutnya kembali terjual. Sebuah kejadian yang sangat jarang terjadi di dunia perbukuan, maksud saya di dunia perbukuan yang sudah Wiro buat.
Selamat menikmati!
Sunday, December 13, 2015
Pak Saya Mau Curhat
Rumah saya warisan dari nenek istri saya. Diperbaiki sekedarnya, dan tidak tembok-tembok dindingnya. Maka sekarang, banyak dari tembok-tembok itu terkelupas. Begitu pula tembok benteng depan rumah, yang menjaga tanah supaya tidak longsor menimpa rumah tetangga di sebelah bawah, temboknya sudah hancur parah, membuat istri saya selalu ketakutan, kalau tembok itu kemudian roboh pasti menimpa rumah tetangga, sedang uang buat memperbaiki tidak ada.
Beberapa kali dia berkata, lebih baik dia pergi ke kota. Banyak tawaran menjadi bebysitter, menjadi pengasuh atau pengurus manula di panti jompo, lumayan darinya bisa mendapatkan uang, mungkin bisa dikumpulkan buat memperbaiki tembok depan rumah. Dan mendengar itu, saya suaminya, hanya bisa berdiam bengong kebingungan, karena saya sendiri, tidak punya penghasilan cukup buat merenovasi.
Dan akhirnya tembok itu benar-benar roboh, benar-benar menimpa rumah tatangga di bawahnya, mendorong dinding bambu sehingga melendung ke dalam. Apa yang istri saya cemaskan benar-benar kejadian, dan tetangga yang rumahnya tertimpa, mengomel-ngomel karena memang dinding bambu itu rapuh dan tua, setua dirinya. Mereka adalah sepasang orang tua dengan uban banyak, dan saya kasihan kepada mereka, tapi lebih kasihan lagi kepada istri saya yang banyak di rumah dan harus mendengar langsung omelan kurang menyenangkan dari mereka.
Tapi alhamdulillah, saat menerima berita itu lewat telfon. Allah telah menakdirkan saya kerja di perusahaan Bapak, jadi setidaknya punya harapan, bisa mengumpulkan uang buat membeli semen, pasir, bata, dan memberikan upah kerja untuk membangun kembali benteng runtuh itu. Maka setiap kali pulang, istri saya simpan kumpulkan uang yang saya bawa, dari bulan ke bulan, mencicil membeli bahan, seperti pasir, semen, bata, sampai istri saya merasa saatnya mendirikan tembok itu dengan menyuruh beberapa orang tetangga. Alhamdulillah sekarang tembok itu sudah berdiri Pak, sudah kokoh, memanjang, dari selatan ke utara, tak lagi ketakutan longsor dan menimpa rumah tetangga, dan tembok itu sekaligus dibuat tinggi menyerupai pagar, supaya saat main di halaman rumah, anak saya aman dari jatuh ke jurang, karena depan rumah saya itu memang seperti jurang.
Tapi kebutuhan belum selesai Pak. setelah benteng selesai, masih ada kebutuhan pokok rumah lainnya, yaitu kamar mandi, kami belum punya WC, dan selama ini mandi, cuci piring, wudlu, percaya tidak percaya, masih ikut kamar mandi milik mertua. Maka anak saya suka dibawa ke sana, dimandikan. Piring, gelas dan perabotan juga diangkut ke sana, dicuci di sana, dan begitu pula jika saya pulang, dini hari saya dan istri mandi di sana, hehe, pastilah bapak dan ibu mertua tahu apa yang membuat kami mandi sampai keramas.
Adapun di rumah, supaya tidak jauh jika tengah malam mau kencing, istri saya menyediakan ember khusus yang kalau ingin buang air, dia, saya, dan anak saya pipis di sana, sampai-sampai waktu istri saya mengantar anak ke sekolah, dan mendengar ibu guru bertanya kepada para murid PAUD dengan kerjas, "Kalau kita pipis harus di mana?" istri saya sangat ketakutan anak kami menjawab, "Di Ember." untung saja dia tidak menjawab begitu.
Kami belum punya kamar mandi, kami ingin membangun kamar mandi, karena ternyata ini kebutuhan vital, apalagi kini, ketua kampung kami mengalirkan air dari kaki gunung ke tengah perkampungan dan melalui pipa disebarkan ke rumah-rumah, maka sementara orang lain punya bak buat menampung air itu, rumah kami tidak, maka akhirnya pipa itu hanya tergeletak, ditutup pada bagian ujungnya. Jika saja punya bak, tentu itu sangat nyaman, tanpa harus mengangkut, tanpa harus nyedot, bak akan penuh sebab air akan terus mengalir siang dan malam.
