Kantor senyap, orang-orang sudah pulang. Tinggal saya sendirian, duduk menghadap monitor, melalui facebook menerima pesasanan-pesanan barang dari pelanggan. Ini jam kerja malam, setelah Maghrib menunggu Isya.
Samar dari kamar suara. Tidak begitu saya gubris untuk pertama kalinya. Mungkin itu salah dengar, mungkin suara teriakan tukang parkir dari depan. Kantor ini menghadap area samping mall, dan nyaris setiap hari tukang parkir teriak-teriak di sana, mengatur posisi kendaraan.
Tapi suara itu berulang, parau memanggil nama saya. Ya, jelas memanggil nama saya. Saya buka lebar telinga, ternyata suara Wiro dari kamar.
Parau, untuk ketiga kalinya terdengar.
"Ya"
Tak ada sahutan.
"Kang Dana... "
"Ya Wir, kenapa?" tanya saya datar, karena jarak ruang kerja dengan kamar hanya dibatasi dinding asbes.
Wiro tidak menjawab.
"Wir, ada apa?" lebih keras.
Tidak ada jawaban.
Penasaran, beranjak dari meja sampai di pintu kamar, berdiri di sana, melongokkan kepala, tampak Wiro berbaring di atas kursi panjang. Mata terbelalak ke atas, badan kejang-kejang, bibir gemetaran, seperti orang sekarat. Wiro sedang bercanda, begitu lintasan pikiran awal, tapi muka itu pucat seperti kehabisan darah meyakinkan saya Wiro tidak sedang bercanda. Sampai beberapa detik saya terpaku di pintu kamar saya hanya terpana, terus memastikan Wiro tidak bercanda.
Dan sepertinya tidak bercanda, dia terus dengan mulut gemetaran dan matanya yang terbelalak ke atas. Badannya kejang-kejang.
Waduh, Wiro kamu kenapa. Punya penyakit apa?
Selama ini dia kelihatan baik-baik saja. Bahkan dibanding saya, dari segi kesuburan badan bisa dikatakan dia lebih sehat, malah karena makanannya bergizi sekarang lemak perutnya bertambah. Ini Wiro sebenarnya kenapa? Kalau keracunan, keracunan dari makanan apa? Tadi siang di kantin dia makan sama saya. Jika racun itu dari makanan, harusnya berreaksi sejak tadi sore, tapi mengapa baru sekarang?
Masih terpaku di pintu, saya bingung harus berbuat apa. Tentu harus mencari pertolongan, terus kepada siapa, jarang orang lingkungan sini saya kenal. Cemas datang, berbagai pikiran sudah macam-macam. Jika ini malam terakhirnya, pasti akan menjadi malam yang sangat menghebohkan. Semua karyawan akan kaget, karena Wiro di sini cukup dikenal, dengan tingkah polahnya yang sering mengundang tawa.
Kebiasaan orang membullinya dengan sebutan macam-macam, pasti akan membuat mereka menyesal, begitu cepat ditinggalkan Wiro sebelum sempat minta maaf.
Pemilik perusaan ini juga sedang pergi luar negeri, kasihan mungkin nanti tak sempat melihat Wiro untuk terkakhir kalinya.
Terus akan dikuburkan di mana? Kalau bapak ibunya tidak merelakan dikubur di Pulau Jawa, dan minta jenazahnya dipulangkan ke kampung mereka, tentu sangat merepotkan. Mungkinkah menggunakan pesawat terbang? Jika menggunakan kapal laut, berapa hari baru sampai? Jalan satu-satunya dikuburkan di sini.
Kalau pun maksa harus dipulangkan ke Sulawesi, cara terbaik menurut saya mungkin dengan melemparkan mayatnya ke laut, dibiarkan mengambang. Semoga selamat tidak dimakan ikan dan terdampar di Pantai Losari Makassar. Biar orang-orang menemukan dan memungutnya di sana, membuka kantong plastik yang diikatkan kuat pada lehernya. Biarkan KTP dalam kantong itu mereka temukan, untuk mendapatkan identitas Wiro lalu mengembalikannya ke Toraja.
Ah, terlalu jauh ini pikiran, dan sembarangan pula. Maafkan saya Wiro, kebiasaanmu bercanda membuat saya bahkan dalam kondisi segawat ini pun ingin mencandaimu juga.
Setelah beberapa detik terpaku di pintu, saya berjalan perlahan, masuk kamar, mendekat. Badan Wiro masih kejang-kejang, lurus telentang, tangan terkepal, bibir gemetaran, masih seperti tadi, mata terbeliak ke atas.
"Wir!! Wiro!!" panggil saya perlahan.
Saya terdiam, dan...
"Hahahaha.... " dia terbahak!
Sialan!
Ah Wiro bikin saya cemas saja. Sementara dia tertawa, saya masih dengan air muka datar, masih merasakan sisa-sisa kaget akibat ulahnya. Campur baur perasaan antara gembira dan heran. Gembira karena Wiro tidak jadi meninggal, dan heran kok wajahnya sangat meyakinkan.
"Itu wajahmu pake apa Wir?"
Wiro masih tertawa, merayakan kepuasannya, sukses membuat saya kaget dan cemas.
"Wir! Pake apa?"
"Pake bedak."
"Bedak?"
"Iya. Wardah."
Begitulah, sebelum tulisan ini saya pungkas, mohon maaf kepada pembaca yang mungkin tadi sempat merasa gembira, akhirnya jadi harus kecewa ternyata Wiro hanya bercanda, tidak benar-benar sekarat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Di facebook banyak grup kepenulisan. Tapi Komunitas Bisa Menulis itu komunitas paling ramai yang saya temukan. Di sana, postingan orang berr...
-
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surealisme adalah, aliran dalam seni sastra yang mementingkan aspek bawah sadar manuasia, dan nonrasional da...
-
Malam ini susah tidur. Sehabis jam kerja, jam dua dini hari, lanjut baca buku sambil baringan di atas barisan kursi kerja dengan niat sup...
No comments:
Post a Comment