Dan Pak, alhamdulillah, saat pulang saya kemarin, awal Desember 2015, membuka pintu rumah, di dapur, sudah terkumpul bahan-bahan seperti pipa, torn, keramik, dan entah apalagi, perlengkapan membangun kamar mandi. Istri saya sudah belanja, dan kemarin, setelah saya kembali pergi ke kerja, istri mengirimkan SMS dari rumah, "Pembangunan kamar mandi sudah dimulai, doakan supaya uangnya cukup ya." "Amiin." hanya itu jawaban saya.
Ini semua karunia Allah Pak, saya tidak bisa apa-apa, saya tidak punya apa-apa, dan saya mendapatkan uang dari Bapak, saya rasakan ini bukan karena saya bekerja, ini karena Allah membuat hati Bapak murah mengangkat saya untuk bersenang-senang di perusahaan ini, kemudian perbulan memberikan uang supaya uang itu manfaat dan sampai ke keluarga saya, untuk supaya digunakan buat keperluan di sana.
Saya ingin, saya berharap besar, dengan pengharapan yang menembus lapis-lapis jagat raya, mudah-mudahan kebaikan dari semua itu mengalir untuk Bapak untuk kebaikan hidup Bapak sekeluarga di dunia dan di akhirat.
Saya ingin, saya berharap besar, dengan pengharapan yang menembus lapis-lapis jagat raya, mudah-mudahan kebaikan dari semua itu mengalir untuk Bapak untuk kebaikan hidup Bapak sekeluarga di dunia dan di akhirat.
Saturday, December 12, 2015
Kisah Sekolah Yang Dijual
Kamu berjalan mendekati harimau lapar, dan minta Bapak menaikkanmu ke sana. Kemudian, dengan gaya yang entah diajarkan siapa, kamu acungkan dua jari di depan mata, berpose minta difoto.
Hanya patung yang diam, harimau ini.
Kantor koramil menjelang siang. Pria gagah berseragam loreng di terasnya duduk santai, pada sebuah kursi panjang. Melihat kita berdua, dia melambaikan tangan, mengajak Bapak mendekat.
Pak tentara ini tetangga kita. Dia bertanya, "Sekarang kerja di mana?"
"Depok."
"Oh, Bogor."
Depok masih sering disebut Bogor oleh orang-orang kampung kita.
"Sekarang sedang liburan."
"Seminggu?" tanyanya.
"Hanya empat hari."
"Bagaimana kerja di sana?"
"Alhamdulillah, betah. Pernah saya diminta kembali kerja di kampung, tapi... "
"Maaf, bukannya saya memotong pembicaraan, tapi karena sudah bukti banyak orang kecewa, lebih baik tidak usah. Lebih baik teruskan saja kerja di sana."
"Iya Pak. Kenapa ya sekolah asrama di kampung kita itu bubar. Malah sekarang bangunannya mau dijual?"
"Itu karena dia hutang kepada Bu Mawar (bukan nama sebenarnya), kemudian saya membantu Bu Mawar untuk menagih, dan karena pengurus sekolah tidak bisa membayar, saya minta supaya dia membayar dengan apa saja, termasuk dengan bangunan sekolah."
Ah anakku, kamu belum mengerti apa yang kami bicarakan.
"Bagaimana reaksi pihak sekolah?"
"Tentu saja mereka marah, tapi karena ini hutang, mereka tidak bisa apa-apa. Saya dengan berani memaksa. Dan berhasil."
"Tidak terjadi apa-apa?"
"Saya diancam."
"Diancam bagaimana?"
"Mereka mengancam mau membunuh saya. Katanya, kalau mau bukti, lihatlah orang itu--dia menyebutkan sebuah nama--besok sore juga dia akan mati. Dan memang benar, esok harinya, orang yang dia sebutkan itu meninggal."
Begitulah kampung kita Anakku, masih gawat dengan ancaraman pembunuhan-pembunuhan. Secara halus, bukan kasar, dengan cara-cara yang Bapak tidak tahu seperti apa tekniknya.
"Siapa?" tanya Bapak penasaran.
"Ada, orang kampung kita." jawabnya tidak mau menyebutkan nama.
"Wah! Tapi kepada Bapak, tidak terjadi apa-apa?" dengan rona muka cemas.
"Tidak, alhamdulillah."
"Bagaimana Bapak melakukan penjagaan?"
"Saya menyerahkan diri saja kepada Allah. Saya pancang keyakinan, ini membela kebenaran. Ada orang lemah membutuhkan pertolongan dan saya berusaha menolongnya, kemudian saya berserah."
"Kok dia bisa sejahat itu ya?"
"Itulah sebabnya saya sarankan, kamu tidak perlu mendekat."
Subscribe to:
Posts (Atom)
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Hujan sejak fajar. Subuh reda, keluar, sisa gerimis masih kasar. Kasar menimpa baju, ramput, pipi, menampar-nampar. Jalan kaki ini menuju k...
-
Sekarang, teman facebook saya sukai gubahannya adalah Janitra. Janitra Lituhayu, Perempuan Januari, begitu dia menamakan dirinya. Karangan...